Agama dan Pendidikan Tinggi
A
A
A
M Arskal Salim GP
Guru Besar dan Ketua Lembaga Peneliti dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BERMULA dari surat Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) di pengujung Oktober 2017 kepada Wakil Rektor UGM Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan yang menyatakan bersedia menerima calon mahasiswa baru melalui jalur seleksi bibit unggul dalam bidang seni baca dan hafal kitab suci, kontroversi pun tak ayal merebak. Pihak pimpinan UGM menolak mengakomodasi mekanisme penerimaan mahasiswa baru semacam itu. Alasannya, sebagai universitas nasional, UGM terbuka bagi semua anak bangsa yang berprestasi dan berasal dari berbagai kalangan maupun latar belakang.
Kebijakan Afirmatif
Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang dinaungi Kementerian Agama, persoalan semacam di atas tidak pernah muncul. Bahkan merupakan sebuah kebijakan afirmatif yang sudah cukup lama ditempuh. Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir menyediakan puluhan kuota khusus bagi santri hafiz Quran untuk diterima sebagai mahasiswa baru pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Calon mahasiswa baru yang punya kemampuan menghafal Quran dianggap bibit unggul layaknya mereka yang memiliki prestasi olahraga atau seni baik tingkat nasional maupun internasional. Sudah menjadi tradisi baik di perguruan tinggi domestik maupun mancanegara, calon mahasiswa yang memiliki prestasi olahraga atau seni mendapatkan jatah alokasi kursi sebagai mahasiswa baru. Maka tidak mengherankan bila beberapa PTN di luar binaan Kementerian Agama (contohnya UNS dan ITS) telah memiliki kebijakan tanpa tes masuk penerimaan mahasiswa baru dan program bantuan beasiswa kuliah bagi pelamar yang mampu memenuhi persyaratan hafal Quran.
Sama halnya dengan calon mahasiswa dari olahragawan berprestasi, calon mahasiswa yang memiliki kualifikasi kompetensi penguasaan atau hafalan kitab suci tentu tidak dengan sendirinya berkorelasi positif dengan mutu output atau lulusan perguruan tinggi. Namun mengabaikan calon mahasiswa baru yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik, apalagi sebagian mereka adalah hafiz Quran, sama juga artinya dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk turut berkontribusi pada pengayaan studi di perguruan tinggi dengan latar belakang disiplin keilmuan agama. Padahal dewasa ini marak berkembang kajian-kajian yang mencoba memadukan berbagai metode dan pendekatan ilmu pengetahuan, termasuk agama, di universitas mancanegara, khususnya di belahan benua Amerika Utara.
Gerakan Sosial
Dalam sebuah artikel jurnal yang terbit tahun 2008 berjudul ”American Scholars Return to Studying Religion”, Schmalzbauer dan Mahoney memaparkan bahwa pada pergantian abad ke-21 telah berlangsung sebuah postsecular revolution yang ditandai kembalinya agama ke dunia pendidikan tinggi. Ini merupakan pengakuan betapa agama adalah fenomena sosial yang penting dan sebuah cara untuk memperoleh pengetahuan (a way of knowing). Banyak karya ilmiah ditulis berkenaan dengan lusinan topik disiplin keilmuan, termasuk sastra, filsafat, ilmu politik, kerja sosial, kesehatan, sejarah, dan sosiologi. Fenomena hadirnya kembali agama di dunia pendidikan tinggi Amerika Serikat dewasa ini digambarkan sebagai social movement.
Layaknya gerakan sosial pada paruh pertama abad ke-20 yang melakukan sekularisasi ilmu pengetahuan, gerakan sosial di abad ke-21 ini berupaya mempromosikan studi agama dan menyambungkan kembali agama dan ilmu pengetahuan dalam berbagai dan interdisiplin keilmuan sains maupun sosial. Pertumbuhan dan perkembangan gerakan sosial ini, menurut Schmalzbauer dan Mahoney, sungguh mencengangkan dalam aneka ragam sektor akademis. Antara tahun 1995 hingga 2005, keanggotaan American Academy of Religion (AAR) meningkat dari 5.500 menjadi 10.300 peserta.
