Al-Quds dan Ambang Krisis Baru Kemanusiaan
A
A
A
JAKARTA - Bagi ACT Foundation yang sudah lama berkecimpung di ranah krisis kemanusiaan di Tanah Air dan Dunia, krisis kemanusiaan Palestina fluktuatif, jika menyederhanakan "Palestina di abad XI".
Meski pun kalau mengacu fakta sejarah, sudah pasti adanya penguasaan yang eskalatif sehingga bicara Palestina tinggal narasi nestapa tentang Jalur Gaza, dan West Bank di mana ada Al Quds (Jerusalem) di dalamnya.
Palestina hari ini, negeri 'langganan bombardemen', diusik kenyamanannya, dirusak fasilitas penopang kehidupannya, bahkan yang fenomenal dan menyakitkan dunia, Jumat 14 Juli lalu, Masjid al-Aqsha ditutup dan melahirkan gelombang protes dunia.
ACT Foundation meraih amanah rakyat Indonesia dalam menolong krisis kemanusiaan di Palestina. "Setiap gangguan atas Palestina, rakyat Indonesia ikut merasakannya dan berduyun-duyun mengulurkan bantuannya sebagai wujud persaudaraan yang kuat," ujar Ahyudin, President of Aksi Cepat Tanggap dalam rilisnya.
Kini kata Ahyudin, terjadi pengakuan sepihak atas Jerusalem, kawasan netral yang di dalamnya terdapat masjid Al-Aqsha. "Ini bukan pengakuan biasa, dan bukan oleh Israel, melainkan oleh Amerika Serikat, anggota penting Perserikatan Bangsa-bangsa. Sebuah organisasi yang seyogyanya berdiri netral menjaga harmoni dan kedamaian dunia," sebutnya.
Menilik hal itu lanjut Ahyudin, dunia harus bersatu mempertahankan status Jerusalem sebagai kota suci Tiga Agama, Islam, Kristen, Yahudi, dan Jerusalem Timur bagian dari Negara Palestina. Sikap ini berdasarkan keinginan kuat mencegah eskalasi kemarahan dan penolakan menjadi perlawanan fisik.
Jerusalem dengan Al-Aqsha, memuat dimensi-dimensi yang terlalu kuat untuk bisa dikendalikan kekuasaan manapun. Pertama, dimensi spiritual. Bujukan, lobby bahkan ancaman mungkin bisa mengendorkan bahkan melepaskan komunitas bahkan sebuah bangsa untuk kepentingan ekonomi, tapi tidak untuk spiritual.
"Artinya, penguasaan sepihak untuk aset spiritual sejumlah agama sekaligus, memicu penolakan hingga perlawanan untuk mempertahankannya habis-habisan," katanya.
Kedua, dimensi politik. Dunia sudah cukup lama mengikuti krisis Palestina dan memperoleh pemahaman memadai posisi dan kepatutan internasional seperti apa yang layak didukung dan sikap antarbangsa mana yang layak digugat.
Bagaimana Israel meraih pencapaian politiknya saat ini, dunia faham; pun bagaimana Palestina diperlakukan selama ini juga sangat dimaklumi dunia.
"Hal ini cukup untuk melihat bagaimana sikap dunia dipetakan dalam konstalasi hubungan Palestina-Israel. Khusus untuk sikap Amerika Serikat atas Jerusalem, nyaris tak terdengar ada negara yang mendukungnya," katanya.
Ketiga, dimensi sosial. Krisis Palestina telah membuka hati dunia dan membuka diri menyantuni rakyat Palestina, bahkan memberi ruang hidup bagi warga Palestina yang berdiaspora di banyak negara.
Semangat dunia 'Bersatu untuk Palestina" memberi energi luar biasa seiring derita yang ditimpakan Israel atas Palestina, dan itu sekaligus membuka mata dunia, bagaimana pemerintah Amerika Serikat saat ini yang tidak dalam posisi terbaiknya menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa yang amat baik dalam melayani rakyatnya-demikian terang-terangan mengakui semua kebijakan Israel seiring dengan pengabaiannya atas kedaulatan Palestina. Sikap itu telah Amerika Serikat: pemerintah, bahkan rakyatnya, ke ambang situasi benturan antarbangsa.
Kalau Amerika Serikat mempertahankan sikapnya, krisis kemanusiaan global di ambang mata. ACT Foundation menyatakan, Amerika Serikat bersungguh-sungguh mempertimbangkan besarnya krisis kemanusiaan yang diakibatkan kekerashatiannya.
Tidak masuk diakal, mempertahankan sikap yang akan memicu krisis global, dimana tak satu pun bangsa memberi nilai positif atas sikap itu. Takkan ada kemenangan hakiki- bahkan jika Amerika Serikat menumpahkan semua kekuatan militernya untuk mempertahankan kekeras-hatian sikapnya- kecuali hanya kesengsaraan global berbalut kemarahan," jelas Ahyudin.
Dikatakan, Pemerintah Amerika Serikat, dengan demikian, telah menyatukan dunia dan menempatkannya sebagai fokus perlawanan dunia atas kejahatan kemanusiaan sekaligus kesepakatan antarbangsa untuk menjaga harmoni dunia.
