Mewujudkan Kesehatan Rakyat Semesta
A
A
A
JAKARTA - Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadi salah satu program unggulan Kabinet Kerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), kini sudah memasuki tahun keempat dan terus disempurnakan untuk memastikan seluruh rakyat bisa menikmati layanan kesehatan. Penyempurnaan dilakukan melalui pemerataan pelayanan kesehatan berupa fasilitas kesehatan (faskes), sumber daya manusia kesehatan (SDMK), maupun kepastian pembebasan biaya penanganan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, pemenuhan layanan kesehatan berupa faskes maupun tenaga kesehatan dilakukan untuk puskesmas dan rumah sakit. Diakui Nila, penyebaran SDMK saat ini belum merata. Kawasan perkotaan masih mendominasi penempatan tenaga kesehatan dibandingkan dengan perdesaan.
Data 2016 menunjukkan jumlah dokter di perkotaan mencapai 47.530 dokter. Sementara di perdesaan hanya 545 dokter. Dokter umum di perkotaan 39.954 dokter dan di perdesaan 1.093 dokter. Dokter gigi di perkotaan mencapai 12.555 dokter dan di perdesaan 195 dokter. Adapun untuk perawat di perkotaan mencapai 217.724 orang dan di perdesaan 6.311 orang. Bidan di perkotaan 106.628 orang dan di perdesaan 5.268 orang. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya menang gulangi kesenjangan hal itu melalui program Nusantara Sehat yang bertujuan memeratakan akses pelayanan kesehatan di perdesaan.
Adapun peserta program ini meliputi para tenaga profesional kesehatan mulai dari dokter, dokter gigi, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, perawat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, serta tenaga kefarmasian. "Dengan langkah tersebut mudahmudahan mal distribusi bisa lebih diatur," kata Menkes.
(Baca Juga: Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
Terkait kepesertaan JKN di Indonesia saat ini, Nila menyebut, separuh warga negara Indonesia telah mendaftarkan diri sebagai peserta. Sedangkan peserta yang masuk dalam penerima bantuan iuran mencapai 92,4 juta jiwa. "Jaminan Kesehatan Nasional harus tetap dipertahankan untuk menolong yang tidak mampu," katanya.
Terkait adanya kasus pelayanan kesehatan peserta JKN yang tidak tertangani maksimal, seperti yang dialami bayi Debora, Nila mengatakan, jika hal itu akan terus coba dikurangi dengan mengajak partisipasi RS bergabung dalam program JKN. Apabila terjadi kasus semacam itu pada kemudian hari, Kemenkes akan melihat tingkat kesalahan yang dilakukan untuk menentukan sanksi yang akan diberikan.
"Sanksi bisa lisan, teguran keras hingga mencabut izin operasional," ujarnya.
Direktur Utama BPJS Fachmi Idris mengatakan, dari sisi kepesertaan jumlah peserta JKN-KIS terus mengalami peningkatan.
Begitu juga dari sisi pelayanan yang terus ditingkatkan kerja sama antara BPJS dengan faskes, baik faskes tingkat pertama (FKTP), seperti puskesmas, klinik pertama, dokter praktik perorangan; faskes rujukan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit; serta faskes penunjang, yakni apotek, dan laboratorium.
Terkait tantangan dan target BPJS Kesehatan ke depan, Fachmi mengatakan, terdapat tiga fokus utama sebagai landasan dalam menyusun arah dan kebijakan BPJS tahun 2017, yakni keberlangsungan finansial, kepuasan peserta, serta menuju cakupan semesta.
"Pada prinsipnya, BPJS Kesehatan akan melakukan perbaikan yang terus-menerus. Hasilnya saat ini sudah di atas total target tahunan yang sudah ditetapkan dalam annual management contract (AMC),” kata Fachmi.
Terkait langkah BPJS Kesehatan terhadap faskes yang belum ber ga bung (terutama swasta), Fachmi mengatakan, proses seleksi atau kredensialing harus tetap diberlakukan. Terutama untuk swasta yang melibatkan Dinas Kesehatan kabupaten/kota setempat guna memastikan peserta JKN-KIS memperoleh pelayanan kesehatan berkualitas, profesional, dan memuaskan.