Hingga tahun 2008, terdapat 150 pusat dan lembaga studi di perguruan tinggi Amerika yang memiliki fokus pada isu keagamaan, termasuk 10 yang mengkhususkan diri pada keterkaitan agama dan sains.
Tidak mengherankan jika studi agama bukan hanya diminati kalangan ilmuwan sosial, tetapi dunia ahli medis Amerika juga memberi perhatian besar terhadap agama. Jumlah fakultas kedokteran yang menawarkan mata kuliah berkaitan dengan agama mengalami peningkatan tajam mulai dari 5 pada 1992 menjadi 101 pada 2005. Salah satu lembaga studi di Duke University yang mendapat dukungan pendanaan dari John Templeton Foundation adalah Center for Spirituality, Theology and Health yang meneliti bagaimana dampak spiritualitas terhadap tekanan darah, depresi, dan kecanduan alkohol. Lembaga lain, National Center for Complementary and Alternative Medicine, mempromosikan penelitian tentang metode penyembuhan ayurveda. Singkatnya, dinding tinggi pembatas antara agama dan kedokteran sekarang sudah teruntuhkan.
Kajian Interdisipliner
Batas-batas antara cabang ilmu satu dengan lainnya menjadi kabur dengan hadirnya kajian interdisipliner. Kajian interdisipliner inilah yang menimbulkan kegairahan akan kebangkitan studi agama yang tidak terpolarisasi. Arah kajian interdisipliner jelas sangat berbeda dengan proses sekularisasi ilmu pengetahuan pada awal abad ke-20 yang cenderung mendorong terjadinya kompartementalisasi tiap-tiap (sub-)spesialisasi, bahkan hiper-spesialisasi keilmuan. Seperti dicatat Roberts dan Turner (2000) dalam karya mereka The Sacred and the Secular University, kompartementalisasi ilmu pengetahuan semacam itu pada gilirannya membuat dosen dan peneliti di perguruan tinggi mengabaikan pertanyaan penting mengenai makna pokok dan terdalam dari sebuah kehidupan. Kajian interdisipliner yang mencakup agama dan pengetahuan justru memunculkan kembali pertanyaan penting tersebut.
Dalam konteks strategis kajian interdisipliner di dunia sedemikian itu, perguruan tinggi di Indonesia ditantang untuk berperan aktif dan berkontribusi besar melakukan integrasi keilmuan. Untuk mewujudkan kajian interdisipliner yang unggul, dibutuhkan kolaborasi produktif antara sumber daya manusia perguruan tinggi yang berbeda latar belakang pendidikan dan keahlian. Di sinilah titik penting kehadiran calon mahasiswa baru yang memiliki kompetensi penguasaan dan hafalan kitab suci. Mereka merupakan agen-agen pembelajar yang dapat memajukan dan mengakselerasi kajian interdisipliner di sebuah perguruan tinggi.
Sesungguhnya kajian keilmuan yang bersifat multi-, inter- dan transdisiplin telah dimulai di PTN binaan Kementerian Agama dalam satu dasawarsa terakhir sejak berkonversi dari institut menjadi universitas. Saat ini beberapa universitas Islam negeri (UIN) sudah merumuskan model formula integrasi keilmuan dan mulai bergerak melakukan kajian interdisipliner. Dengan input mahasiswa dan keberadaan dosen yang berasal dari aneka ragam latar belakang keilmuan, UIN memiliki persyaratan yang lebih baik untuk mewujudkan kajian interdisipliner. Bahkan, jika perguruan tinggi Islam tersebut bisa memperoleh dukungan fasilitas seimbang dan pendanaan yang lebih memadai, bukan tidak mungkin dalam hitungan satu-dua dasawarsa yang akan datang mereka akan lebih kompetitif dan terdepan.
