Sukarni Sempat Tolak Teks Proklamasi karena Kurang Revolusioner

Kamis, 17 Agustus 2017 - 16:26 WIB
Sukarni Sempat Tolak Teks Proklamasi karena Kurang Revolusioner
Sukarni Sempat Tolak Teks Proklamasi karena Kurang Revolusioner
A A A
DALAM buku berjudul Jejak Intel Jepang karya Wenri Wanhar yang dikatapengantari sejarawan Belanda Harry Albert Poeze, ungkapan "pemindahan" kekuasaan menjadi tarik ulur perdebatan yang sengit.

"Isinya (teks Proklamasi) tidak memiliki semangat revolusiner, " kata Sukarni blak-blakan. Bersama Chaerul Saleh, Sukarni melontarkan kekecewaanya, dalam buku tersebut.

Dua orang yang mewakili kelompok pemuda ini protes. Dengan kalimat pedas membombardir, menyerang kelompok tua yang diwakili Soekarno dkk. Kata "Pemindahan" dalam teks Proklamasi disoal.

"Pemindahan" diterjemahkan bebas dalam bahasa Jepang sebagai gyoseiken no iten yang artinya pemindahan pengawasan adminstratif. Diksi "penyerahan" kedaulatan dinilai lebih revolusioner ketimbang "pemindahan" yang terkesan lunak dan kompromis. Begitu juga dengan kata "dioesahakan" dengan cara seksama seharusnya tidak perlu direvisi dengan "diselenggarakan".

Sejarah mencatat teks Proklamasi hasil tulisan tangan Bung Karno. Teks yang dikumandangkan di rumah Jalan Pengangsaan Timur 56 itu disusun di lantai atas rumah Laksmana Muda Tadashi Maeda.

Awalnya menggunakan judul Maklumat Kemerdekaan. Kemudian diganti Proklamasi Kemerdekaan. Dalam penyusunan teks itu Bung Karno tidak sendiri. Di sana ada Mohammad Hatta dan Ahmad Subarjo. Sementara di antara kelompok pemuda radikal yang kelak menyandang sebutan Pemuda Menteng 31, diwakili Sukarni dan Chaerul Saleh.

Dua aktivis yang terkenal vokal dan bernyali. Keduanya juga salah satu motor penggerak peristiwa Rengasdengklok. Menculik Dwi Tunggal untuk tujuan percepatan proklamasi kemerdekaan.

Setelah melalui kesepakatan bersama, Ahmad Subarjo lah penengah sekaligus pengambil inisiatif membawa Dwi Tunggal ke rumah Laksamana Maeda.

Sukarni merupakan pimpinan asrama Menteng 31 sekaligus Ketua "kesebelasan" Komite Aksi Proklamasi Kemerdekaan. Di kelompok ini (Menteng 31) terdapat juga nama pemuda AM Hanafi, Wikana, DN Aidit, Djohar Nur, Abu Bakar Lubis, dan Subadio Sastrosatomo.

Buku "Menteng 31, Membangun Jembatan Dua Angkatan" menyebut pemuda Menteng 31 berbeda haluan dengan kelompok Prapatan 10 atau kelompok Pemuda Sjahrir.

Sebelum pecah dan masing masing berdiri sebagai dua kelompok (Menteng 31 dan Prapatan 10) yang berbeda metode perjuangan, para pemuda ini tergabung menjadi satu dalam organ Persatuan Pemuda.

Tak heran secara frontal Sukarni dan Chaerul Saleh tidak gentar menyatakan kemerdekaan Indonesia tidak perlu melibatkan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Sukarni tidak ambil pusing dengan sikap anggota PPKI yang lebih dahulu menyatakan puas. PPKI menilai isi teks Proklamasi tulisan Bung Karno sudah sesuai.

Mereka beralasan kekeliruan memilih diksi dalam teks dikhawatirkan mendorong angkatan darat Jepang berpihak ke sekutu yang diperkirakan segera tiba di Indonesia.

Tetapi tidak bagi Sukarni dan Chaerul Saleh. Tanpa tedeng aling-aling menyemprot PPKI sebagai bentukan Jepang. Bahkan mereka menganggap sebagian tokoh tua yang hadir sebagai antek Jepang.