"BPJS juga menerapkan sistem pendaftaran bagi faskes ingin menjadi provider melalui sistem yang transparan, yaitu dengan aplikasi Health Facilities Information System (HFIS)," katanya.
Menyangkut peningkatan kualitas layanan bagi peserta BPJS Kesehatan, Fachmi mengakui, butuh dukungan dari semua pihak agar sesuai dengan harapan. Poin peningkatan kualitas meliputi perluasan jumlah faskes yang kerja sama dengan BPJS Kesehatan, meningkatkan kualitas kendali mutu dan biaya pelayanan kesehatan kepada peserta JKN-KIS, mempertegas komitmen faskes terkait tidak adanya iuran biaya, ketersediaan obat dan transparansi ruang inap, hingga membangun jaringan data informasi yang kuat antara BPJS Kesehatan dengan faskes melalui bridging system.
"Selain itu, meningkatkan aktivitas promotif dan preventif sehingga diharapkan faskes (khususnya FKTP) bisa mengoptimalkan kegiatan promosi kesehatan, pemeriksaan deteksi dini kanker serviks, serta kegiatan pengelolaan penyakit kronis dan rujuk balik,” katanya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, untuk melihat sukses tidaknya program JKN yang dilaksanakan BPJS Kesehatan bisa dilihat dari tiga indikator, yakni sisi kepesertaan, pendanaan, serta pelayanan. Dari sisi kepesertaan, perlu perbaikan jumlah peserta mandiri masih di bawah peserta penerima bantuan iuran (PBI).
"Karena prinsip gotong-royong akan kelihatan maksimal jika kepesertaan mandirinya besar,” ucap Saleh.
Begitu juga dari sisi pembiayaan, anggaran JKN menurut dia, masih belum stabil. Dia mencontohkan, anggaran yang khusus untuk PBI pada 2017 disediakan Rp25 triliun. Namun hingga September 2017, sudah melebihi bahkan defisit hingga Rp9 triliun. Selain itu, BPJS dan Kemenkes harus memastikan pelayanan yang diterima peserta BPJS itu harus betul-betul baik, tidak ada diskriminasi. Oleh sebab itu, Saleh meminta agar ke depan BPJS Kesehatan harus meningkatkan jumlah kepesertaan dan kualitas sehingga tidak kalah dengan asuransi swasta. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadi salah satu program unggulan Kabinet Kerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), kini sudah memasuki tahun keempat dan terus disempurnakan untuk memastikan seluruh rakyat bisa menikmati layanan kesehatan. Penyempurnaan dilakukan melalui pemerataan pelayanan kesehatan berupa fasilitas kesehatan (faskes), sumber daya manusia kesehatan (SDMK), maupun kepastian pembebasan biaya penanganan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, pemenuhan layanan kesehatan berupa faskes maupun tenaga kesehatan dilakukan untuk puskesmas dan rumah sakit. Diakui Nila, penyebaran SDMK saat ini belum merata. Kawasan perkotaan masih mendominasi penempatan tenaga kesehatan dibandingkan dengan perdesaan.
Data 2016 menunjukkan jumlah dokter di perkotaan mencapai 47.530 dokter. Sementara di perdesaan hanya 545 dokter. Dokter umum di perkotaan 39.954 dokter dan di perdesaan 1.093 dokter. Dokter gigi di perkotaan mencapai 12.555 dokter dan di perdesaan 195 dokter. Adapun untuk perawat di perkotaan mencapai 217.724 orang dan di perdesaan 6.311 orang. Bidan di perkotaan 106.628 orang dan di perdesaan 5.268 orang. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya menang gulangi kesenjangan hal itu melalui program Nusantara Sehat yang bertujuan memeratakan akses pelayanan kesehatan di perdesaan.
Adapun peserta program ini meliputi para tenaga profesional kesehatan mulai dari dokter, dokter gigi, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, perawat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, serta tenaga kefarmasian. "Dengan langkah tersebut mudahmudahan mal distribusi bisa lebih diatur," kata Menkes.
Terkait kepesertaan JKN di Indonesia saat ini, Nila menyebut, separuh warga negara Indonesia telah mendaftarkan diri sebagai peserta. Sedangkan peserta yang masuk dalam penerima bantuan iuran mencapai 92,4 juta jiwa. "Jaminan Kesehatan Nasional harus tetap dipertahankan untuk menolong yang tidak mampu," katanya.
