Peradi Soroti Sejumlah Permasalahan dalam UU Kepailitan dan PKPU

Kamis, 17 Februari 2022 - 22:05 WIB
loading...
Peradi Soroti Sejumlah Permasalahan dalam UU Kepailitan dan PKPU
Ketua Umum Peradi, Otto Hasibuan menyoroti sejumlah permasalahan dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) , Otto Hasibuan menyoroti sejumlah permasalahan dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) .

“Yang saya sampaikan ini hanya beberapa bagian saja dari beberapa masalah. Panitia sudah buat TOR-nya ada 12 masalah,” ujar Otto saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk “Masa Depan Kepailitan dan PKPU di Indonesia” gelaran Bidang Pendidikan DPN Peradi, Kamis (17/2/2022). Baca juga: PKPU dan Kepailitan Dianggap Efektif Selesaikan Kasus Kredit Macet

Otto menceritakan lahirnya UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ini merupakan “ketundukan” Indonesia kepada International Monetary Fund (IMF) saat mengalami krisis. Para kreditur, khususnya asing mempunyai banyak tagihan dan uangnya belum bisa kembali.

Pada waktu itu dibahas bahwa seharusnya yang boleh mengajukan permohonan pailit dan PKPU itu adalah debitur karena mereka yang mengetahui keadaan usahanya atau kesanggupan membayar utang dan sebagainya.

“Karena situasi politik pada waktu itu, para pihak asing itu memberikan kesempatan pada UU itu siapa yang boleh megajukan pailit itu adalah juga termasuk kreditur,” jelasnya.

Setelah UU tersebut disahkan, pihak yang berwenang mengajukan permohonan kepailitan dan PKPU tersebut, saat ini menjadi instrumen untuk menagih utang meskipun harus dipahami bahwa perlu juga diberikan perlindungan bagi kreditur.

“Oleh karena itu, Apindo mengajukan petisi atau permohonan agar diminimalisir kepailitan ini. Bahkan ada usulan untuk merevisi UU Kepailitan,” katanya.

Menurut Otto, pihak yang berhak mengajukan kepailitan dan PKPU ini perlu dikaji ulang. “Apakah kewenangan ini cukup diberikan hanya kepada debitur saja, atau tetap dipertahankan, kreditur tetap bisa menggunakannya. Ini adalah menjadi persolan yang jadi tren akhir-akhir ini,” paparnya.

Persoalan lainnya, UU tersebut telah mengubah paradigma UU sebelumnya. Sebelum ada UU Kepailitan dan PKPU, orang berpikir bahwa pailit itu benar-benar tidak mempunyai sesuatu apa pun, termasuk aset untuk membayar.

“Jadi anggapan umum kalau orang punya aset banyak walaupun dia punya utang, katakan asetnya Rp100 miliar, tetapi utangnya Rp100 juta, orang tidak berpikir orang itu pailit karena asetnya masih banyak,” katanya.

Setelah ada UU Kepailitan dan PKPU, paradigma itu runtuh karena ketentuannya kalau ada 2 utang jatuh tempo yang bisa ditagih tetapi tidak dibayar, maka perusahaan yang ditagih itu cukup memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit.

“Maka akhirnya orang berpikir meskipun orang itu punya asetnya Rp1 triliun, tetapi utangnya misalnya Rp10 miliar tidak dibayar, tetap saja pailit. Terjadi pergeseran bagaimana seseorang dinyatakan pailit atau tidak,” jelasnya.

Akibatnya, lanjut Otto, tidak ada ambang batas (threshold) jumlah utang dengan aset yang dimiliki suatu perusahaan atau seseorang untuk dapat dinyatakan pailit karena hanya dibuktikan dengan 2 utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih tetapi tidak dibayar.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2275 seconds (0.1#10.140)
pixels