Hari Pahlawan, KNPI Ingatkan Tantangan Generasi Milenial
A
A
A
JAKARTA - DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) menilai momentum Hari Pahlawan harus dapat menguatkan identitas kebangsaan.
Berkaca pada semangat kepahlawanan 72 tahun silam, semangat kepahlawanan begitu membara dan menjadi perekat persatuan melawan kolonialisme Jepang, Belanda sampai Inggris atau tentara sekutu.
"Hanya dengan kekuatan tekad, dan bermodal semangat baja, pasukan sekutu mengakui kewalahan menghadapi kekuatan rakyat Indonesia yang saat itu tidak didukung oleh persenjataan mutakhir," kata Ketua Umum DPP KNPI Muhammad Rifai Darus, Jumat (10/11/2017).
Dia mengatakan, para pejuang, pahlawan, pendiri negara ini telah lama menyadari dan bersepaham bersama kemerdekaan yang diperjuangkan tidak sekadar mendirikan negara, berdaulat atau mempertahankannya.
Lebih jauh lagi, kata dia, kesepahaman dan kesadaran kesejarahan cukup lama, tertanam dalam relung kebatinan untuk membentuk sebuah bangsa.
"Kini, di saat abad milenial tantangannya telah bergeser. Tantangan kaum muda abad milenial, begitu pelik, kompleks dan tidak mudah. Tantangan eksternal meliputi kebebasan dan keterbukaan lalu lintas barang, modal, informasi, hingga budaya dari satu negara ke negara lain," tutur Rifai.
Menurut dia, fenomena globalisasi yang menciptakan iklim kebebasan, persaingan begitu kompetitif, ketat dan tajam.
"Mengingat, tidak semua ekses globalisasi itu berdampak positif dan selaras dengan kebudayaan dan tradisi yang telah mengakar kuat di Indonesia," tandasnya.
Arus informasi yang sejalan dengan revolusi industri telekomunikasi dan interkoneksi, kata dia, dapat dengan mudah menggeser pemahaman dan kesadaran kesejarahan kaum muda.
Melalui smartphone, lanjut dia, siapa pun bisa mendapatkan, memproduksi atau menyebarkan informasi. Tidak jarang, media sosial menjadi medium penyebaran informasi, konten hoax atau yang sarat dengan ujaran kebencian (hate speech).
Dia mengatakan, informasi yang menyebar begitu deras dan cepat, tanpa filter dan verifikasi lebih lanjut, berujung pada retaknya persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa.
"Meski telah terbit UU ITE dan SE Kapolri tentang ujaran kebencian, tetapi upaya komprehensif berikut tata aturan hukum penindakannya harus diatur lebih khusus," ujarnya.
Berikutnya, kata dia, tantangan internal tersebar di level makro dan mikro. Pada level makro meliputi krisis ketauladanan dan rapuhnya mentalitas kebangsaan.
"Indikasinya, kita begitu mudah menciptakan kegaduhan di level elite akibat pernyataan-pernyataan politik yang memperkeruh iklim persatuan. Tak kalah penting adalah ketimpangan, ancaman (potensi) daya beli masyarakat, pengangguran serta ketahanan fiskal kita untuk memenuhi kebutuhan domestik sekaligus penopang pembangunan," tuturnya.
Dia mengungkapkan, pada aspek mikro, begitu mudahnya antarkelompok masyarakat tergiring oleh isu atau informasi yang menyesatkan serta menjadi korban dari komoditas politik kelompok elite.
"Pada level tertentu, bila hal itu bertalian dengan demokrasi elektoral, kita menyaksikan betapa mudahnya masyarakat terpecah untuk membela atau menyalahkan kubu tertentu," ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu diatur lebih lanjut dan tegas untuk tidak menggunakan kampanye hitam (black campaign) dalam setiap hajat politik elektoral.
Menurut dia, apa yang telah diperjuangkan para pahlawan, merupakan warisan tak ternilai dan begitu berharga untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan sebagai negara yang berdaulat.
"Bila kesadaran kesejarahan itu tidak kita internalisasi sebagai nilai, sikap hidup, laku dan tindakan, maka cepat atau lambat, negeri ini akan menuju perpecahan," tandasnya.
Warisan berharga berikutnya, kata dia, betapa pun perbedaan di antara kelompok pejuang atau pendiri bangsa berlangsung sengit, mereka bisa bersatu padu meletakan fondasi bernegara dan berbangsa.
"Tugas kita saat ini bagaimana merumuskan narasi kebangsaan di tengah perubahan tantangan dan pergeseran tatanan dunia. Yang berangkat dari kesadaran bersama, bahwa apa yang kita lakukan saat ini, baik-buruknya akan dirasakan oleh generasi berikutnya," tutur Rifai.