Terkait adanya kasus pelayanan kesehatan peserta JKN yang tidak tertangani maksimal, seperti yang dialami bayi Debora, Nila mengatakan, jika hal itu akan terus coba dikurangi dengan mengajak partisipasi RS bergabung dalam program JKN. Apabila terjadi kasus semacam itu pada kemudian hari, Kemenkes akan melihat tingkat kesalahan yang dilakukan untuk menentukan sanksi yang akan diberikan.
"Sanksi bisa lisan, teguran keras hingga mencabut izin operasional," ujarnya.
Direktur Utama BPJS Fachmi Idris mengatakan, dari sisi kepesertaan jumlah peserta JKN-KIS terus mengalami peningkatan.
Begitu juga dari sisi pelayanan yang terus ditingkatkan kerja sama antara BPJS dengan faskes, baik faskes tingkat pertama (FKTP), seperti puskesmas, klinik pertama, dokter praktik perorangan; faskes rujukan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit; serta faskes penunjang, yakni apotek, dan laboratorium.
Terkait tantangan dan target BPJS Kesehatan ke depan, Fachmi mengatakan, terdapat tiga fokus utama sebagai landasan dalam menyusun arah dan kebijakan BPJS tahun 2017, yakni keberlangsungan finansial, kepuasan peserta, serta menuju cakupan semesta.
"Pada prinsipnya, BPJS Kesehatan akan melakukan perbaikan yang terus-menerus. Hasilnya saat ini sudah di atas total target tahunan yang sudah ditetapkan dalam annual management contract (AMC),” kata Fachmi.
Terkait langkah BPJS Kesehatan terhadap faskes yang belum ber ga bung (terutama swasta), Fachmi mengatakan, proses seleksi atau kredensialing harus tetap diberlakukan. Terutama untuk swasta yang melibatkan Dinas Kesehatan kabupaten/kota setempat guna memastikan peserta JKN-KIS memperoleh pelayanan kesehatan berkualitas, profesional, dan memuaskan.
"BPJS juga menerapkan sistem pendaftaran bagi faskes ingin menjadi provider melalui sistem yang transparan, yaitu dengan aplikasi Health Facilities Information System (HFIS)," katanya.
Menyangkut peningkatan kualitas layanan bagi peserta BPJS Kesehatan, Fachmi mengakui, butuh dukungan dari semua pihak agar sesuai dengan harapan. Poin peningkatan kualitas meliputi perluasan jumlah faskes yang kerja sama dengan BPJS Kesehatan, meningkatkan kualitas kendali mutu dan biaya pelayanan kesehatan kepada peserta JKN-KIS, mempertegas komitmen faskes terkait tidak adanya iuran biaya, ketersediaan obat dan transparansi ruang inap, hingga membangun jaringan data informasi yang kuat antara BPJS Kesehatan dengan faskes melalui bridging system.
"Selain itu, meningkatkan aktivitas promotif dan preventif sehingga diharapkan faskes (khususnya FKTP) bisa mengoptimalkan kegiatan promosi kesehatan, pemeriksaan deteksi dini kanker serviks, serta kegiatan pengelolaan penyakit kronis dan rujuk balik,” katanya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, untuk melihat sukses tidaknya program JKN yang dilaksanakan BPJS Kesehatan bisa dilihat dari tiga indikator, yakni sisi kepesertaan, pendanaan, serta pelayanan. Dari sisi kepesertaan, perlu perbaikan jumlah peserta mandiri masih di bawah peserta penerima bantuan iuran (PBI).
"Karena prinsip gotong-royong akan kelihatan maksimal jika kepesertaan mandirinya besar,” ucap Saleh.
