Ramadan, PKPU Distribusikan 2.040 Paket Sembako ke Muslim Rohingya
A
A
A
JAKARTA - Ramadan yang tak sama lagi untuk muslim Rohingya, Ibrahim mencoba mengenang saat-saat dia dan saudaranya mengisi waktu-waktu mereka dulu. Seperti kebanyakan umat Islam lain, buka puasa di masjid, lanjut isya dan tarawih, kemudian sahur bersama keluarga.
Anak-anak, orangtua dan perempuan di waktu Ramadan ramai mengisi masjid-masjid di Kota Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar. Memakai gamis, memakai kerudung dan atribut lainnya.
Salah satu masjid yang ramai yaitu Bormosjid atau disebut Masjid Jami’ Sittwe yang menjulang besar di tengah kota. Masjid tua berusia hampir 400 tahun sumbangan dari kerajaan Islam di India.
Saat hari raya, umat Islam Sittwe, yang mayoritas Rohingya, merayakan bersama dengan keluarga, saling berkunjung di antara mereka. Namun, bagi Ibrahim, itu semua sekarang menjadi cerita masa lalu saat ia menjadi bagian dari pengungsi Rohingya yang harus tinggal di desa relokasi maupun kamp-kamp pengungsian pasca konflik 2012.
Ibrahim termasuk beruntung karena masih bisa menyelesaikan studinya di universitas di Sittwe. Namun saat ini, ia harus membantu banyak saudaranya yang tinggal di kamp pengungsian.
Pasca konflik 2012, bagi muslim Rohingya di Sittwe, tidak ada lagi romantisme Ramadan seperti dulu. Semua masjid di Sittwe ditutup dan muslim Rohingya dilarang untuk bepergian ke kota, terkungkung dalam pagar-pagar berduri yang mengelilingi tempat pengungsian.
“Sudah lima tahun berlalu pascakonflik, namun situasi tidak banyak mengalami perubahan," ujarnya.
Kondisi desa-desa Rohingya yang mengelilingi kamp-kamp pengungsian semakin menurun daya dukungnya, akibat kebijakan pembatasan bergerak, sehingga warga Rohingya sulit mencari pekerjaan, bercocok tanam atau menjual hasil buminya.
"Bahkan, saat ini antara kondisi penduduk desa dan pengungsi yang ada di barak tidak ada perbedaan, keduanya sangat memerlukan bantuan kemanusiaan,” ujar Deni Kurniawan lewat rilis yang diterima SINDOnews, Sabtu (24/6/2017). Deni merupakan relawan PKPU yang menghabiskan sebagian besar Ramadan ini di Sittwe.
Deni menambahkan, Ramadan tahun ini kondisi pengungsi Rohingya semakin memprihatinkan akibat bersamaan dengan musim penghujan dan angin topan. "Angin topan Mora yang menerpa wilayah Rakhine dan Bangladesh telah menghancurkan rumah-rumah semi permanen yang ditinggali pengungsi hingga sampai habis tak berbekas. Hujan dan badai juga terus terjadi sepanjang hari," tuturnya.
PKPU dalam merespons situasi tersebut, selama Ramadan ini, telah mendistribusikan 2.040 paket sembako untuk 2.000 keluarga Rohingya yang tersebar di berbagai kamp pengungsian dan desa sekitarnya.
Juga didistribusikan 600 paket pakaian dan alat kebersihan untuk menggantikan barang-barang pengungsi yang hilang tersapu badai. Dikatakan Deny, jalanan menuju camp yang penuh lumpur menyulitkan dalam pendistribusian logistik.
Terlihat pemandangan para pengungsi yang mencoba memperbaiki atap-atap rumah sementara mereka agar minimal dapat melindungi ketika hujan datang. Saat ini, etnis Rohingya tersebar di berbagai kamp pengungsian di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Ada sekitar 120 ribu orang yang tinggal di rumah-rumah sementara sebagai pengungsi dan ribuan lainnya tinggal di desa sekitar camp, yang terisolasi akibat kebijakan pembatasan bergerak.
Anak-anak, orangtua dan perempuan di waktu Ramadan ramai mengisi masjid-masjid di Kota Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar. Memakai gamis, memakai kerudung dan atribut lainnya.
Salah satu masjid yang ramai yaitu Bormosjid atau disebut Masjid Jami’ Sittwe yang menjulang besar di tengah kota. Masjid tua berusia hampir 400 tahun sumbangan dari kerajaan Islam di India.
Saat hari raya, umat Islam Sittwe, yang mayoritas Rohingya, merayakan bersama dengan keluarga, saling berkunjung di antara mereka. Namun, bagi Ibrahim, itu semua sekarang menjadi cerita masa lalu saat ia menjadi bagian dari pengungsi Rohingya yang harus tinggal di desa relokasi maupun kamp-kamp pengungsian pasca konflik 2012.
Ibrahim termasuk beruntung karena masih bisa menyelesaikan studinya di universitas di Sittwe. Namun saat ini, ia harus membantu banyak saudaranya yang tinggal di kamp pengungsian.
Pasca konflik 2012, bagi muslim Rohingya di Sittwe, tidak ada lagi romantisme Ramadan seperti dulu. Semua masjid di Sittwe ditutup dan muslim Rohingya dilarang untuk bepergian ke kota, terkungkung dalam pagar-pagar berduri yang mengelilingi tempat pengungsian.
“Sudah lima tahun berlalu pascakonflik, namun situasi tidak banyak mengalami perubahan," ujarnya.
Kondisi desa-desa Rohingya yang mengelilingi kamp-kamp pengungsian semakin menurun daya dukungnya, akibat kebijakan pembatasan bergerak, sehingga warga Rohingya sulit mencari pekerjaan, bercocok tanam atau menjual hasil buminya.
"Bahkan, saat ini antara kondisi penduduk desa dan pengungsi yang ada di barak tidak ada perbedaan, keduanya sangat memerlukan bantuan kemanusiaan,” ujar Deni Kurniawan lewat rilis yang diterima SINDOnews, Sabtu (24/6/2017). Deni merupakan relawan PKPU yang menghabiskan sebagian besar Ramadan ini di Sittwe.
Deni menambahkan, Ramadan tahun ini kondisi pengungsi Rohingya semakin memprihatinkan akibat bersamaan dengan musim penghujan dan angin topan. "Angin topan Mora yang menerpa wilayah Rakhine dan Bangladesh telah menghancurkan rumah-rumah semi permanen yang ditinggali pengungsi hingga sampai habis tak berbekas. Hujan dan badai juga terus terjadi sepanjang hari," tuturnya.
PKPU dalam merespons situasi tersebut, selama Ramadan ini, telah mendistribusikan 2.040 paket sembako untuk 2.000 keluarga Rohingya yang tersebar di berbagai kamp pengungsian dan desa sekitarnya.
Juga didistribusikan 600 paket pakaian dan alat kebersihan untuk menggantikan barang-barang pengungsi yang hilang tersapu badai. Dikatakan Deny, jalanan menuju camp yang penuh lumpur menyulitkan dalam pendistribusian logistik.
Terlihat pemandangan para pengungsi yang mencoba memperbaiki atap-atap rumah sementara mereka agar minimal dapat melindungi ketika hujan datang. Saat ini, etnis Rohingya tersebar di berbagai kamp pengungsian di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Ada sekitar 120 ribu orang yang tinggal di rumah-rumah sementara sebagai pengungsi dan ribuan lainnya tinggal di desa sekitar camp, yang terisolasi akibat kebijakan pembatasan bergerak.
(kri)