Berkaca pada semangat kepahlawanan 72 tahun silam, semangat kepahlawanan begitu membara dan menjadi perekat persatuan melawan kolonialisme Jepang, Belanda sampai Inggris atau tentara sekutu.
"Hanya dengan kekuatan tekad, dan bermodal semangat baja, pasukan sekutu mengakui kewalahan menghadapi kekuatan rakyat Indonesia yang saat itu tidak didukung oleh persenjataan mutakhir," kata Ketua Umum DPP KNPI Muhammad Rifai Darus, Jumat (10/11/2017).
Dia mengatakan, para pejuang, pahlawan, pendiri negara ini telah lama menyadari dan bersepaham bersama kemerdekaan yang diperjuangkan tidak sekadar mendirikan negara, berdaulat atau mempertahankannya.
Lebih jauh lagi, kata dia, kesepahaman dan kesadaran kesejarahan cukup lama, tertanam dalam relung kebatinan untuk membentuk sebuah bangsa.
"Kini, di saat abad milenial tantangannya telah bergeser. Tantangan kaum muda abad milenial, begitu pelik, kompleks dan tidak mudah. Tantangan eksternal meliputi kebebasan dan keterbukaan lalu lintas barang, modal, informasi, hingga budaya dari satu negara ke negara lain," tutur Rifai.
Menurut dia, fenomena globalisasi yang menciptakan iklim kebebasan, persaingan begitu kompetitif, ketat dan tajam.
"Mengingat, tidak semua ekses globalisasi itu berdampak positif dan selaras dengan kebudayaan dan tradisi yang telah mengakar kuat di Indonesia," tandasnya.
Arus informasi yang sejalan dengan revolusi industri telekomunikasi dan interkoneksi, kata dia, dapat dengan mudah menggeser pemahaman dan kesadaran kesejarahan kaum muda.
Melalui smartphone, lanjut dia, siapa pun bisa mendapatkan, memproduksi atau menyebarkan informasi. Tidak jarang, media sosial menjadi medium penyebaran informasi, konten hoax atau yang sarat dengan ujaran kebencian (hate speech).
Dia mengatakan, informasi yang menyebar begitu deras dan cepat, tanpa filter dan verifikasi lebih lanjut, berujung pada retaknya persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa.
"Meski telah terbit UU ITE dan SE Kapolri tentang ujaran kebencian, tetapi upaya komprehensif berikut tata aturan hukum penindakannya harus diatur lebih khusus," ujarnya.
Berikutnya, kata dia, tantangan internal tersebar di level makro dan mikro. Pada level makro meliputi krisis ketauladanan dan rapuhnya mentalitas kebangsaan.
"Indikasinya, kita begitu mudah menciptakan kegaduhan di level elite akibat pernyataan-pernyataan politik yang memperkeruh iklim persatuan. Tak kalah penting adalah ketimpangan, ancaman (potensi) daya beli masyarakat, pengangguran serta ketahanan fiskal kita untuk memenuhi kebutuhan domestik sekaligus penopang pembangunan," tuturnya.
Dia mengungkapkan, pada aspek mikro, begitu mudahnya antarkelompok masyarakat tergiring oleh isu atau informasi yang menyesatkan serta menjadi korban dari komoditas politik kelompok elite.
"Pada level tertentu, bila hal itu bertalian dengan demokrasi elektoral, kita menyaksikan betapa mudahnya masyarakat terpecah untuk membela atau menyalahkan kubu tertentu," ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu diatur lebih lanjut dan tegas untuk tidak menggunakan kampanye hitam (black campaign) dalam setiap hajat politik elektoral.
Menurut dia, apa yang telah diperjuangkan para pahlawan, merupakan warisan tak ternilai dan begitu berharga untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan sebagai negara yang berdaulat.
"Bila kesadaran kesejarahan itu tidak kita internalisasi sebagai nilai, sikap hidup, laku dan tindakan, maka cepat atau lambat, negeri ini akan menuju perpecahan," tandasnya.
Warisan berharga berikutnya, kata dia, betapa pun perbedaan di antara kelompok pejuang atau pendiri bangsa berlangsung sengit, mereka bisa bersatu padu meletakan fondasi bernegara dan berbangsa.
"Tugas kita saat ini bagaimana merumuskan narasi kebangsaan di tengah perubahan tantangan dan pergeseran tatanan dunia. Yang berangkat dari kesadaran bersama, bahwa apa yang kita lakukan saat ini, baik-buruknya akan dirasakan oleh generasi berikutnya," tutur Rifai.
(dam)