Begitu juga dari sisi pembiayaan, anggaran JKN menurut dia, masih belum stabil. Dia mencontohkan, anggaran yang khusus untuk PBI pada 2017 disediakan Rp25 triliun. Namun hingga September 2017, sudah melebihi bahkan defisit hingga Rp9 triliun. Selain itu, BPJS dan Kemenkes harus memastikan pelayanan yang diterima peserta BPJS itu harus betul-betul baik, tidak ada diskriminasi. Oleh sebab itu, Saleh meminta agar ke depan BPJS Kesehatan harus meningkatkan jumlah kepesertaan dan kualitas sehingga tidak kalah dengan asuransi swasta.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, pemenuhan layanan kesehatan berupa faskes maupun tenaga kesehatan dilakukan untuk puskesmas dan rumah sakit. Diakui Nila, penyebaran SDMK saat ini belum merata. Kawasan perkotaan masih mendominasi penempatan tenaga kesehatan dibandingkan dengan perdesaan.
Data 2016 menunjukkan jumlah dokter di perkotaan mencapai 47.530 dokter. Sementara di perdesaan hanya 545 dokter. Dokter umum di perkotaan 39.954 dokter dan di perdesaan 1.093 dokter. Dokter gigi di perkotaan mencapai 12.555 dokter dan di perdesaan 195 dokter. Adapun untuk perawat di perkotaan mencapai 217.724 orang dan di perdesaan 6.311 orang. Bidan di perkotaan 106.628 orang dan di perdesaan 5.268 orang. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya menang gulangi kesenjangan hal itu melalui program Nusantara Sehat yang bertujuan memeratakan akses pelayanan kesehatan di perdesaan.
Adapun peserta program ini meliputi para tenaga profesional kesehatan mulai dari dokter, dokter gigi, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, perawat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, serta tenaga kefarmasian. "Dengan langkah tersebut mudahmudahan mal distribusi bisa lebih diatur," kata Menkes.
(Baca Juga: Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
Terkait kepesertaan JKN di Indonesia saat ini, Nila menyebut, separuh warga negara Indonesia telah mendaftarkan diri sebagai peserta. Sedangkan peserta yang masuk dalam penerima bantuan iuran mencapai 92,4 juta jiwa. "Jaminan Kesehatan Nasional harus tetap dipertahankan untuk menolong yang tidak mampu," katanya.
Terkait adanya kasus pelayanan kesehatan peserta JKN yang tidak tertangani maksimal, seperti yang dialami bayi Debora, Nila mengatakan, jika hal itu akan terus coba dikurangi dengan mengajak partisipasi RS bergabung dalam program JKN. Apabila terjadi kasus semacam itu pada kemudian hari, Kemenkes akan melihat tingkat kesalahan yang dilakukan untuk menentukan sanksi yang akan diberikan.
"Sanksi bisa lisan, teguran keras hingga mencabut izin operasional," ujarnya.
Direktur Utama BPJS Fachmi Idris mengatakan, dari sisi kepesertaan jumlah peserta JKN-KIS terus mengalami peningkatan.
Begitu juga dari sisi pelayanan yang terus ditingkatkan kerja sama antara BPJS dengan faskes, baik faskes tingkat pertama (FKTP), seperti puskesmas, klinik pertama, dokter praktik perorangan; faskes rujukan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit; serta faskes penunjang, yakni apotek, dan laboratorium.
Terkait tantangan dan target BPJS Kesehatan ke depan, Fachmi mengatakan, terdapat tiga fokus utama sebagai landasan dalam menyusun arah dan kebijakan BPJS tahun 2017, yakni keberlangsungan finansial, kepuasan peserta, serta menuju cakupan semesta.
"Pada prinsipnya, BPJS Kesehatan akan melakukan perbaikan yang terus-menerus. Hasilnya saat ini sudah di atas total target tahunan yang sudah ditetapkan dalam annual management contract (AMC),” kata Fachmi.
Terkait langkah BPJS Kesehatan terhadap faskes yang belum ber ga bung (terutama swasta), Fachmi mengatakan, proses seleksi atau kredensialing harus tetap diberlakukan. Terutama untuk swasta yang melibatkan Dinas Kesehatan kabupaten/kota setempat guna memastikan peserta JKN-KIS memperoleh pelayanan kesehatan berkualitas, profesional, dan memuaskan.
"BPJS juga menerapkan sistem pendaftaran bagi faskes ingin menjadi provider melalui sistem yang transparan, yaitu dengan aplikasi Health Facilities Information System (HFIS)," katanya.
