Pidana Korporasi Dinilai Bisa Usut Kasus BLBI
A
A
A
JAKARTA - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan pidana korporasi untuk mengungkap kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI), mendapat respons positif dari masyarakat.
Pidana korupsi dirancang untuk menelusuri aset-aset yang dimiliki Obligor Samjul Nursalim. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting menilai, langkah KPK tersebut sangat tepat.
Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Pemberantasan Korupsi Pasal 20 yang mengatur pidana korporasi sebagai subyek hukum.
Miko mengatakan, saat ini KPK tengah mengupayakan pengembalian aset negara dalam kasus dugaan korupsi yang diduga merugikan negara Rp3,7 triliun tersebut.
"Pidana korporasi bisa saja diterapkan karena sudah diatur di UU Tipikor dan apabila ditemukan keterlibatan korporasi dalam perbuatan pidana kasus BLBI," kata Miko dalam pers rilisnya, Jumat (2/6/2017).
Menurut Miko, penerapan pidana korporasi oleh KPK juga sudah sesuai dalam kasus SKL BLBI. Apalagi Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi.
Artinya kata dia, perangkat yang ada sudah cukup memberikan peluang bagi KPK dalam menjerat korporasi yang terlibat dalam kasus BLBI, tentunya dengan melihat alur berjalannya dana (follow the money).
"Dengan strategi itu (pidana korporasi) maka KPK akan dapat melihat sejauh mana keterlibatan korporasi dalam perbuatan korupsi tersebut," ucapnya.
Selain itu Miko menilai, dengan menerapkan pidana korporasi, KPK memiliki strategi luas untuk mewaspadai dan menelusuri aliran dana BLBI. Maklum katanya, kasus ini sudah berlangsung sejak 1998, namun penyelidikan dan penyidikannya masih belum maksimal.
Maka itu dia berharap, melalui pidana korporasi, diharapkan KPK akan lebih berani mengusut dan menyelesaikan kasus ini sampai tuntas. "Siapapun yang terlibat dan jaringannya harus diusut tuntas," tukasnya.
Pidana korupsi dirancang untuk menelusuri aset-aset yang dimiliki Obligor Samjul Nursalim. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting menilai, langkah KPK tersebut sangat tepat.
Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Pemberantasan Korupsi Pasal 20 yang mengatur pidana korporasi sebagai subyek hukum.
Miko mengatakan, saat ini KPK tengah mengupayakan pengembalian aset negara dalam kasus dugaan korupsi yang diduga merugikan negara Rp3,7 triliun tersebut.
"Pidana korporasi bisa saja diterapkan karena sudah diatur di UU Tipikor dan apabila ditemukan keterlibatan korporasi dalam perbuatan pidana kasus BLBI," kata Miko dalam pers rilisnya, Jumat (2/6/2017).
Menurut Miko, penerapan pidana korporasi oleh KPK juga sudah sesuai dalam kasus SKL BLBI. Apalagi Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi.
Artinya kata dia, perangkat yang ada sudah cukup memberikan peluang bagi KPK dalam menjerat korporasi yang terlibat dalam kasus BLBI, tentunya dengan melihat alur berjalannya dana (follow the money).
"Dengan strategi itu (pidana korporasi) maka KPK akan dapat melihat sejauh mana keterlibatan korporasi dalam perbuatan korupsi tersebut," ucapnya.
Selain itu Miko menilai, dengan menerapkan pidana korporasi, KPK memiliki strategi luas untuk mewaspadai dan menelusuri aliran dana BLBI. Maklum katanya, kasus ini sudah berlangsung sejak 1998, namun penyelidikan dan penyidikannya masih belum maksimal.
Maka itu dia berharap, melalui pidana korporasi, diharapkan KPK akan lebih berani mengusut dan menyelesaikan kasus ini sampai tuntas. "Siapapun yang terlibat dan jaringannya harus diusut tuntas," tukasnya.
(maf)