Agama dan Pendidikan Tinggi

Jum'at, 24 November 2017 - 08:00 WIB
Agama dan Pendidikan...
Agama dan Pendidikan Tinggi
A A A
M Arskal Salim GP
Guru Besar dan Ketua Lembaga Peneliti dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BERMULA dari surat Dekan Fa­­kultas Ekonomi Un­i­ver­­si­tas Gadjah Mada (UGM) di pengujung Oktober 2017 kepada Wakil Rektor UGM Bi­dang Pendidikan, Peng­­ajar­an dan Ke­ma­ha­sis­wa­an yang me­nya­takan bersedia me­­n­e­­rima ca­­lon mahasiswa ba­ru me­lalui ja­l­ur seleksi bibit ung­­g­ul da­lam bi­dang seni baca dan ha­fal kitab su­ci, kon­tro­ver­si pun tak ayal me­rebak. Pi­hak pim­pin­an UGM me­nolak meng­­ako­mo­da­si me­ka­nisme pe­nerimaan ma­ha­sis­wa baru se­macam itu. Alas­an­nya, se­b­a­gai universitas na­sio­nal, UGM ter­buka bagi se­mua anak bang­sa yang be­r­pres­tasi dan berasal da­ri berbagai ka­lang­an ma­u­pun latar belakang.

Kebijakan Afirmatif
Pada Perguruan Tinggi Ke­aga­­m­aan Islam Negeri (PTKIN) yang dinaungi Ke­men­te­rian Aga­ma, persoalan se­m­acam di atas tidak pernah mun­cul. Bah­kan merupakan se­buah ke­bi­jak­an afirmatif yang sudah cukup la­ma di­tem­puh. Universitas Is­lam Negeri (UIN) Jakarta, mi­sal­nya, da­lam beberapa tahun ter­akhir me­nyediakan puluhan kuo­ta khu­sus bagi santri hafiz Quran un­tuk diterima sebagai ma­ha­sis­wa baru pada Fakultas Ke­dok­teran dan Ilmu Kesehatan

Calon mahasiswa baru yang p­u­nya kemampuan menghafal Quran dianggap bibit unggul la­yak­nya mereka yang memiliki pres­tasi olahraga atau seni baik ting­kat nasional maupun i­nter­na­sional. Sudah menjadi tradisi baik di perguruan tinggi do­mes­tik maupun mancanegara, ca­lon mahasiswa yang memiliki pres­tasi olahraga atau seni men­da­­patkan jatah alokasi kursi se­ba­gai mahasiswa baru. Maka ti­d­ak mengherankan bila b­e­be­ra­pa PTN di luar binaan Ke­men­te­r­­ian Agama (contohnya UNS dan ITS) telah memiliki ke­bi­jak­an tanpa tes masuk penerimaan ­ma­hasiswa baru dan program ban­t­uan beasiswa kuliah bagi pe­la­mar yang mampu mem­e­nuhi persyaratan hafal Quran.

Sama halnya dengan calon ma­hasiswa dari olahragawan ber­prestasi, calon mahasiswa yang memiliki kualifikasi kom­pe­tensi penguasaan atau ha­fal­an kitab suci tentu tidak dengan sen­dirinya berkorelasi positif de­ngan mutu output atau lu­lus­an perguruan tinggi. Namun meng­abaikan calon mahasiswa b­a­ru yang memiliki latar be­la­kang pendidikan agama yang baik, apalagi sebagian mereka ada­lah hafiz Quran, sama juga ar­tinya dengan menyia-nyia­kan kesempatan untuk turut ber­kontribusi pada pengayaan stu­di di perguruan tinggi de­ngan latar belakang disiplin ke­il­muan agama. Padahal dewasa ini marak berkembang kajian-ka­jian yang mencoba me­ma­du­kan berbagai metode dan pen­de­katan ilmu pengetahuan, ter­ma­suk agama, di universitas man­canegara, khususnya di be­lah­an benua Amerika Utara.

Gerakan Sosial
Dalam sebuah artikel jurnal yang terbit tahun 2008 berjudul ”Ame­­rican Scholars Return to Study­­ing Religion”, Schmal­z­bauer dan Mahoney me­ma­par­kan bah­wa pada pergantian abad ke-21 te­l­ah berlangsung se­buah postse­cu­lar revolution yang ditandai kem­ba­linya aga­ma ke dunia pen­di­dik­an tinggi. Ini merupakan peng­­aku­an be­ta­pa agama adalah fe­n­o­me­na sos­ial yang penting dan se­buah ca­ra untuk mem­per­oleh pe­nge­­ta­huan (a way of know­ing). Ba­nyak karya ilmiah ditulis ber­­ke­na­an dengan lusinan topik di­­sip­lin ke­ilmuan, termasuk sas­tra, fil­sa­fat, ilmu politik, kerja so­sial, ke­se­hat­an, sejarah, dan so­sio­logi. Fenomena hadirnya kem­­bali agama di dunia pe­n­di­dik­­an tinggi Amerika Serikat de­wasa ini digambarkan se­ba­gai social movement.

Layaknya gerakan so­sial pa­da paruh per­ta­ma abad ke-20 yang me­la­ku­kan sekularisasi il­mu pe­nge­tahuan, ge­rak­an so­sial di abad ke-21 ini ber­upa­ya mem­pro­mosikan stu­di aga­ma dan me­nyam­bung­kan kem­b­ali aga­­ma dan il­mu pe­nge­ta­huan da­­lam ber­ba­gai dan in­ter­­di­sip­lin k­e­i­­l­muan sains mau­pun so­sial. Per­tum­buh­an dan per­­k­em­bang­an ge­rakan so­sial ini, me­nu­rut Sch­malz­bauer dan Ma­h­o­ney, sung­guh menc­e­ngang­­kan d­a­lam ane­ka ragam sek­­tor aka­de­mis. Ant­a­ra tahun 1995 hing­ga 2005, ke­ang­­­go­ta­an Ame­­ri­can Acade­my of Religion (AAR) me­ning­kat dari 5.500 menjadi 10.300 peserta.

