Meraih Asa Menjadi Negara Sehat
A
A
A
JAKARTA - Pelayanan kesehatan menjadi salah satu fokus dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Berbagai terobosan dilakukan agar pelayanan kesehatan menjangkau seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Tidak hanya dari sisi jaminan pengobatan di kala sakit, tetapi juga membangun kesadaran agar warga bisa hidup sehat. Layanan kesehatan dalam pemerintahan Jokowi-JK merupakan implementasi dari sembilan program prioritas (Nawacita) poin kelima, yakni meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pemberian layanan kesehatan ini dilakukan melalui dua langkah penting, yakni menjamin akses pengobatan bagi semua kalangan dan memberikan edukasi tentang pola hidup sehat.
Jaminan akses pengobatan ini diimplementasikan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan diterbitkannya Kartu Indonesia Sehat (KIS). Dalam upaya mengoptimalkan itu, mulai dari tahun ke tahun masyarakat yang memanfaatkan kartu BPJS Kesehatan terus meningkat.
Pada 2014 masyarakat yang memanfaatkan kartu BPJS Kesehatan sebanyak 92,3 juta jiwa dan pada 2015 meningkat menjadi 146,7 juta jiwa. Kemudian per 10 Maret 2017, jumlah peserta JKN-KIS sudah mencapai 175.229.402 jiwa. Kemudian dari jumlah itu, masyarakat yang menerima JKN/KIS segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui BPJS Kesehatan juga terus mengalami peningkatan dan ditargetkan tahun 2019 nanti angka penerimaan KIS-PBI mencapai 107 juta jiwa.
Tahun 2017, jumlah peserta KIS-PBI adalah 93,9 juta jiwa, sedangkan tahun 2016 sejumlah 92,4 juta jiwa sehingga ada penambahan 1,4 juta jiwa tahun 2017 ini. “Apa pun kondisinya, pemerintah tetap berkomitmen kuat menjalankan program BPJS Kesehatan agar pelayanan kepada masyarakat semakin baik. Kita lakukan pembenahan juga agar masyarakat bisa memperoleh obat dan pelayanan kesehatan yang sesuai dan tepat waktu. Agar tak ada keluhan dari masyarakat,” kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani.
(Baca Juga: Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
Sebagai informasi, KIS yang diterbitkan BPJS Kesehatan terbagi menjadi dua jenis kepesertaan. Pertama, kelompok masyarakat yang wajib mendaftar dan membayar iuran, baik membayar sendiri (mandiri) ataupun berkontribusi bersama pemberi kerjanya (segmen buruh atau pekerja). Kedua, kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu yang didaftarkan pemerintah dan iurannya dibayari pemerintah (segmen Penerima Bantuan Iuran). BPJS Kesehatan juga telah bekerja sama dengan kurang lebih 20.725 fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas, klinik pratama, dokter praktik perorangan, dan lainnya) dan 5.253 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (rumah sakit, apotek, lab, dan lainnya) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Puan menyampaikan, sukses program kesehatan ini telah meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang bergerak naik dari negara dengan kategori medium human development atau menengah menjadi negara dalam kategori high human development atau tinggi. Perkembangan ini diikuti kenaikan angka IPM naik dari 68,90 pada 2014 menjadi 70,18 pada 2016. Artinya, kenaikan IPM tersebut tidak terlepas dari dirilisnya sejumlah program sosial, salah satunya KIS.
Lalu, sejauh mana implementasi program itu? Kendala dan hambatan tentu ada. Tetapi, sejauh ini pemerintah melalui kementerian terkait juga terus melakukan berbagai langkah dan terobosan demi tercapainya target serta meningkatkan efektivitas program tersebut. Salah satu hambatan dari program itu, yakni pembiayaan BPJS Kesehatan yang mengalami defisit.
Atas kondisi itu, pemerintah tidak kehabisan akal. Menko PMK yang mengoordinasikan efektivitas program tersebut mendorong sinergi pemerintah daerah agar mengalokasikan anggarannya untuk membantu membiayai program tersebut. Menurut Puan, formulasi itu tentu bisa dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang No 39/2009 tentang Kesehatan yang mengatur bahwa pemda harus menganggarkan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk pembiayaan kesehatan masyarakat.
“Saya meminta dikaji opsi-opsi mengendalikan defisit BPJS ini dengan sistem gotong-royong, bukan hanya gotong-royong iuran dari non-PBI, tapi peran pemda yang ada di 34 provinsi di 531 kabupaten/kota,” kata Puan. Dengan pelibatan dari APBD ke depan diharapkan membiayai 107 juta peserta PBI, mengingat BPJS Kesehatan merupakan program negara.
Sementara Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, masifnya program kesehatan oleh pemerintah harus juga diikuti dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan. Kondisi saat ini menurut Menkes, kesadaran itu masih rendah. "Terus terang saya bilang memang masih rendah, orang Indonesia sadar kesehatan sangat rendah sekali," kata Nila.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013, kata Menkes, tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan hanya 20%. Bahkan, data sementara yang tengah dihimpun Kementerian Kesehatan menunjukkan kesadaran akan kesehatan pada masyarakat Indonesia hanya 17,6%. “Ini mau kami naikan di desa maupun di kota, ini yang perlu kita ubah perilakunya,” katanya.
Sebagai gambaran Menkes menyebutkan, penyakit masyarakat Indonesia saat ini lebih banyak pada penyakit katastropik. Berdasarkan data pembiayaan BPJS Kesehatan, sepertiga dananya digunakan untuk membiayai pengobatan penyakit katastropik yang sebenarnya bisa dicegah dengan pola hidup sehat.
