Fadli Zon: Pancasila Itu Ke-kita-an, Bukan Ke-saya-an
A
A
A
JAKARTA - Pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2017 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang sebagian personelnya telah dilantik di Istana Negara pada hari Rabu 7 Juni 2017, mendapat apresiasi sekaligus catatan dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
“Sesudah reformasi, Pancasila memang agak diabaikan dan sejumlah hal yang berkaitan dengannya sempat mendapat stigma buruk. Itu terjadi karena saat itu publik mengidentikkan Pancasila dengan Orde Baru," ujar dia lewat rilis yang diterima SINDOnews, Kamis (8/6/2017).
Dia menilai, persepsi itu tentu saja keliru, karena Pancasila adalah dasar negara, bukan produk rezim yang saat itu berkuasa. Jadi, pembentukan UKP ini perlu disambut positif. Pemerintah bisa dianggap telah menaruh perhatian serius terhadap keberadaan dasar negara, dan itu positif.
“Namun, saya punya dua catatan atas pembentukan lembaga baru ini, satu soal substansi, dan kedua soal kelembagaan. Pertama, dari sisi substansi, belajar dari pengalaman masa lalu, jangan sampai lembaga baru ini terjebak memunculkan lagi tafsir tunggal atau tafsir resmi versi penguasa mengenai Pancasila," jelasnya.
Sehingga, dia menilai, hal itu tidak produktif dan berbahaya, karena semua penafsiran yang berbeda dengan penguasa nantinya bisa distigmatisasi sebagai tindakan melawan pemerintah. "Kita tidak ingin mengulangi hal itu lagi,” ucapnya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra berpendapat, kita harus bijak memahami bahwa maraknya berbagai aksi belakangan ini bisa jadi tak berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap Pancasila, tetapi karena disebabkan hal lain. Apakah karena faktor lemahnya penegakkan hukum, hukum yang tebang pilih, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, atau hal-hal sejenisnya.
“Sehingga, terapi untuk mengatasi persoalan kita hari ini tak bisa hanya dengan indoktrinasi dan produksi jargon. Jangan sampai pemerintah melemparkan kesalahan dan kekurangan yang sebenarnya merupakan tanggung jawabnya sendiri sebagai seolah kesalahan atau kekurangan dari masyarakat. Jika pemerintah gagal menciptakan keadilan, misalnya, maka jangan salahkan masyarakat yang gelisah sebagai tidak Pancasilais. Kita tak ingin itu terjadi,” tegasnya.
Kedua, dari sisi kelembagaan. Dirinya masih bertanya-tanya, apakah perlu kita menciptakan lembaga baru, apalagi yang setingkat kementerian, jika urusannya hanya membantu presiden untuk melakukan koordinasi terkait ideologi, wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional, yang fungsi tersebut sebenarnya telah ada dalam berbagai lembaga negara lainnya, terutama kementerian.
"Jangan lupa, di Kementerian Dalam Negeri, di bawah Dirjen Politik dan Pemerintahan Kemendagri ada yang namanya Direktorat Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan, yang di bawahnya ada Subdit Penghayatan dan Pengamalan Pancasila,” ucapnya.
Kata dia, jika memang perlu tambahan tenaga, secara teknis presiden sebenarnya telah punya Kantor Staf Presiden (KSP). Fungsi organisasi baru ini sebenarnya bisa dimasukkan ke KSP dengan merevisi fungsi dan kewenangannya, sehingga tak perlu lagi mengadakan organisasi dan kesekretariatan baru.
"Pemerintah terkesan tak konsisten dengan isu penghematan anggaran yang sering didengungkannya sendiri. Atau, kalau soal Pancasila ini memang benar-benar dianggap penting oleh pemerintah, lembaga yang menanganinya seharusnya bukanlah sebuah lembaga internal rumah tangga kepresidenan yang hanya dibentuk dengan Perpres," jelasnya.
Sebagai catatan, kata Fadli Zon, dulu BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibentuk dengan Tap MPR, yang posisinya lebih tinggi daripada undang-undang.
“Secara umum saya berharap agar munculnya lembaga baru ini dan semua kampanye tentang Pancasila yang heboh kemarin itu bukan karena pemerintah sedang ‘puber Pancasila’ saja. Pancasila adalah tentang ‘kekitaan’, bukan tentang ‘ke-saya-an’. Dia adalah alat pemersatu, bukan alat segregasi untuk menggebuk lawan-lawan politik. Ini yang akan diawasi oleh DPR dan juga harus dikritisi oleh masyarakat," tutupnya.