Usai merampungkan teks sekaligus menyempatkan bersantap sahur, ketiga tokoh bangsa (Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subarjo) bergegas menuju serambi ruang utama rumah Maeda.

Di sana sudah berkumpul Sutardjo Kartohadikusumo, Teuku Moh Hasan, Latuharhary, Radjiman Wediodiningrat, Amir, Jusuf Kunto, GSJ Ratulangi, IG Ketut Pudja, dan Otto Iskandardinata.

Kemudian juga Iwa Kusumasumantri, Abbas, Andi Pangeran, K Gunadi, Semaun Bakri, Sajuti Melik, BM Diah, Supomo, Samsi, Buntaran, Andi Sultan DG Radja, Hamidan dan AR Ripai.

Hadir juga sejumlah perwira militer Jepang, di antaranya tuan rumah Laksamana Maeda, Nishijima, Yoshizumi, dan Miyoshi.

Bagi Sukarni dan Chaerul Saleh, kemerdekaan Indonesia harus murni lahir dari orang Indonesia. Kemerdekaan tidak ada hubungannya dengan Jepang.

Apalagi orang-orang yang sejak awal bekerja keras menyiapkan Proklamasi justru tidak terlihat di antara kerumunan disekeliling dwi tunggal.

Saat itu jelang adzan subuh. Suasana serambi ruang utama kediaman Laksmana Maeda Jumat 17 Agustus 1945 dini hari sontak memanas. Perdebatan sengit antara kelompok tua yang diwakili Soekarno dan Hatta dengan kelompok muda yang diwakili Sukarni dan Chaerul Saleh tak terelakkan.

Bung Karno buru-buru tampil kemuka. "Rapat ini bukan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tapi adalah rapat wakil-wakil bangsa Indonesia".

Bung Karno angkat bicara, mencoba menenangkan orang-orang di dalam ruangan. Isi teks Proklamasi bisa diterima. Namun bukan berarti serta merta memuluskan penandatanganan.

Bung Karno menghendaki semua yang hadir turut menandatangani teks proklamasi. Bung Karno beralasan semua sebagai wakil rakyat Indonesia dari seluruh penjuru Tanah Air.

Sukarni dan Chaerul Saleh kembali memperlihatkan sikap keras kepalanya. Keduanya menolak. Keduanya melihat di antara yang hadir terdapat orang orang yang terbiasa hidup dengan sistem kolonial.

Debat sengit kembali terjadi. Sukarni mengusulkan cukup enam orang saja yang menandatangani teks Proklamasi. Selain Bung Karno dan Bung Hatta, empat orang lainya adalah Radjiman Wedyodiningrat sebagai tokoh tertua, Sukarni, Chaerul Saleh dan Iwa Kusumasumantri.

Menengahi perdebatan panjang, Chaerul Saleh tiba-tiba bangkit dan menegaskan: "Sudahlah, cukup Bung Karno dan Bung Hatta saja yang menandatangani Proklamasi itu."

Pada pukul 05.00 WIB, kata kata Chaerul Saleh tertulis sebagai sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.

Versi lain menyebut Sukarni lah yang mengusulkan hanya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai penandatangan teks Proklamasi Kemerdekaan.

Setelah usulan Sukarni disetujui, Bung Karno meminta Sayuti Melik mengetik naskah bertulis tangan itu. Sukarni juga mengusulkan Proklamasi dikumandangkan di Lapangan Ikada (sekarang Monas).

Kaum muda akan memobilisasi rakyat untuk mendengarkan. Karena khawatir bentrok antara rakyat dan militer Jepang, Bung Karno menolak dan memutuskan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan di rumahnya, jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat.

Tepat pukul 10.30 WIB, Indonesia sebagai negara bangsa dan negara kesatuan secara de facto dan de jure telah lahir. Kemerdekaan hasil perjuangan panjang. Bukan hadiah dari penjajah.

Keras Kepala Sejak Kecil


Lahir Kamis Wage 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiren, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Sukarni meyandang nama lengkap Sukarni Kartodiwirdjo.

