Korupsi E-KTP, Pemilik Money Changer Sebut Narogong Pernah Transaksi Rp80 Miliar
A
A
A
JAKARTA - Pemilik perusahaan money changer sekaligus Direktur Utama PT Pollyartha Provitama, Fery Haryanto, menyebut terdakwa perkara dugaan korupsi proyek e-KTP Andi Agustinus alias Andi Narogong, pernah melakukan transaksi lebih dari Rp80 miliar.
Pengakuan Fery Haryanto tersebut disampaikannya dalam kesaksiannya di persidangan dengan terdakwa Direktur Utama PT Cahaya Wijaya Kusuma yang juga Direktur PT Murakabi Sejahtera, Andi Narogong, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (28/8/2017).
Fery Haryanto mengaku sudah mengenal Andi Narogong sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian sejak lama ia tidak berkomunikasi dengan Narogong. Baru awal 2000 Fery bertemu secara tidak sengaja dengan Narogong. Saat itu keduanya sedang mengurus bisnis berdeda.
Kemudian terjadi komunikasi dan pertemuan lagi dengan Narogong. Fery pernah datang ke rumah Narogong di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Selama kurun 2011 hingga 2013, Narogong lantas melakukan transaksi dengan penukaran uang, di antaranya dalam bentuk dolar Amerika dan Singapura di perusahaan Fery.
Untuk penukaran ini, Narogong mengutus anak buahnya bernama Melyanawati alias Mely. Mely datang dengan atas nama PT Armor Mobilindo. Perusahaan ini milik Narogong. Terkadang jika penukaran dalam jumlah kecil, Mely memakai nama pribadi.
"Datanya sudah saya sampaikan ke KPK. Kalau menurut KPK, penukaran uang ekuivalen Rp80 miliar. Tapi itu (transaksi penukaran) tidak sekaligus,” katanya.
Fery memang tidak pernah berhubungan langsung Narogong. Biasanya yang menghubungi Fery adalah Melyanawati tentang keperluan penukaran uang. “Setelah nilai tukar deal, nanti barang dia ambil atau saya antar ke mana. Mely melakukan transaksi atas perintah Andi (Narogong)," ujar Fery di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Awalnya, Fery tidak mengetahui tentang proyek pengadaan e-KTP. Selepas terjadi transaksi, Fery lantas melakukan penelusuran atas profil Narogong kenapa mampu melakukan transaksi dalam jumlah sangat besar. Seorang teman Fery pernah bertandang ke kantornya. Teman tersebut lantas mengabarkan bahwa nama Andi Narogong sudah ramai dalam pemberitaan media massa.
"Teman bilang coba kamu googling Andi Narogong. Digoogling sudah ada di internet (nama Narogong terkait proyek e-KTP). Itu awal 2013. Dari situ saya memutuskan harus laporkan ke PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Tapi sampai 2013 (Narogong lewat Mely) masih transaksi. Semua sudah saya laporkan ke PPATK," paparnya.
Mely lantas mendatangi Fery pada pertengahan 2013. Mely meminta Fery agar tidak melaporkan transaksi-transaksi tersebut ke PPATK. Tapi Fery menyampaikan bahwa semua transaksi sudah dilaporkan ke PPATK karena diwajibkan sesuai amanat undang-undang.
Menurut Fery, kalau transaksi mencurigakan sebenarnya tidak ada batasan nominal. Tapi Fery berinisiatif melakukan analisis sendiri dan menyampaikan laporan ke PPATK. “Secara umum nasabah takut dilaporkan walaupun tukarnya cuma USD1.000r. Saya memandang mereka takut dengan pajak," pungkasnya.
Pengakuan Fery Haryanto tersebut disampaikannya dalam kesaksiannya di persidangan dengan terdakwa Direktur Utama PT Cahaya Wijaya Kusuma yang juga Direktur PT Murakabi Sejahtera, Andi Narogong, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (28/8/2017).
Fery Haryanto mengaku sudah mengenal Andi Narogong sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian sejak lama ia tidak berkomunikasi dengan Narogong. Baru awal 2000 Fery bertemu secara tidak sengaja dengan Narogong. Saat itu keduanya sedang mengurus bisnis berdeda.
Kemudian terjadi komunikasi dan pertemuan lagi dengan Narogong. Fery pernah datang ke rumah Narogong di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Selama kurun 2011 hingga 2013, Narogong lantas melakukan transaksi dengan penukaran uang, di antaranya dalam bentuk dolar Amerika dan Singapura di perusahaan Fery.
Untuk penukaran ini, Narogong mengutus anak buahnya bernama Melyanawati alias Mely. Mely datang dengan atas nama PT Armor Mobilindo. Perusahaan ini milik Narogong. Terkadang jika penukaran dalam jumlah kecil, Mely memakai nama pribadi.
"Datanya sudah saya sampaikan ke KPK. Kalau menurut KPK, penukaran uang ekuivalen Rp80 miliar. Tapi itu (transaksi penukaran) tidak sekaligus,” katanya.
Fery memang tidak pernah berhubungan langsung Narogong. Biasanya yang menghubungi Fery adalah Melyanawati tentang keperluan penukaran uang. “Setelah nilai tukar deal, nanti barang dia ambil atau saya antar ke mana. Mely melakukan transaksi atas perintah Andi (Narogong)," ujar Fery di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Awalnya, Fery tidak mengetahui tentang proyek pengadaan e-KTP. Selepas terjadi transaksi, Fery lantas melakukan penelusuran atas profil Narogong kenapa mampu melakukan transaksi dalam jumlah sangat besar. Seorang teman Fery pernah bertandang ke kantornya. Teman tersebut lantas mengabarkan bahwa nama Andi Narogong sudah ramai dalam pemberitaan media massa.
"Teman bilang coba kamu googling Andi Narogong. Digoogling sudah ada di internet (nama Narogong terkait proyek e-KTP). Itu awal 2013. Dari situ saya memutuskan harus laporkan ke PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Tapi sampai 2013 (Narogong lewat Mely) masih transaksi. Semua sudah saya laporkan ke PPATK," paparnya.
Mely lantas mendatangi Fery pada pertengahan 2013. Mely meminta Fery agar tidak melaporkan transaksi-transaksi tersebut ke PPATK. Tapi Fery menyampaikan bahwa semua transaksi sudah dilaporkan ke PPATK karena diwajibkan sesuai amanat undang-undang.
Menurut Fery, kalau transaksi mencurigakan sebenarnya tidak ada batasan nominal. Tapi Fery berinisiatif melakukan analisis sendiri dan menyampaikan laporan ke PPATK. “Secara umum nasabah takut dilaporkan walaupun tukarnya cuma USD1.000r. Saya memandang mereka takut dengan pajak," pungkasnya.
(thm)