“Sesudah reformasi, Pancasila memang agak diabaikan dan sejumlah hal yang berkaitan dengannya sempat mendapat stigma buruk. Itu terjadi karena saat itu publik mengidentikkan Pancasila dengan Orde Baru," ujar dia lewat rilis yang diterima SINDOnews, Kamis (8/6/2017).
Dia menilai, persepsi itu tentu saja keliru, karena Pancasila adalah dasar negara, bukan produk rezim yang saat itu berkuasa. Jadi, pembentukan UKP ini perlu disambut positif. Pemerintah bisa dianggap telah menaruh perhatian serius terhadap keberadaan dasar negara, dan itu positif.
“Namun, saya punya dua catatan atas pembentukan lembaga baru ini, satu soal substansi, dan kedua soal kelembagaan. Pertama, dari sisi substansi, belajar dari pengalaman masa lalu, jangan sampai lembaga baru ini terjebak memunculkan lagi tafsir tunggal atau tafsir resmi versi penguasa mengenai Pancasila," jelasnya.
Sehingga, dia menilai, hal itu tidak produktif dan berbahaya, karena semua penafsiran yang berbeda dengan penguasa nantinya bisa distigmatisasi sebagai tindakan melawan pemerintah. "Kita tidak ingin mengulangi hal itu lagi,” ucapnya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra berpendapat, kita harus bijak memahami bahwa maraknya berbagai aksi belakangan ini bisa jadi tak berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap Pancasila, tetapi karena disebabkan hal lain. Apakah karena faktor lemahnya penegakkan hukum, hukum yang tebang pilih, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, atau hal-hal sejenisnya.
“Sehingga, terapi untuk mengatasi persoalan kita hari ini tak bisa hanya dengan indoktrinasi dan produksi jargon. Jangan sampai pemerintah melemparkan kesalahan dan kekurangan yang sebenarnya merupakan tanggung jawabnya sendiri sebagai seolah kesalahan atau kekurangan dari masyarakat. Jika pemerintah gagal menciptakan keadilan, misalnya, maka jangan salahkan masyarakat yang gelisah sebagai tidak Pancasilais. Kita tak ingin itu terjadi,” tegasnya.
Kedua, dari sisi kelembagaan. Dirinya masih bertanya-tanya, apakah perlu kita menciptakan lembaga baru, apalagi yang setingkat kementerian, jika urusannya hanya membantu presiden untuk melakukan koordinasi terkait ideologi, wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional, yang fungsi tersebut sebenarnya telah ada dalam berbagai lembaga negara lainnya, terutama kementerian.
"Jangan lupa, di Kementerian Dalam Negeri, di bawah Dirjen Politik dan Pemerintahan Kemendagri ada yang namanya Direktorat Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan, yang di bawahnya ada Subdit Penghayatan dan Pengamalan Pancasila,” ucapnya.
Kata dia, jika memang perlu tambahan tenaga, secara teknis presiden sebenarnya telah punya Kantor Staf Presiden (KSP). Fungsi organisasi baru ini sebenarnya bisa dimasukkan ke KSP dengan merevisi fungsi dan kewenangannya, sehingga tak perlu lagi mengadakan organisasi dan kesekretariatan baru.
"Pemerintah terkesan tak konsisten dengan isu penghematan anggaran yang sering didengungkannya sendiri. Atau, kalau soal Pancasila ini memang benar-benar dianggap penting oleh pemerintah, lembaga yang menanganinya seharusnya bukanlah sebuah lembaga internal rumah tangga kepresidenan yang hanya dibentuk dengan Perpres," jelasnya.
Sebagai catatan, kata Fadli Zon, dulu BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibentuk dengan Tap MPR, yang posisinya lebih tinggi daripada undang-undang.
“Secara umum saya berharap agar munculnya lembaga baru ini dan semua kampanye tentang Pancasila yang heboh kemarin itu bukan karena pemerintah sedang ‘puber Pancasila’ saja. Pancasila adalah tentang ‘kekitaan’, bukan tentang ‘ke-saya-an’. Dia adalah alat pemersatu, bukan alat segregasi untuk menggebuk lawan-lawan politik. Ini yang akan diawasi oleh DPR dan juga harus dikritisi oleh masyarakat," tutupnya.
(kri)