Waspadai Adu Domba, Masyarakat Harus Cerdas Bermedia Sosial
A
A
A
JAKARTA - Menjelang tahun Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019, upaya adu domba antarkelompok mulai bermunculan, terutama melalui media sosial.
Oleh karena itu, masyarakat harus cerdas saat "bergaul" dengan media sosial dan media konvensional.
“Masyarakat harus melihat bahwa itu semua hanya proses biasa, bukan segala-galanya. Masyarakat juga tidak boleh terpancing karena berita- berita yang mungkin isinya hasutan atau adu domba. Cari sumber-sumber yang resmi dan cek ricek. Kalau kesadaran ini dibangun sejak awal, pasti tidak akan terjadi apa-apa,” tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva di Jakarta, Kamis 16 November 2017.
Menurut dia, untuk membangun kesadaran masyarakat, perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. Pertama, masyarakat harus diberikan edukasi bahwa proses pilkada dan pilpres adalah proses biasa di alam demokrasi.
Kedua, rasa saling hormat menghormati dan tenggang rasa antara satu dan yang lain harus terus dikembangkan.
Selanjutnya, kata dia, hindari melakukan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain dengan mengembuskan isu-isu sukuisme, agama, ras dan lain-lain. Kemudian hindari berita yang tak terklarifikasi.
“Kesadaran ini perlu terus dibangun di masyarakat karena saat persaingan pilkada atau pilpres tinggi, maka hoax dan hate speech (ujaran kebencian) di media sosial sangat tinggi,” ujarnya.
Hamdan mengakui setiap pelaksanaan pilkada dan pilpres memiliki potensi konflik tinggi. Apalagi keberadaan media sosial ini yang membuat masyarakat bisa mengakses segala hal melalui gawai.
Ditambah dengan adanya pandangan sebagian orang bahwa pertarungan politik seperti itu adalah pertarungan hidup mati. Padahal, itu hanya mekanisme biasa dalam rangka memilih pemimpin baru dan itu pun ada masa baktinya.
Artinya, kata dia, siapa pun yang terpilih masih tetap bisa dikritisi dan diawasi oleh lembaga resmi seperti DPR atau DPRD. Bahkan dalam perjalannya, masyarakat bisa terus mengkontrol sehingga siapa pun yang menjadi pemimpin tidak akan sangat otoriter dalam pemerintahan demokratis seperti sekarang ini.
Dia juga mengajak masyarakat untuk belajar dari pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta lalu. Saat itu, masyarakat terkotak-kotak dengan berbagai isu sensitif, terutama agama.
Hal ini, kata dia, harus dihindari, apalagi kekisruhan seperti ini bisa ditunggani kelompok radikal terorisme untuk melancarkan propaganda dan aksinya.
“Ingat radikalisme dan terorisme masih terus mengancam persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat harus waspada dan benar-benar jangan mudah terpancing dengan berbagai macam isu, terutama melalui media sosial dan media,” tuturnya.
Oleh karena itu, masyarakat harus cerdas saat "bergaul" dengan media sosial dan media konvensional.
“Masyarakat harus melihat bahwa itu semua hanya proses biasa, bukan segala-galanya. Masyarakat juga tidak boleh terpancing karena berita- berita yang mungkin isinya hasutan atau adu domba. Cari sumber-sumber yang resmi dan cek ricek. Kalau kesadaran ini dibangun sejak awal, pasti tidak akan terjadi apa-apa,” tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva di Jakarta, Kamis 16 November 2017.
Menurut dia, untuk membangun kesadaran masyarakat, perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. Pertama, masyarakat harus diberikan edukasi bahwa proses pilkada dan pilpres adalah proses biasa di alam demokrasi.
Kedua, rasa saling hormat menghormati dan tenggang rasa antara satu dan yang lain harus terus dikembangkan.
Selanjutnya, kata dia, hindari melakukan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain dengan mengembuskan isu-isu sukuisme, agama, ras dan lain-lain. Kemudian hindari berita yang tak terklarifikasi.
“Kesadaran ini perlu terus dibangun di masyarakat karena saat persaingan pilkada atau pilpres tinggi, maka hoax dan hate speech (ujaran kebencian) di media sosial sangat tinggi,” ujarnya.
Hamdan mengakui setiap pelaksanaan pilkada dan pilpres memiliki potensi konflik tinggi. Apalagi keberadaan media sosial ini yang membuat masyarakat bisa mengakses segala hal melalui gawai.
Ditambah dengan adanya pandangan sebagian orang bahwa pertarungan politik seperti itu adalah pertarungan hidup mati. Padahal, itu hanya mekanisme biasa dalam rangka memilih pemimpin baru dan itu pun ada masa baktinya.
Artinya, kata dia, siapa pun yang terpilih masih tetap bisa dikritisi dan diawasi oleh lembaga resmi seperti DPR atau DPRD. Bahkan dalam perjalannya, masyarakat bisa terus mengkontrol sehingga siapa pun yang menjadi pemimpin tidak akan sangat otoriter dalam pemerintahan demokratis seperti sekarang ini.
Dia juga mengajak masyarakat untuk belajar dari pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta lalu. Saat itu, masyarakat terkotak-kotak dengan berbagai isu sensitif, terutama agama.
Hal ini, kata dia, harus dihindari, apalagi kekisruhan seperti ini bisa ditunggani kelompok radikal terorisme untuk melancarkan propaganda dan aksinya.
“Ingat radikalisme dan terorisme masih terus mengancam persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat harus waspada dan benar-benar jangan mudah terpancing dengan berbagai macam isu, terutama melalui media sosial dan media,” tuturnya.
(dam)