Menteri Yohana Canangkan Gerakan Stop Perkawinan Anak
A
A
A
JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) Yohana Susana Yembise akan mencanangkan Gerakan Stop Perkawinan Anak di Kantor Kementerian PP dan PA, Jakarta, Jumat, 3 November 2017. Gerakan ini dilatarbelakangi dari isu anak-anak dan perempuan saat ini yang menjadi isu global dan menjadi perhatian Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).
“Besok (Jumat, 3 November 2017) saya memulai Gerakan Stop Perkawinan Anak, setelah sebelumnya sudah bertemu dengan menteri agama,” kata Menteri PP dan PA Yohana Yembise saat berdialog dengan awak media massa di Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Yohana mengatakan, saat ini prioritas utama negara-negara maju adalah menjaga dan menyelamatkan anak-anak dan perempuan. “Untuk itu Indonesia harus punya konsep untuk menyelamatkan dan menjaga perempuan dan anak perempuan. Kita harus menjaga bahwa anak usia 0-18 tahun. Di usia tersebut mereka harus sekolah dan bermain,” ujarnya.
Menurutnya, ada hubungan erat antara fenomena bully pada anak-anak dengan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan kajian kasus bully pada anak itu dikarenakan mereka menirukan apa yang dilakukan orang tuanya di rumah.
“Setelah bertemu menteri agama, dia siap back up saya. Selain itu sebanyak 500 ustazah juga ikut mendukung dan ikut mendesak stop perkawinan anak,” tuturnya.
Yohana mengaku dirinya juga sedang memikirkan kemungkinan untuk membuat peraturan pemerintah pengganti undang undang (Perppu) untuk mendukung gerakan stop perkawinan anak. Kementerian PP dan PA juga sudah meminta sejumlah perguruan tinggi untuk membuat kajian dalam rangka Gerakan Stop Perkawinan Anak ini. “Semua ini kami lakukan dalam rangka mencapai target pemerintah dalam suistainable development goals (SDGs),” jelasnya.
Sekretaris Menteri PP dan PA Pribudiarta Sitepu mengatakan, saat ini pihaknya sedang melakukan kajian dengan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait analisis data perkawainan anak di Indonesia. “Hasilnya ternyata kondisi kota dan desa turut berpengaruh dalam kasus perkawinan anak. Selain itu juga sangat terkait dengan tingkat kemiskinan penduduk,” katanya.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PP dan PA Lenny Nurharyanti Rosalin mengatakan, target jangka panjang dalam Gerakan Stop Perkawinan Anak ini adalah merevisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan. “Kementerian PP dan PA bergerak bersama dengan jejaring lembaga swadaya manusia (LSM) yang peduli masalah anak. Kami merasa dalam jangka panjang perlu payung hukum untuk melindungi anak-anak dari perkawinan dini,” kata Lenny.
Menurut Lenny, berdasarkan hasil sharing dan kajian bersama disepakati bahwa hanya beberapa hal yang perlu direvisi dari UU No 1/1974. Salah satunya, menaikkan usia anak yang bisa menikah dari sebelumnya 16 tahun menjadi 18 tahun. “Meskipun sebenarnya usia yang ideal bagi seorang untuk menikah adalah usia 21 tahun,” ujarnya.
Selain itu, pasal yang mengatur tentang dispensasi usia perkawinan selayaknya dihapus. “Sebab kalau pasal dispensasi ini masih ada maka percuma saja kalau ada batasan usia,” tuturnya.
“Besok (Jumat, 3 November 2017) saya memulai Gerakan Stop Perkawinan Anak, setelah sebelumnya sudah bertemu dengan menteri agama,” kata Menteri PP dan PA Yohana Yembise saat berdialog dengan awak media massa di Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Yohana mengatakan, saat ini prioritas utama negara-negara maju adalah menjaga dan menyelamatkan anak-anak dan perempuan. “Untuk itu Indonesia harus punya konsep untuk menyelamatkan dan menjaga perempuan dan anak perempuan. Kita harus menjaga bahwa anak usia 0-18 tahun. Di usia tersebut mereka harus sekolah dan bermain,” ujarnya.
Menurutnya, ada hubungan erat antara fenomena bully pada anak-anak dengan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan kajian kasus bully pada anak itu dikarenakan mereka menirukan apa yang dilakukan orang tuanya di rumah.
“Setelah bertemu menteri agama, dia siap back up saya. Selain itu sebanyak 500 ustazah juga ikut mendukung dan ikut mendesak stop perkawinan anak,” tuturnya.
Yohana mengaku dirinya juga sedang memikirkan kemungkinan untuk membuat peraturan pemerintah pengganti undang undang (Perppu) untuk mendukung gerakan stop perkawinan anak. Kementerian PP dan PA juga sudah meminta sejumlah perguruan tinggi untuk membuat kajian dalam rangka Gerakan Stop Perkawinan Anak ini. “Semua ini kami lakukan dalam rangka mencapai target pemerintah dalam suistainable development goals (SDGs),” jelasnya.
Sekretaris Menteri PP dan PA Pribudiarta Sitepu mengatakan, saat ini pihaknya sedang melakukan kajian dengan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait analisis data perkawainan anak di Indonesia. “Hasilnya ternyata kondisi kota dan desa turut berpengaruh dalam kasus perkawinan anak. Selain itu juga sangat terkait dengan tingkat kemiskinan penduduk,” katanya.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PP dan PA Lenny Nurharyanti Rosalin mengatakan, target jangka panjang dalam Gerakan Stop Perkawinan Anak ini adalah merevisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan. “Kementerian PP dan PA bergerak bersama dengan jejaring lembaga swadaya manusia (LSM) yang peduli masalah anak. Kami merasa dalam jangka panjang perlu payung hukum untuk melindungi anak-anak dari perkawinan dini,” kata Lenny.
Menurut Lenny, berdasarkan hasil sharing dan kajian bersama disepakati bahwa hanya beberapa hal yang perlu direvisi dari UU No 1/1974. Salah satunya, menaikkan usia anak yang bisa menikah dari sebelumnya 16 tahun menjadi 18 tahun. “Meskipun sebenarnya usia yang ideal bagi seorang untuk menikah adalah usia 21 tahun,” ujarnya.
Selain itu, pasal yang mengatur tentang dispensasi usia perkawinan selayaknya dihapus. “Sebab kalau pasal dispensasi ini masih ada maka percuma saja kalau ada batasan usia,” tuturnya.
(poe)