WNI Korban Perdagangan Orang di China Meningkat
A
A
A
JAKARTA - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terus meningkat, khususnya di China. Salah satu korban yang paling banyak adalah Warga Negara Indonesia (WNI).
Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk China dan Mongolia Soegeng Rahardjo mengatakan, ada dua modus operandi yang marak digunakan. Dia menyebutkan, pertama, pekerja migran Indonesia yang bermasalah di Hong Kong dan tidak memiliki kontrak baru, pergi ke Macau.
"Kedua, buruh yang pernah bekerja di Taiwan dan Hong Kong, lalu diiming-imingilah pekerjaan dengan gaji besar. Akhirnya terjerat dalam perdagangan manusia," ujar Soegeng kepada wartawan, Selasa (22/8/2017).
Menurutnya dua modus tersebut, sering ditemukan. Namun, kata dia sebenarnya yang lebih membahayakan adalah modus prostitusi dan perkawinan.
Dia menambahkan, sebagian besar pekerja Indonesia yang diselundupkan ke China menjadi wanita penghibur. Sementara, pekerja lainnya menjadi buruh kasar di pabrik atau di daerah pertanian.
”Yang sulit dilindungi itu justru modus tawaran bekerja di spa, kadang-kadang mereka dipaksa, disuruh jadi pekerja seks komersial. Kemudian, ada lagi pekerja wanita yang dibawa dan dikawinkan di sini. Calonya ada di Indonesia,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, masih dalam kasus tersebut ada modus baru. Sebelumnya, lanjut dia pekerja banyak berasal dari Singkawang dan Pontianak, muncul sekarang justru dari Jakarta.
Menurutnya, sebagian yang melatarbelakangi persoalan ini karena kemiskinan, dan tingkat intelektual korban sangat rendah. Dia mengakui persoalan ini sangat kompleks.
“Satu-satunya cara adalah tingkat pendidikan harus ditingkatkan. Setelah ini mereka harus diberikan testimoni atau semacam pernyataan agar tidak mudah percaya dengan iming-iming gaji tinggi dan hidup enak,” tuturnya.
Atas dasar itu dia mendukung upaya Dirjen Imigrasi yang melakukan penundaan terhadap keluarnya paspor. Bahkan, dirinya sangat setuju dengan peraturan deposit minimum Rp15-20 juta bagi yang ingin membuat paspor.
Tujuannya, terang dia bukan untuk menghambat justru untuk mencegah penggunaan paspor Indonesia yang sudah di luar kendali. Walaupun di negara timur tengah ditutup pengiriman pekerja, tapi terus muncul.
Dia mengingatkan, selama perdagangan manusia masih menguntungkan, maka perdagangan orang akan terus terjadi. (Baca: Imigrasi Cabut Kebijakan Paspor Wajib Deposit Rp25 Juta)
“Saya sangat senang dengan diketatkannya persyaratan walaupun pasti ada orang tidak senang. Saya mencurigai orang yang tidak senang itu ada anggota dari mereka yang bermasalah," tandasnya.
Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk China dan Mongolia Soegeng Rahardjo mengatakan, ada dua modus operandi yang marak digunakan. Dia menyebutkan, pertama, pekerja migran Indonesia yang bermasalah di Hong Kong dan tidak memiliki kontrak baru, pergi ke Macau.
"Kedua, buruh yang pernah bekerja di Taiwan dan Hong Kong, lalu diiming-imingilah pekerjaan dengan gaji besar. Akhirnya terjerat dalam perdagangan manusia," ujar Soegeng kepada wartawan, Selasa (22/8/2017).
Menurutnya dua modus tersebut, sering ditemukan. Namun, kata dia sebenarnya yang lebih membahayakan adalah modus prostitusi dan perkawinan.
Dia menambahkan, sebagian besar pekerja Indonesia yang diselundupkan ke China menjadi wanita penghibur. Sementara, pekerja lainnya menjadi buruh kasar di pabrik atau di daerah pertanian.
”Yang sulit dilindungi itu justru modus tawaran bekerja di spa, kadang-kadang mereka dipaksa, disuruh jadi pekerja seks komersial. Kemudian, ada lagi pekerja wanita yang dibawa dan dikawinkan di sini. Calonya ada di Indonesia,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, masih dalam kasus tersebut ada modus baru. Sebelumnya, lanjut dia pekerja banyak berasal dari Singkawang dan Pontianak, muncul sekarang justru dari Jakarta.
Menurutnya, sebagian yang melatarbelakangi persoalan ini karena kemiskinan, dan tingkat intelektual korban sangat rendah. Dia mengakui persoalan ini sangat kompleks.
“Satu-satunya cara adalah tingkat pendidikan harus ditingkatkan. Setelah ini mereka harus diberikan testimoni atau semacam pernyataan agar tidak mudah percaya dengan iming-iming gaji tinggi dan hidup enak,” tuturnya.
Atas dasar itu dia mendukung upaya Dirjen Imigrasi yang melakukan penundaan terhadap keluarnya paspor. Bahkan, dirinya sangat setuju dengan peraturan deposit minimum Rp15-20 juta bagi yang ingin membuat paspor.
Tujuannya, terang dia bukan untuk menghambat justru untuk mencegah penggunaan paspor Indonesia yang sudah di luar kendali. Walaupun di negara timur tengah ditutup pengiriman pekerja, tapi terus muncul.
Dia mengingatkan, selama perdagangan manusia masih menguntungkan, maka perdagangan orang akan terus terjadi. (Baca: Imigrasi Cabut Kebijakan Paspor Wajib Deposit Rp25 Juta)
“Saya sangat senang dengan diketatkannya persyaratan walaupun pasti ada orang tidak senang. Saya mencurigai orang yang tidak senang itu ada anggota dari mereka yang bermasalah," tandasnya.
(kur)