Penanganan Kasus Dugaan Korupsi Helikopter AW 101 Dikritisi
A
A
A
JAKARTA - Kedudukan hukum atau legal standing penetapan berikut pengumuman status tersangka kasus dugaan dugaan korupsi pengadaan helikopter Agusta Westland (AW) 101 dikritisi.
Pengamat militer Sidra Tahta Muhtar menyatakan, proses pengadaan heli AW 101 dilaksanakan atas pertimbangan dan kebutuhan militer. Prinsipnya, kata dia, mekanisme pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) tersebut dirancang secara sistematis.
Namun, menurut dia, spesifikasi teknis heli untuk kebutuhan super VIP itu masih kurang dari apa yang diharapkan. Sehingga, belakangan perlu ada perubahan-perubahan yang memengaruhi mekanisme penganggaran.
"Pada proses penganggaran inilah, reformasi di TNI terlihat rentan. Dibutuhkan upaya ekstra untuk memperbaiki hal tersebut," kata Sidra dalam diskusi Membedah Perkara Heli TNI AW-101 yang digelar Perhimpunan Magister Hukum Indonesia, di Menteng, Jakarta, Rabu (7/6/2017).
Pakar hukum pidana, Suparji mengaku terkejut terhadap penetapan status tersangka kasus ini oleh Panglima TNI. Padahal, kata dia, analisisnya dari sisi hukum kasus ini masih belum terlihat jelas.
"Kalau masalah kerugian negara, siapa yang menghitung kerugian, harusnya bersifat nyata oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tidak boleh direka-reka sehingga terlihat ada unsur korupsi," kata Suparji. (Baca juga: Kasus Korupsi AW 101, KPK dan TNI Geledah Empat Lokasi )
Suparji menegaskan, unsur korupsi masih diragukan karena unsur hukumnya belum terpenuhi. "Apalagi yang menyatakan ada pihak yang melakukan korupsi (tersangka) adalah Panglima TNI bukan KPK," ucapnya.
Hal senada dikemukakan pengamat anggaran Ucok Sky Khadafi. Dia meragukan kerugian negara yang disebabkan oleh pembelian helikopter AW 101.Pasalnya, kata dia, pengusutan kasus ini idealnya membutuhkan waktu yang panjang.
"KPK juga akan sangat kesulitan untuk melakukan penyidikan atas anggaran karena harus membandingkan harga helikopter antara satu dan yang lain, apalagi masalah pengadaan alutsista selalu dirahasiakan, karena sifatnya rahasia negara," tuturnya.
Praktisi hukum, Pahrozi mengatakan, upaya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo melakukan upaya bersih-bersih di internal TNI perlu diapresiasi.
Namun dia mengingatkan, langkah bersih-bersih itu hendaknya dilakukan secara proporsional. "Bersih-bersih itu harus dilakukan dengan sapu yang bersih," tandasnya.
Dia menilai, penetapan dan pengumuman status tersangka pada tiga anggota TNI juga menjadi pertanyaan. "Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Harus ada audit BPK yang menjadi dasar penetapan status tersangka," ucapnya.
Dia memprediksi persoalan ini bisa mengganggu soliditas di internal TNI.
Pengamat militer Sidra Tahta Muhtar menyatakan, proses pengadaan heli AW 101 dilaksanakan atas pertimbangan dan kebutuhan militer. Prinsipnya, kata dia, mekanisme pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) tersebut dirancang secara sistematis.
Namun, menurut dia, spesifikasi teknis heli untuk kebutuhan super VIP itu masih kurang dari apa yang diharapkan. Sehingga, belakangan perlu ada perubahan-perubahan yang memengaruhi mekanisme penganggaran.
"Pada proses penganggaran inilah, reformasi di TNI terlihat rentan. Dibutuhkan upaya ekstra untuk memperbaiki hal tersebut," kata Sidra dalam diskusi Membedah Perkara Heli TNI AW-101 yang digelar Perhimpunan Magister Hukum Indonesia, di Menteng, Jakarta, Rabu (7/6/2017).
Pakar hukum pidana, Suparji mengaku terkejut terhadap penetapan status tersangka kasus ini oleh Panglima TNI. Padahal, kata dia, analisisnya dari sisi hukum kasus ini masih belum terlihat jelas.
"Kalau masalah kerugian negara, siapa yang menghitung kerugian, harusnya bersifat nyata oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tidak boleh direka-reka sehingga terlihat ada unsur korupsi," kata Suparji. (Baca juga: Kasus Korupsi AW 101, KPK dan TNI Geledah Empat Lokasi )
Suparji menegaskan, unsur korupsi masih diragukan karena unsur hukumnya belum terpenuhi. "Apalagi yang menyatakan ada pihak yang melakukan korupsi (tersangka) adalah Panglima TNI bukan KPK," ucapnya.
Hal senada dikemukakan pengamat anggaran Ucok Sky Khadafi. Dia meragukan kerugian negara yang disebabkan oleh pembelian helikopter AW 101.Pasalnya, kata dia, pengusutan kasus ini idealnya membutuhkan waktu yang panjang.
"KPK juga akan sangat kesulitan untuk melakukan penyidikan atas anggaran karena harus membandingkan harga helikopter antara satu dan yang lain, apalagi masalah pengadaan alutsista selalu dirahasiakan, karena sifatnya rahasia negara," tuturnya.
Praktisi hukum, Pahrozi mengatakan, upaya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo melakukan upaya bersih-bersih di internal TNI perlu diapresiasi.
Namun dia mengingatkan, langkah bersih-bersih itu hendaknya dilakukan secara proporsional. "Bersih-bersih itu harus dilakukan dengan sapu yang bersih," tandasnya.
Dia menilai, penetapan dan pengumuman status tersangka pada tiga anggota TNI juga menjadi pertanyaan. "Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Harus ada audit BPK yang menjadi dasar penetapan status tersangka," ucapnya.
Dia memprediksi persoalan ini bisa mengganggu soliditas di internal TNI.
(dam)