Menyangkut peningkatan kualitas layanan bagi peserta BPJS Kesehatan, Fachmi mengakui, butuh dukungan dari semua pihak agar sesuai dengan harapan. Poin peningkatan kualitas meliputi perluasan jumlah faskes yang kerja sama dengan BPJS Kesehatan, meningkatkan kualitas kendali mutu dan biaya pelayanan kesehatan kepada peserta JKN-KIS, mempertegas komitmen faskes terkait tidak adanya iuran biaya, ketersediaan obat dan transparansi ruang inap, hingga membangun jaringan data informasi yang kuat antara BPJS Kesehatan dengan faskes melalui bridging system.
"Selain itu, meningkatkan aktivitas promotif dan preventif sehingga diharapkan faskes (khususnya FKTP) bisa mengoptimalkan kegiatan promosi kesehatan, pemeriksaan deteksi dini kanker serviks, serta kegiatan pengelolaan penyakit kronis dan rujuk balik,” katanya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, untuk melihat sukses tidaknya program JKN yang dilaksanakan BPJS Kesehatan bisa dilihat dari tiga indikator, yakni sisi kepesertaan, pendanaan, serta pelayanan. Dari sisi kepesertaan, perlu perbaikan jumlah peserta mandiri masih di bawah peserta penerima bantuan iuran (PBI).
"Karena prinsip gotong-royong akan kelihatan maksimal jika kepesertaan mandirinya besar,” ucap Saleh.
Begitu juga dari sisi pembiayaan, anggaran JKN menurut dia, masih belum stabil. Dia mencontohkan, anggaran yang khusus untuk PBI pada 2017 disediakan Rp25 triliun. Namun hingga September 2017, sudah melebihi bahkan defisit hingga Rp9 triliun. Selain itu, BPJS dan Kemenkes harus memastikan pelayanan yang diterima peserta BPJS itu harus betul-betul baik, tidak ada diskriminasi. Oleh sebab itu, Saleh meminta agar ke depan BPJS Kesehatan harus meningkatkan jumlah kepesertaan dan kualitas sehingga tidak kalah dengan asuransi swasta. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadi salah satu program unggulan Kabinet Kerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), kini sudah memasuki tahun keempat dan terus disempurnakan untuk memastikan seluruh rakyat bisa menikmati layanan kesehatan. Penyempurnaan dilakukan melalui pemerataan pelayanan kesehatan berupa fasilitas kesehatan (faskes), sumber daya manusia kesehatan (SDMK), maupun kepastian pembebasan biaya penanganan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, pemenuhan layanan kesehatan berupa faskes maupun tenaga kesehatan dilakukan untuk puskesmas dan rumah sakit. Diakui Nila, penyebaran SDMK saat ini belum merata. Kawasan perkotaan masih mendominasi penempatan tenaga kesehatan dibandingkan dengan perdesaan.
Data 2016 menunjukkan jumlah dokter di perkotaan mencapai 47.530 dokter. Sementara di perdesaan hanya 545 dokter. Dokter umum di perkotaan 39.954 dokter dan di perdesaan 1.093 dokter. Dokter gigi di perkotaan mencapai 12.555 dokter dan di perdesaan 195 dokter. Adapun untuk perawat di perkotaan mencapai 217.724 orang dan di perdesaan 6.311 orang. Bidan di perkotaan 106.628 orang dan di perdesaan 5.268 orang. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya menang gulangi kesenjangan hal itu melalui program Nusantara Sehat yang bertujuan memeratakan akses pelayanan kesehatan di perdesaan.
Adapun peserta program ini meliputi para tenaga profesional kesehatan mulai dari dokter, dokter gigi, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, perawat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, serta tenaga kefarmasian. "Dengan langkah tersebut mudahmudahan mal distribusi bisa lebih diatur," kata Menkes.
Terkait kepesertaan JKN di Indonesia saat ini, Nila menyebut, separuh warga negara Indonesia telah mendaftarkan diri sebagai peserta. Sedangkan peserta yang masuk dalam penerima bantuan iuran mencapai 92,4 juta jiwa. "Jaminan Kesehatan Nasional harus tetap dipertahankan untuk menolong yang tidak mampu," katanya.
