PBNU dan Muhammadiyah Beda Sikap Soal Perppu Ormas
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah berbeda sikap terkait dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
PBNU mendorong DPR untuk menyetujui dan mengesahkan Perppu. Sementara PP Muhammadiyah ingin agar DPR menolak Perppu, karena dinilai tidak memenuhi aspek kegentingan yang memaksa.
"PBNU dalam RDPU tentang Perppu Ormas mengharapkan dan memberi dukungan kepada DPR lewat Komisi II agar Perppu bisa diterima untuk menjadi undang-undang," kata Ketua Bidang Hukum PBNU Robikin Emhas, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/10/2017).
"Untuk itu, kami diundang di sini umtuk menyampaikan dukungannya, kondisinya memang memaksa harus mengeluarkan Perpu itu sesuai dengan alasan yang saya sampaikan," tambahnya.
Robikin menjelaskan, negara Indonesia didirikan atas dasar kesepakatan para pendiri bangsa, maka negara ini tidak boleh dikualifikasikan sebagai negara agama, tidak juga dikualifikasikan sebagai negara milik golongan tertentu.
Di sisi lain, Ketua Departemen HAM Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Iwan Satriawan mengatakan, PP Muhammadiyah berpendapat bahwa tidak ada kekosongan hukum sehingga pemerintah mengeluarkan Perppu.
Bahkan katanya, Undang-Undang (UU) Nomor 17/2013 tentang Ormas lebih lengkap dari Perppu. Sehingga, Muhammadiyah menilai bahwa penerbitan Perpu tidak relevan karena masih ada proses yang belum ditempuh oleh pemerintah yakni fungsi pembinaan.
"Kita masih bisa melakukan pembinaan ormas, termasuk juga membubarkannya ya dengan undang-undang ormas yang ada. Jadi enggak perlu ada Perppu," kata Iwan di kesempatan yang sama.
Menurut Iwan, proses hukum untuk membubarkan ormas memang membutuhkan waktu yang lama. Tapi untuk mencapai keadilan, pemerintah juga harus mendengarkan orang lain untuk menyampaikan hak-haknya.
"Saya kira hukum itu memang harus kita lalui prosesnya, karena kalau tidak begitu kita bukan negara hukum," tukasnya.
PBNU mendorong DPR untuk menyetujui dan mengesahkan Perppu. Sementara PP Muhammadiyah ingin agar DPR menolak Perppu, karena dinilai tidak memenuhi aspek kegentingan yang memaksa.
"PBNU dalam RDPU tentang Perppu Ormas mengharapkan dan memberi dukungan kepada DPR lewat Komisi II agar Perppu bisa diterima untuk menjadi undang-undang," kata Ketua Bidang Hukum PBNU Robikin Emhas, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/10/2017).
"Untuk itu, kami diundang di sini umtuk menyampaikan dukungannya, kondisinya memang memaksa harus mengeluarkan Perpu itu sesuai dengan alasan yang saya sampaikan," tambahnya.
Robikin menjelaskan, negara Indonesia didirikan atas dasar kesepakatan para pendiri bangsa, maka negara ini tidak boleh dikualifikasikan sebagai negara agama, tidak juga dikualifikasikan sebagai negara milik golongan tertentu.
Di sisi lain, Ketua Departemen HAM Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Iwan Satriawan mengatakan, PP Muhammadiyah berpendapat bahwa tidak ada kekosongan hukum sehingga pemerintah mengeluarkan Perppu.
Bahkan katanya, Undang-Undang (UU) Nomor 17/2013 tentang Ormas lebih lengkap dari Perppu. Sehingga, Muhammadiyah menilai bahwa penerbitan Perpu tidak relevan karena masih ada proses yang belum ditempuh oleh pemerintah yakni fungsi pembinaan.
"Kita masih bisa melakukan pembinaan ormas, termasuk juga membubarkannya ya dengan undang-undang ormas yang ada. Jadi enggak perlu ada Perppu," kata Iwan di kesempatan yang sama.
Menurut Iwan, proses hukum untuk membubarkan ormas memang membutuhkan waktu yang lama. Tapi untuk mencapai keadilan, pemerintah juga harus mendengarkan orang lain untuk menyampaikan hak-haknya.
"Saya kira hukum itu memang harus kita lalui prosesnya, karena kalau tidak begitu kita bukan negara hukum," tukasnya.
(maf)