Tidak hanya dari sisi jaminan pengobatan di kala sakit, tetapi juga membangun kesadaran agar warga bisa hidup sehat. Layanan kesehatan dalam pemerintahan Jokowi-JK merupakan implementasi dari sembilan program prioritas (Nawacita) poin kelima, yakni meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pemberian layanan kesehatan ini dilakukan melalui dua langkah penting, yakni menjamin akses pengobatan bagi semua kalangan dan memberikan edukasi tentang pola hidup sehat.
Jaminan akses pengobatan ini diimplementasikan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan diterbitkannya Kartu Indonesia Sehat (KIS). Dalam upaya mengoptimalkan itu, mulai dari tahun ke tahun masyarakat yang memanfaatkan kartu BPJS Kesehatan terus meningkat.
Pada 2014 masyarakat yang memanfaatkan kartu BPJS Kesehatan sebanyak 92,3 juta jiwa dan pada 2015 meningkat menjadi 146,7 juta jiwa. Kemudian per 10 Maret 2017, jumlah peserta JKN-KIS sudah mencapai 175.229.402 jiwa. Kemudian dari jumlah itu, masyarakat yang menerima JKN/KIS segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui BPJS Kesehatan juga terus mengalami peningkatan dan ditargetkan tahun 2019 nanti angka penerimaan KIS-PBI mencapai 107 juta jiwa.
Tahun 2017, jumlah peserta KIS-PBI adalah 93,9 juta jiwa, sedangkan tahun 2016 sejumlah 92,4 juta jiwa sehingga ada penambahan 1,4 juta jiwa tahun 2017 ini. “Apa pun kondisinya, pemerintah tetap berkomitmen kuat menjalankan program BPJS Kesehatan agar pelayanan kepada masyarakat semakin baik. Kita lakukan pembenahan juga agar masyarakat bisa memperoleh obat dan pelayanan kesehatan yang sesuai dan tepat waktu. Agar tak ada keluhan dari masyarakat,” kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani.
(Baca Juga: Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
Sebagai informasi, KIS yang diterbitkan BPJS Kesehatan terbagi menjadi dua jenis kepesertaan. Pertama, kelompok masyarakat yang wajib mendaftar dan membayar iuran, baik membayar sendiri (mandiri) ataupun berkontribusi bersama pemberi kerjanya (segmen buruh atau pekerja). Kedua, kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu yang didaftarkan pemerintah dan iurannya dibayari pemerintah (segmen Penerima Bantuan Iuran). BPJS Kesehatan juga telah bekerja sama dengan kurang lebih 20.725 fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas, klinik pratama, dokter praktik perorangan, dan lainnya) dan 5.253 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (rumah sakit, apotek, lab, dan lainnya) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Puan menyampaikan, sukses program kesehatan ini telah meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang bergerak naik dari negara dengan kategori medium human development atau menengah menjadi negara dalam kategori high human development atau tinggi. Perkembangan ini diikuti kenaikan angka IPM naik dari 68,90 pada 2014 menjadi 70,18 pada 2016. Artinya, kenaikan IPM tersebut tidak terlepas dari dirilisnya sejumlah program sosial, salah satunya KIS.
Lalu, sejauh mana implementasi program itu? Kendala dan hambatan tentu ada. Tetapi, sejauh ini pemerintah melalui kementerian terkait juga terus melakukan berbagai langkah dan terobosan demi tercapainya target serta meningkatkan efektivitas program tersebut. Salah satu hambatan dari program itu, yakni pembiayaan BPJS Kesehatan yang mengalami defisit.
Atas kondisi itu, pemerintah tidak kehabisan akal. Menko PMK yang mengoordinasikan efektivitas program tersebut mendorong sinergi pemerintah daerah agar mengalokasikan anggarannya untuk membantu membiayai program tersebut. Menurut Puan, formulasi itu tentu bisa dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang No 39/2009 tentang Kesehatan yang mengatur bahwa pemda harus menganggarkan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk pembiayaan kesehatan masyarakat.
“Saya meminta dikaji opsi-opsi mengendalikan defisit BPJS ini dengan sistem gotong-royong, bukan hanya gotong-royong iuran dari non-PBI, tapi peran pemda yang ada di 34 provinsi di 531 kabupaten/kota,” kata Puan. Dengan pelibatan dari APBD ke depan diharapkan membiayai 107 juta peserta PBI, mengingat BPJS Kesehatan merupakan program negara.
Sementara Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, masifnya program kesehatan oleh pemerintah harus juga diikuti dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan. Kondisi saat ini menurut Menkes, kesadaran itu masih rendah. "Terus terang saya bilang memang masih rendah, orang Indonesia sadar kesehatan sangat rendah sekali," kata Nila.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013, kata Menkes, tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan hanya 20%. Bahkan, data sementara yang tengah dihimpun Kementerian Kesehatan menunjukkan kesadaran akan kesehatan pada masyarakat Indonesia hanya 17,6%. “Ini mau kami naikan di desa maupun di kota, ini yang perlu kita ubah perilakunya,” katanya.
Sebagai gambaran Menkes menyebutkan, penyakit masyarakat Indonesia saat ini lebih banyak pada penyakit katastropik. Berdasarkan data pembiayaan BPJS Kesehatan, sepertiga dananya digunakan untuk membiayai pengobatan penyakit katastropik yang sebenarnya bisa dicegah dengan pola hidup sehat.
(amm)