Terkait adanya kasus pelayanan kesehatan peserta JKN yang tidak tertangani maksimal, seperti yang dialami bayi Debora, Nila mengatakan, jika hal itu akan terus coba dikurangi dengan mengajak partisipasi RS bergabung dalam program JKN. Apabila terjadi kasus semacam itu pada kemudian hari, Kemenkes akan melihat tingkat kesalahan yang dilakukan untuk menentukan sanksi yang akan diberikan.
"Sanksi bisa lisan, teguran keras hingga mencabut izin operasional," ujarnya.
Direktur Utama BPJS Fachmi Idris mengatakan, dari sisi kepesertaan jumlah peserta JKN-KIS terus mengalami peningkatan.
Begitu juga dari sisi pelayanan yang terus ditingkatkan kerja sama antara BPJS dengan faskes, baik faskes tingkat pertama (FKTP), seperti puskesmas, klinik pertama, dokter praktik perorangan; faskes rujukan tingkat lanjutan (FKTL) atau rumah sakit; serta faskes penunjang, yakni apotek, dan laboratorium.
Terkait tantangan dan target BPJS Kesehatan ke depan, Fachmi mengatakan, terdapat tiga fokus utama sebagai landasan dalam menyusun arah dan kebijakan BPJS tahun 2017, yakni keberlangsungan finansial, kepuasan peserta, serta menuju cakupan semesta.
"Pada prinsipnya, BPJS Kesehatan akan melakukan perbaikan yang terus-menerus. Hasilnya saat ini sudah di atas total target tahunan yang sudah ditetapkan dalam annual management contract (AMC),” kata Fachmi.
Terkait langkah BPJS Kesehatan terhadap faskes yang belum ber ga bung (terutama swasta), Fachmi mengatakan, proses seleksi atau kredensialing harus tetap diberlakukan. Terutama untuk swasta yang melibatkan Dinas Kesehatan kabupaten/kota setempat guna memastikan peserta JKN-KIS memperoleh pelayanan kesehatan berkualitas, profesional, dan memuaskan.
"BPJS juga menerapkan sistem pendaftaran bagi faskes ingin menjadi provider melalui sistem yang transparan, yaitu dengan aplikasi Health Facilities Information System (HFIS)," katanya.
Menyangkut peningkatan kualitas layanan bagi peserta BPJS Kesehatan, Fachmi mengakui, butuh dukungan dari semua pihak agar sesuai dengan harapan. Poin peningkatan kualitas meliputi perluasan jumlah faskes yang kerja sama dengan BPJS Kesehatan, meningkatkan kualitas kendali mutu dan biaya pelayanan kesehatan kepada peserta JKN-KIS, mempertegas komitmen faskes terkait tidak adanya iuran biaya, ketersediaan obat dan transparansi ruang inap, hingga membangun jaringan data informasi yang kuat antara BPJS Kesehatan dengan faskes melalui bridging system.
"Selain itu, meningkatkan aktivitas promotif dan preventif sehingga diharapkan faskes (khususnya FKTP) bisa mengoptimalkan kegiatan promosi kesehatan, pemeriksaan deteksi dini kanker serviks, serta kegiatan pengelolaan penyakit kronis dan rujuk balik,” katanya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, untuk melihat sukses tidaknya program JKN yang dilaksanakan BPJS Kesehatan bisa dilihat dari tiga indikator, yakni sisi kepesertaan, pendanaan, serta pelayanan. Dari sisi kepesertaan, perlu perbaikan jumlah peserta mandiri masih di bawah peserta penerima bantuan iuran (PBI).
"Karena prinsip gotong-royong akan kelihatan maksimal jika kepesertaan mandirinya besar,” ucap Saleh.
Begitu juga dari sisi pembiayaan, anggaran JKN menurut dia, masih belum stabil. Dia mencontohkan, anggaran yang khusus untuk PBI pada 2017 disediakan Rp25 triliun. Namun hingga September 2017, sudah melebihi bahkan defisit hingga Rp9 triliun. Selain itu, BPJS dan Kemenkes harus memastikan pelayanan yang diterima peserta BPJS itu harus betul-betul baik, tidak ada diskriminasi. Oleh sebab itu, Saleh meminta agar ke depan BPJS Kesehatan harus meningkatkan jumlah kepesertaan dan kualitas sehingga tidak kalah dengan asuransi swasta.
(amm)