"Sikap Amerika Serikat, menyatukan dunia menggalang perlawanan tanpa kata akhir yang meluas dan muncul dalam wujud yang tak terbayangkan. Inikah yang Amerika Serikat inginkan?" pungkasnya.
Meski pun kalau mengacu fakta sejarah, sudah pasti adanya penguasaan yang eskalatif sehingga bicara Palestina tinggal narasi nestapa tentang Jalur Gaza, dan West Bank di mana ada Al Quds (Jerusalem) di dalamnya.
Palestina hari ini, negeri 'langganan bombardemen', diusik kenyamanannya, dirusak fasilitas penopang kehidupannya, bahkan yang fenomenal dan menyakitkan dunia, Jumat 14 Juli lalu, Masjid al-Aqsha ditutup dan melahirkan gelombang protes dunia.
ACT Foundation meraih amanah rakyat Indonesia dalam menolong krisis kemanusiaan di Palestina. "Setiap gangguan atas Palestina, rakyat Indonesia ikut merasakannya dan berduyun-duyun mengulurkan bantuannya sebagai wujud persaudaraan yang kuat," ujar Ahyudin, President of Aksi Cepat Tanggap dalam rilisnya.
Kini kata Ahyudin, terjadi pengakuan sepihak atas Jerusalem, kawasan netral yang di dalamnya terdapat masjid Al-Aqsha. "Ini bukan pengakuan biasa, dan bukan oleh Israel, melainkan oleh Amerika Serikat, anggota penting Perserikatan Bangsa-bangsa. Sebuah organisasi yang seyogyanya berdiri netral menjaga harmoni dan kedamaian dunia," sebutnya.
Menilik hal itu lanjut Ahyudin, dunia harus bersatu mempertahankan status Jerusalem sebagai kota suci Tiga Agama, Islam, Kristen, Yahudi, dan Jerusalem Timur bagian dari Negara Palestina. Sikap ini berdasarkan keinginan kuat mencegah eskalasi kemarahan dan penolakan menjadi perlawanan fisik.
Jerusalem dengan Al-Aqsha, memuat dimensi-dimensi yang terlalu kuat untuk bisa dikendalikan kekuasaan manapun. Pertama, dimensi spiritual. Bujukan, lobby bahkan ancaman mungkin bisa mengendorkan bahkan melepaskan komunitas bahkan sebuah bangsa untuk kepentingan ekonomi, tapi tidak untuk spiritual.
"Artinya, penguasaan sepihak untuk aset spiritual sejumlah agama sekaligus, memicu penolakan hingga perlawanan untuk mempertahankannya habis-habisan," katanya.
Kedua, dimensi politik. Dunia sudah cukup lama mengikuti krisis Palestina dan memperoleh pemahaman memadai posisi dan kepatutan internasional seperti apa yang layak didukung dan sikap antarbangsa mana yang layak digugat.
Bagaimana Israel meraih pencapaian politiknya saat ini, dunia faham; pun bagaimana Palestina diperlakukan selama ini juga sangat dimaklumi dunia.
"Hal ini cukup untuk melihat bagaimana sikap dunia dipetakan dalam konstalasi hubungan Palestina-Israel. Khusus untuk sikap Amerika Serikat atas Jerusalem, nyaris tak terdengar ada negara yang mendukungnya," katanya.
Ketiga, dimensi sosial. Krisis Palestina telah membuka hati dunia dan membuka diri menyantuni rakyat Palestina, bahkan memberi ruang hidup bagi warga Palestina yang berdiaspora di banyak negara.
Semangat dunia 'Bersatu untuk Palestina" memberi energi luar biasa seiring derita yang ditimpakan Israel atas Palestina, dan itu sekaligus membuka mata dunia, bagaimana pemerintah Amerika Serikat saat ini yang tidak dalam posisi terbaiknya menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa yang amat baik dalam melayani rakyatnya-demikian terang-terangan mengakui semua kebijakan Israel seiring dengan pengabaiannya atas kedaulatan Palestina. Sikap itu telah Amerika Serikat: pemerintah, bahkan rakyatnya, ke ambang situasi benturan antarbangsa.
Kalau Amerika Serikat mempertahankan sikapnya, krisis kemanusiaan global di ambang mata. ACT Foundation menyatakan, Amerika Serikat bersungguh-sungguh mempertimbangkan besarnya krisis kemanusiaan yang diakibatkan kekerashatiannya.
Tidak masuk diakal, mempertahankan sikap yang akan memicu krisis global, dimana tak satu pun bangsa memberi nilai positif atas sikap itu. Takkan ada kemenangan hakiki- bahkan jika Amerika Serikat menumpahkan semua kekuatan militernya untuk mempertahankan kekeras-hatian sikapnya- kecuali hanya kesengsaraan global berbalut kemarahan," jelas Ahyudin.
Dikatakan, Pemerintah Amerika Serikat, dengan demikian, telah menyatukan dunia dan menempatkannya sebagai fokus perlawanan dunia atas kejahatan kemanusiaan sekaligus kesepakatan antarbangsa untuk menjaga harmoni dunia.
"Sikap Amerika Serikat, menyatukan dunia menggalang perlawanan tanpa kata akhir yang meluas dan muncul dalam wujud yang tak terbayangkan. Inikah yang Amerika Serikat inginkan?" pungkasnya.
(nag)