Dia anak keempat dari sembilan bersaudara. Ayahnya, yakni Kartodiwirdjo seorang jagal sapiyang terkenal di masanya. Kartodiwirdjo keturunan Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro.

Sedangkan ibunya, Supiah wanita asal Kediri. "Leluhur kami adalah pelarian laskar Diponegoro yang kalah dalam perang Jawa (1825-1830), ujar Kiswoto, 74 keponakan Sukarni kepada SINDOnews.

Kiswoto bertempat tinggal 10 meter dari rumah kelahiran Sukarni. Sebagai salah satu kerabat dekat yang berada di Sumberdiren, dia memikul tanggung jawab atas pengawasan rumah, keamanan serta kebersihannya.

Setidaknya setiap kunjungan rumah harus sepengetahuan Kiswoto. Maklum lima anak Sukarni, dimana salah satunya dosen di salah satu perguruan tinggi negeri Malang, tidak ada yang berdomisili di Blitar.

Disisi lain, pensiunan pegawai negeri sipil ini memang pernah bertempat tinggal di sana. Supiah meminta anaknya (adik Sukarni) membiarkan salah satu cucunya (Kiswoto) yang kala itu masih berusia balita untuk menemaninya.

"Saya pernah hidup serumah bersama nenek (Ibu Sukarni)," kata Kiswoto. Berada sekitar 100 meter dari jalan besar Blitar-Malang, rumah lahir Pahlawan Nasional itu masih berdiri kokoh.

Arsitekturnya paduan limas dan joglo, dengan ruang tamu bertopang empat soko guru kayu jati. Kecuali dinding bambu yang berganti tembok, seluruh bangunan masih utuh dan original.

"Saya lupa persisnya. Seingat saya rumah keluarga ini berdiri sejak tahun 1890, " selorohnya.

Rumah bersejarah itu berada diatas tanah kurang lebih setengah hektare. Halamannya luas. Pelataran yang bersih dengan bunga bunga yang tertata rapi. Dipekarangannya tumbuh pohon buah buahan. Suasananya teduh. Khas rumah lawas.

Sebuah ruang keluarga cukup luas lengkap dengan mebeler antik berada di tengah. ruangan yang nyaman untuk bercengkrama di sore hari. "Dulu, sore dan malam hari banyak menghabiskan waktu di ruang keluarga," papar Kiswoto.

Dari langit ruangan terjulur lampu gantung kuno dengan porselain bulat melingkar menyerupai topi pendekar China. Dinding ruang keluarga itu penuh hiasan foto keluarga.

Tampak foto Sukarni muda. Ketua Umum Partai Murba hingga akhir hayatnya itu mengenakan peci hitam yang miring ke kiri. Dengan posisi kepala sedikit menunduk, Sukarni tampak mengulum senyum.

"Sampai sekarang banyak yang belum tahu kenapa peci yang dikenakan tokoh pejuang saat itu, termasuk Pak Karni, selalu miring ke kiri?" tanyanya heran.

Foto hitam putih lain memperlihatkan bagaimana Sukarni bersama Bung Karno. Sama. Posisi peci hitamnya juga miring ke kiri.

Di ruang keluarga itu ada juga ornamen lawas yang sepertinya bukan buatan dalam negeri. Rumah itu memiliki lima kamar. Tiap tiap kamar berjarak berdekatan.

Salah satu kamar berisi dua tempat tidur dengan ukuran sama medium. Satu dipan dari besi. Sedangkan yang lain terbuat dari kayu jati. Itulah kamar Sukarni.

"Pak Adam Malik pernah menginap semalam di rumah ini, " ucap Kiswoto yang merupakan pensiunan pegawai negeri sipil.

Sebuah dapur, ruang makan, dua kamar mandi dan gudang tempat penyimpanan kayu bakar berada di sisi belakang bangunan. Tepat di sebelah kiri rumah induk berdiri bangunan terpisah.

Bangunan yang dihubungkan teras kecil itu berfungsi sebagai paviliun. Sejak tahun 1979 hingga sekarang "paviliun" itu ditempati Supriyanto, warga setempat yang dipercaya menjaga sekaligus membersihkan rumah.

