Komisi V DPR: Permenhub Tak Mampu Menyesuaikan Perkembangan Teknologi
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi V DPR Moh Nizar Zahro menilai dikabulkannya tuntutan para driver transportasi online oleh Mahkamah Agung (MA) membuktikkan bahwa Permenhub No. PM 26 Tahun 2017 bertentangan dengan payung hukum di atasnya.
Dalam putusannya nomor : 37 P/HUM/2017, MA menegaskan setidaknya ada 14 poin yang dianggap bertentangan UU No.20/2008 Tentang UMKM dan UU No. 22/2009 Tentang LLAJ. Sehingga 14 poin tersebut dianggap tidak memiliki payung hukum.
(Baca juga: MA Cabut 14 Pasal yang Mengatur Soal Taksi Online )
Selain itu, Permenhub dianggap tidak mampu menyesuaikan dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang mampu menyediakan transportasi secara murah, aman dan cepat.
"Semestinya pemerintah sebagai regulator harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Terlihat bahwa rakyatlah yang lebih responsif menyesuaikan diri dibanding pemerintah yang terlihat masih bergaya pola lama," kata Nizar.
(Baca juga: Pemerintah Wajib Patuhi Putusan MA Soal Aturan Taksi Online )
Pemerintah, kata dia, harusnya berterima kasih kepada elemen masyarakat yang mampu beradaptasi secara cepat dengan perkembangan yang ada. Seharusnya pemerintah bisa mendukungnya dengan menyiapkan regulasi yang memudahkan.
Dan untuk menyelamatkan operator transportasi konvensional, pemerintah bisa menjadi fasilitator agar operator konvensional bisa bertransformasi dan berinovasi lebih cepat.
"Oleh karena itu, pemerintah tidak cukup hanya taat azas dan menghormati keputusan MA. Tapi pemerintah juga dituntut untuk segera membuat regulasi yang berpihak kepada transportasi online dan juga yang mendukung transportasi konvensional untuk secepatnya melakukan transformasi," ungkap politikus Partai Gerindra ini.
(Baca juga: Pengamat: Putusan MA Dapat Memicu Keresahan Pebisnis Transportasi Umum )
Pelajaran penting lainnya, lanjut Ketua Umum Satuan Relawan Indonesia Raya (SATRIA) ini, jika pemerintah membuat Peraturan Menteri hendaknya mengindahkan payung hukum di atasnya. Karena jika memaksakan diri membuat peraturan menteri yang bertentangan dengan UU akan rentan digugat.
"Pemerintah harus ingat bahwa UU dibuat oleh pemerintah dan DPR dengan menyerap berbagai aspirasi elemen masyarakat," terangnya.
Nizar menambahkan, hendaknya menteri perhubungan memprioritaskan revisi UU No 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ daripada menyikapi putusan MA yang memerintahkan kepada menhub untuk mencabut 14 hal yang terdapat dalam permenhub 26/2017. Dengan adanya revisi UU tentang LLAJ maka transportasi online akan memiliki dasar hukum yang kuat dan mengikat.
"Tentu putusan MA mengindikasikan permenhub yang dikeluarkan oleh menteri perhubungan banyak merugikannya dibandingkan manfaatnya," jelasnya.
Dalam putusannya nomor : 37 P/HUM/2017, MA menegaskan setidaknya ada 14 poin yang dianggap bertentangan UU No.20/2008 Tentang UMKM dan UU No. 22/2009 Tentang LLAJ. Sehingga 14 poin tersebut dianggap tidak memiliki payung hukum.
(Baca juga: MA Cabut 14 Pasal yang Mengatur Soal Taksi Online )
Selain itu, Permenhub dianggap tidak mampu menyesuaikan dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang mampu menyediakan transportasi secara murah, aman dan cepat.
"Semestinya pemerintah sebagai regulator harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Terlihat bahwa rakyatlah yang lebih responsif menyesuaikan diri dibanding pemerintah yang terlihat masih bergaya pola lama," kata Nizar.
(Baca juga: Pemerintah Wajib Patuhi Putusan MA Soal Aturan Taksi Online )
Pemerintah, kata dia, harusnya berterima kasih kepada elemen masyarakat yang mampu beradaptasi secara cepat dengan perkembangan yang ada. Seharusnya pemerintah bisa mendukungnya dengan menyiapkan regulasi yang memudahkan.
Dan untuk menyelamatkan operator transportasi konvensional, pemerintah bisa menjadi fasilitator agar operator konvensional bisa bertransformasi dan berinovasi lebih cepat.
"Oleh karena itu, pemerintah tidak cukup hanya taat azas dan menghormati keputusan MA. Tapi pemerintah juga dituntut untuk segera membuat regulasi yang berpihak kepada transportasi online dan juga yang mendukung transportasi konvensional untuk secepatnya melakukan transformasi," ungkap politikus Partai Gerindra ini.
(Baca juga: Pengamat: Putusan MA Dapat Memicu Keresahan Pebisnis Transportasi Umum )
Pelajaran penting lainnya, lanjut Ketua Umum Satuan Relawan Indonesia Raya (SATRIA) ini, jika pemerintah membuat Peraturan Menteri hendaknya mengindahkan payung hukum di atasnya. Karena jika memaksakan diri membuat peraturan menteri yang bertentangan dengan UU akan rentan digugat.
"Pemerintah harus ingat bahwa UU dibuat oleh pemerintah dan DPR dengan menyerap berbagai aspirasi elemen masyarakat," terangnya.
Nizar menambahkan, hendaknya menteri perhubungan memprioritaskan revisi UU No 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ daripada menyikapi putusan MA yang memerintahkan kepada menhub untuk mencabut 14 hal yang terdapat dalam permenhub 26/2017. Dengan adanya revisi UU tentang LLAJ maka transportasi online akan memiliki dasar hukum yang kuat dan mengikat.
"Tentu putusan MA mengindikasikan permenhub yang dikeluarkan oleh menteri perhubungan banyak merugikannya dibandingkan manfaatnya," jelasnya.
(pur)