Hingga ta­hun 2008, terdapat 150 pusat dan lem­baga studi di per­gu­rua­n ting­gi Ame­ri­ka yang memiliki fo­­­­kus pa­da isu ke­aga­m­a­an, ter­m­a­suk 10 yang meng­khu­sus­kan diri pada keterkaitan aga­ma dan sains.

Tidak mengherankan jika stu­­di agama bukan hanya di­mi­­nati kalangan ilmuwan s­o­sial, te­tapi dunia ahli medis Ame­rika juga memberi per­ha­ti­an besar ter­hadap agama. Jum­lah fa­kul­tas kedokteran yang me­na­war­kan mata kuliah ber­kaitan de­ngan agama meng­alami pe­ning­katan ta­jam mulai dari 5 pada 1992 men­jadi 101 pada 2005. Salah sa­tu lembaga studi di Duke Uni­versity yang men­da­pat du­kungan pendanaan dari John Tem­pleton Foundation ada­lah Cen­ter for Spirituality, Theo­lo­gy and Health yang me­ne­liti ba­gaimana dampak spi­ri­tua­li­tas terhadap tekanan da­rah, de­presi, dan kecanduan al­ko­hol. Lembaga lain, National Cen­­ter for Complementary and A­l­ternative Medicine, mem­­pro­mo­sikan penelitian ten­tang me­tode penyem­buh­an ayur­ve­da. Singkatnya, din­ding tinggi pem­batas antara aga­ma dan ke­dok­teran se­ka­rang sudah teruntuhkan.

Kajian Interdisipliner
Batas-batas antara cabang il­­mu satu dengan lainnya men­­ja­­di kabur dengan ha­dir­nya ka­ji­an interdisipliner. Ka­ji­an in­ter­­di­sip­liner inilah yang me­­nim­­bul­kan kegairahan akan ke­­bang­kit­an studi agama yang ti­dak ter­polarisasi. Arah ka­­ji­an in­ter­di­sipliner jelas sa­ngat ber­beda de­ngan proses se­­ku­la­ri­sasi ilmu pe­nge­ta­hu­an pada awal abad ke-­20 yang cen­­d­e­rung men­do­rong ter­ja­di­nya ko­­m­­par­te­men­t­­­­a­lisasi tiap-tiap (sub-)sp­esi­a­li­sa­si, bah­kan hi­per-spesialisasi k­e­il­muan. Se­perti dicatat Ro­berts dan Tur­ner (2000) da­lam kar­ya me­reka The Sacred and the Se­cu­lar University, kom­p­ar­te­men­ta­lisasi ilmu pe­nge­tahuan se­ma­cam itu pada gi­lirannya mem­­­buat dosen dan peneliti di per­­g­uruan ting­gi meng­abai­kan per­ta­nya­an penting me­nge­nai mak­na pokok dan terdalam dari se­buah kehidupan. Ka­jian in­ter­d­isipliner yang men­cakup aga­ma dan penge­ta­huan justru me­munculkan kembali per­ta­nya­an penting tersebut.

Dalam konteks strategis ka­­­ji­­an interdisipliner di dunia se­­­de­­mikian itu, perguruan ting­­gi di Indonesia ditantang un­­tuk ber­­peran aktif dan ber­kon­­­tri­bu­si besar melakukan in­­tegrasi ke­­ilmuan. Untuk me­­wu­judkan ka­­ji­an in­ter­di­sip­­lin­e­r yang ung­­gul, dib­u­tu­h­kan ko­laborasi pro­­duk­tif an­ta­ra sum­ber daya ma­­nu­­sia per­­gu­ru­an tinggi yang ber­be­da latar be­­lakang pen­d­­i­dik­an dan ke­ah­lian. Di si­ni­lah ti­tik pen­ting ke­hadiran ca­lon ma­ha­­siswa ba­ru yang me­miliki kom­­p­­e­ten­si ­pengua­sa­an dan ha­­falan ki­tab suci. Me­reka me­ru­­pakan agen-agen pem­be­la­jar yang da­pat me­ma­ju­kan dan meng­­ak­selerasi ka­ji­an in­ter­di­­s­i­p­li­ner di sebuah per­gu­ru­an tinggi.

Sesungguhnya kajian ke­il­mu­an yang bersifat multi-, in­ter- dan transdisiplin telah di­mu­lai di PTN binaan Ke­men­te­ri­an Agama dalam satu da­sa­war­sa terakhir sejak ber­kon­ver­si dari institut menjadi uni­ver­­si­tas. Saat ini beberapa uni­ver­­si­tas Islam negeri (UIN) s­u­dah me­rumuskan model for­mu­la in­tegrasi keilmuan dan mu­lai ber­gerak melakukan ka­j­i­an in­ter­disipliner. Dengan inp­ut ma­ha­siswa dan keber­ada­an dosen yang berasal dari ane­ka ragam la­tar belakang ke­il­muan, UIN me­miliki pe­r­sya­rat­an yang le­bih baik untuk me­wujudkan ka­ji­an in­ter­di­sip­liner. Bahkan, jika per­gur­u­an tinggi Islam te­rs­e­but bisa mem­peroleh dukungan fa­si­li­tas seimbang dan pen­da­na­­an yang lebih memadai, bu­kan ti­d­ak mungkin dalam hi­tung­an satu-dua dasawarsa yang akan da­tang mereka akan le­bih kom­p­etitif dan terdepan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0692 seconds (0.1#10.140)