Guru Besar dan Ketua Lembaga Peneliti dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BERMULA dari surat Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) di pengujung Oktober 2017 kepada Wakil Rektor UGM Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan yang menyatakan bersedia menerima calon mahasiswa baru melalui jalur seleksi bibit unggul dalam bidang seni baca dan hafal kitab suci, kontroversi pun tak ayal merebak. Pihak pimpinan UGM menolak mengakomodasi mekanisme penerimaan mahasiswa baru semacam itu. Alasannya, sebagai universitas nasional, UGM terbuka bagi semua anak bangsa yang berprestasi dan berasal dari berbagai kalangan maupun latar belakang.
Kebijakan Afirmatif
Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang dinaungi Kementerian Agama, persoalan semacam di atas tidak pernah muncul. Bahkan merupakan sebuah kebijakan afirmatif yang sudah cukup lama ditempuh. Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir menyediakan puluhan kuota khusus bagi santri hafiz Quran untuk diterima sebagai mahasiswa baru pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Calon mahasiswa baru yang punya kemampuan menghafal Quran dianggap bibit unggul layaknya mereka yang memiliki prestasi olahraga atau seni baik tingkat nasional maupun internasional. Sudah menjadi tradisi baik di perguruan tinggi domestik maupun mancanegara, calon mahasiswa yang memiliki prestasi olahraga atau seni mendapatkan jatah alokasi kursi sebagai mahasiswa baru. Maka tidak mengherankan bila beberapa PTN di luar binaan Kementerian Agama (contohnya UNS dan ITS) telah memiliki kebijakan tanpa tes masuk penerimaan mahasiswa baru dan program bantuan beasiswa kuliah bagi pelamar yang mampu memenuhi persyaratan hafal Quran.
Sama halnya dengan calon mahasiswa dari olahragawan berprestasi, calon mahasiswa yang memiliki kualifikasi kompetensi penguasaan atau hafalan kitab suci tentu tidak dengan sendirinya berkorelasi positif dengan mutu output atau lulusan perguruan tinggi. Namun mengabaikan calon mahasiswa baru yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik, apalagi sebagian mereka adalah hafiz Quran, sama juga artinya dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk turut berkontribusi pada pengayaan studi di perguruan tinggi dengan latar belakang disiplin keilmuan agama. Padahal dewasa ini marak berkembang kajian-kajian yang mencoba memadukan berbagai metode dan pendekatan ilmu pengetahuan, termasuk agama, di universitas mancanegara, khususnya di belahan benua Amerika Utara.
Gerakan Sosial
Dalam sebuah artikel jurnal yang terbit tahun 2008 berjudul ”American Scholars Return to Studying Religion”, Schmalzbauer dan Mahoney memaparkan bahwa pada pergantian abad ke-21 telah berlangsung sebuah postsecular revolution yang ditandai kembalinya agama ke dunia pendidikan tinggi. Ini merupakan pengakuan betapa agama adalah fenomena sosial yang penting dan sebuah cara untuk memperoleh pengetahuan (a way of knowing). Banyak karya ilmiah ditulis berkenaan dengan lusinan topik disiplin keilmuan, termasuk sastra, filsafat, ilmu politik, kerja sosial, kesehatan, sejarah, dan sosiologi. Fenomena hadirnya kembali agama di dunia pendidikan tinggi Amerika Serikat dewasa ini digambarkan sebagai social movement.
Layaknya gerakan sosial pada paruh pertama abad ke-20 yang melakukan sekularisasi ilmu pengetahuan, gerakan sosial di abad ke-21 ini berupaya mempromosikan studi agama dan menyambungkan kembali agama dan ilmu pengetahuan dalam berbagai dan interdisiplin keilmuan sains maupun sosial. Pertumbuhan dan perkembangan gerakan sosial ini, menurut Schmalzbauer dan Mahoney, sungguh mencengangkan dalam aneka ragam sektor akademis. Antara tahun 1995 hingga 2005, keanggotaan American Academy of Religion (AAR) meningkat dari 5.500 menjadi 10.300 peserta.