Menurut Kiswoto, pamannya, yakni Sukarni sejak kecil memiliki perangai keras kepala. Sejak kecil berwatak berani, ulet memegang pendirian sekaligus bengal.

Entah darimana benih nasionalismenya tumbuh, belum genap berusia 12 tahun Sukarni sudah memiliki antipati terhadap penjajah Belanda.

Dengan tinggi rata rata anak seusianya, berambut ikal, berbadan kekar serta trengginas, Sukarni seolah tak punya rasa takut kepada siapa saja.

Dia menyalurkan kegemarannya berkelahi dengan menantangi sinyo Belanda, anak pejabat Pabrik Gula di wilayah Kecamatan Garum.

"Pak Karni hobi mengganggu sinyo-sinyo Belanda yang asyik bermain sepatu roda. Bagi sinyo yang berani dia tantang berkelahi, "kenang Kiswoto tersenyum.

Sikap tidak kenal takut itu ditunjukkan Sukarni kapan saja, di mana saja. Apalagi bila benar, siapa pun akan dia lawan. Sikap ksatria itu kemungkinan pengaruh cara pandang Kartodiwirdjo dalam mendidik anak anaknya.

Meski secara ekonomi tergolong mampu, yakni jagal sapi satu-satunya yang juga memiliki lapak jualan daging, Kartodiwirdjo lebih mengedepankan pendidikan.

Keturunan pejuang laskar Diponegoro ini memilih melihat anak-anaknya menjadi kaum cerdik pandai daripada menjadi pengumpul harta.

Karenanya meski mampu, Kartodiwirdjo tidak pernah menjadikan dirinya sebagai tuan tanah. Tidak pernah menjalani hidup sebagai aristokrat feodal yang menimbun tanah dimana mana.

"Eyang (Kartodiwirdjo) lebih memilih menyekolahkan anak anaknya setinggi mungkin, " ucapnya. Sukarni memulai pendidikan formalnya sebagai pelajar di sekolah Mardisiswo Blitar.

Mardisiswo sekolah sejenis Taman Siswa Ki Hajar Dewantara. Di Mardisiswo Sukarni bertemu Moh Anwar, lelaki asal Banyumas yang menjadi guru sekaligus pendiri Mardisiswo.

Dari Moh Anwar yang juga salah satu tokoh pergerakan Indonesia, Sukarni mengenal nasionalisme secara teori dan praktik. Kebenciannya terhadap Belanda semakin menemukan jalannya.

Sukarni pernah mengorganisasi pelajar pribumi untuk kemudian mengirim surat tantangan berkelahi kepada anak-anak Belanda di Blitar. Tawuran tak terelakkan dan dimenangkan kubu Sukarni.

Karena terus berusaha mengusik Belanda, Sukarni dikeluarkan dari sekolah MULO. Namun hal itu tidak membuatnya jera. Dia melanjutkan sekolah guru di Yogyakarta dan Jakarta.

Atas arahan dan bantuan Soekarmini Wardoyo (kakak kandung Bung Karno), Sukarni mengenyam sekolah Jurnalistik di Bandung.

Di kota Paris Van Java itu dia mengikuti kursus politik yang dimentori Bung Karno. Di sana dia mengenal Wikana, Asmara Hadi dan SK Trimurti yang kelak berada pada satu barisan kelompok pemuda Menteng 31.

Tahun 1934 Sukarni menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda. Dia juga menjabat Ketua Umum Partai Murba (Partai bentukan Tan Malaka) hingga akhir hayatnya.

Secara de facto Sukarni menempuh jalur pergerakan nasional. Sejak itu hidupnya diwarnai dengan keluar masuk penjara penguasa. "Watak berani, bandel, keras kepala, tak kenal takut tampaknya terus terbawa dalam pergerakan, "kata Kiswoto.

Sikap keras kepala, tidak kenal takut dan menolak kompromi tercermin dalam peristiwa 3 Juli 1946. Sebuah peristiwa penangkapan Tan Malaka dan pengikutnya atas tuduhan kudeta.

Rezim Soekarno memenjarakan Tan dan pengikutnya karena mempertanyakan testamen (surat wasiat) penyerahan kekuasaan negara ke Tan bila Soekarno-Hatta tidak mampu melanjutkan.