Hingga tahun 2008, terdapat 150 pusat dan lembaga studi di perguruan tinggi Amerika yang memiliki fokus pada isu keagamaan, termasuk 10 yang mengkhususkan diri pada keterkaitan agama dan sains.
Tidak mengherankan jika studi agama bukan hanya diminati kalangan ilmuwan sosial, tetapi dunia ahli medis Amerika juga memberi perhatian besar terhadap agama. Jumlah fakultas kedokteran yang menawarkan mata kuliah berkaitan dengan agama mengalami peningkatan tajam mulai dari 5 pada 1992 menjadi 101 pada 2005. Salah satu lembaga studi di Duke University yang mendapat dukungan pendanaan dari John Templeton Foundation adalah Center for Spirituality, Theology and Health yang meneliti bagaimana dampak spiritualitas terhadap tekanan darah, depresi, dan kecanduan alkohol. Lembaga lain, National Center for Complementary and Alternative Medicine, mempromosikan penelitian tentang metode penyembuhan ayurveda. Singkatnya, dinding tinggi pembatas antara agama dan kedokteran sekarang sudah teruntuhkan.
Kajian Interdisipliner
Batas-batas antara cabang ilmu satu dengan lainnya menjadi kabur dengan hadirnya kajian interdisipliner. Kajian interdisipliner inilah yang menimbulkan kegairahan akan kebangkitan studi agama yang tidak terpolarisasi. Arah kajian interdisipliner jelas sangat berbeda dengan proses sekularisasi ilmu pengetahuan pada awal abad ke-20 yang cenderung mendorong terjadinya kompartementalisasi tiap-tiap (sub-)spesialisasi, bahkan hiper-spesialisasi keilmuan. Seperti dicatat Roberts dan Turner (2000) dalam karya mereka The Sacred and the Secular University, kompartementalisasi ilmu pengetahuan semacam itu pada gilirannya membuat dosen dan peneliti di perguruan tinggi mengabaikan pertanyaan penting mengenai makna pokok dan terdalam dari sebuah kehidupan. Kajian interdisipliner yang mencakup agama dan pengetahuan justru memunculkan kembali pertanyaan penting tersebut.
Dalam konteks strategis kajian interdisipliner di dunia sedemikian itu, perguruan tinggi di Indonesia ditantang untuk berperan aktif dan berkontribusi besar melakukan integrasi keilmuan. Untuk mewujudkan kajian interdisipliner yang unggul, dibutuhkan kolaborasi produktif antara sumber daya manusia perguruan tinggi yang berbeda latar belakang pendidikan dan keahlian. Di sinilah titik penting kehadiran calon mahasiswa baru yang memiliki kompetensi penguasaan dan hafalan kitab suci. Mereka merupakan agen-agen pembelajar yang dapat memajukan dan mengakselerasi kajian interdisipliner di sebuah perguruan tinggi.
Sesungguhnya kajian keilmuan yang bersifat multi-, inter- dan transdisiplin telah dimulai di PTN binaan Kementerian Agama dalam satu dasawarsa terakhir sejak berkonversi dari institut menjadi universitas. Saat ini beberapa universitas Islam negeri (UIN) sudah merumuskan model formula integrasi keilmuan dan mulai bergerak melakukan kajian interdisipliner. Dengan input mahasiswa dan keberadaan dosen yang berasal dari aneka ragam latar belakang keilmuan, UIN memiliki persyaratan yang lebih baik untuk mewujudkan kajian interdisipliner. Bahkan, jika perguruan tinggi Islam tersebut bisa memperoleh dukungan fasilitas seimbang dan pendanaan yang lebih memadai, bukan tidak mungkin dalam hitungan satu-dua dasawarsa yang akan datang mereka akan lebih kompetitif dan terdepan.
(mhd)