Sebagai Sekretaris Persatuan Perjuangan (organ aliansi bentukan Tan Malaka), Sukarni nekat melanjutkan program kampanye Tan ke Pulau Jawa. Check sound untuk menguji sejauh mana dukungan kekuatan Tan di Jawa tetap dia lakukan.

Dalam buku "Negara Madiun?" karya Hersri Setiawan, Sukarni menolak ketika diperingatkan untuk tidak melanjutkan kampanye di Jawa Timur. Sukarni yang bermalam di Hotel Merdeka Madiun menolak ketika diminta Soemarsono (tokoh kunci peristiwa 10 November dan Madiun 1948) kembali ke Yogyakarta atau tempat dimana Sukarni bertempat tinggal.

"Oh, kenapa saya mesti kembali? Buat saya tidak ada kamus itu. Saya mesti melakukan kampanye. Saya meneruskan perjalanan menurut program. Saya mesti lakukan. Saya tak peduli resiko itu!".

Dan resiko itu benar benar terjadi. Selama tahun 1946-1948 Sukarni hidup dari penjara ke penjara. Rumah tahanan Ponorogo, Madiun dan Solo menjadi tempat singgahnya.

Sejak tahun 1961 Sukarni menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tjina (RRT) di Peking. Tahun 1964 dia kembali ke Tanah Air. Konon karena peringatannya tentang bahaya PKI, Bung Karno membekukan Partai Murba pada tahun 1965.

Untuk sekali lagi Sukarni bersama tokoh Murba dijebloskan ke dalam tahanan. Rezim Orde Baru membebaskan Sukarni pada tahun 1966 sekaligus merehabilitasi Partai Murba.

Sebelum wafat 7 Mei 1971 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta tahun 1967, Sukarni sempat menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Di mata Kiswoto, pamannya itu memiliki sikap keras terhadap dunia pendidikan. Penyuka nasi pecel Blitar itu banyak membantu keponakannya dalam hal sekolah.

"Tetapi tidak soal pekerjaan. Pak Karni siap membantu urusan sekolah. Beliau siap menyekolahkan. Namun untuk pekerjaan beliau menegaskan yang bersangkutan harus berikhtiar sendiri," ucap Kiswoto.

Sukarni Sempat Tolak Teks Proklamasi karena Kurang Revolusioner


Yang sedikit menggelitik adalah sebelum Presiden Joko Widodo secara resmi menetapkan Sukarni sebagai Pahlawan Nasional pada 2014.

Menurut Kiswoto, tidak banyak warga di Sumberdiren yang tahu Sukarni yang tertulis dalam buku sejarah sebagai tokoh kunci insiden Rengasdengklok adalah tetangganya sendiri.

Yang diketahui para tetangga, Sukarni yang bertempat tinggal satu desa adalah pejuang kemerdekaan. "Karenanya banyak yang bertanya, kenapa penetapan gelar Pahlawan Nasional baru dianugerahkan negara tahun 2014? Padahal makam Pak Karni sejak awal di Taman Makam Pahlawan (Kalibata), "paparnya.

Pada peringatan Hari Kemerdekaan ke 72 RI pada 17 Agustus hari ini, keluarga tidak menggelar perayaan secara khusus. Satu satunya acara yang akan digelar di rumah lahir Sukarni adalah mendaras macapat (tembang atau puisi tradisional Jawa) bersama.

"Rencananya acara berlangsung 16 Agustus yang dilakukan paguyuban Mocopat Blitar. Tentu ada juga doa bersama, " kata Kiswoto beberapa waktu lalu .

Supriyanto, penjaga rumah lahir Sukarni menambahkan tidak banyak pengunjung rumah sarat sejarah itu. Bahkan ironisnya tidak sedikit orang yang tidak tahu Sukarni lahir dan tumbuh remaja di sana. Tidak heran bila sehari harinya rumah dalam keadaan tertutup.

"Banyak orang yang masih bertanya untuk berkunjung kemari. Karena sepi, setelah bersih bersih biasanya saya tinggal untuk mencari rumput," ujar Supriyanto.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5924 seconds (0.1#10.140)