Oesman Sapta: Pesantren Garda Terdepan Jawab Radikalisme
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Oesman Sapta menilai pesantren sebagai garda terdepan untuk menjawab tantangan radikalisme dan trans-ideologi di Indonesia.
Peran itu dinilai penting selain peran pesantren memberdayakan ekonomi pesantren dan masyarakat. "Kita semua merasakan, radikalisme dan trans-ideologi semakin menancapkan kukunya di Indonesia. Yang paling merisaukan, penganutnya adalah anak-anak muda yang terdidik. Mereka menjadi simpatisan, bahkan pengikut setia gerakan radikalisme,” ucap Oesman.
Oesman mengatakan itu saat memberikan pengarahan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) bertema Menggairahkan Semangat Bela Negara di Asrama Haji, Jalan Pondok Gede, Pinang Ranti, Jakarta Timur, Jumat (19/5/2017).
Dia didampingi Ketua Umum Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) Zaini Ahmad, yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhlas, Pasuruan, Jawa Timur.
“Banyak masalah dihadapi masyarakat daerah, seperti kemiskinan, kesenjangan, dan keamanan, yang mendorong kita untuk bergandengan tangan.Oleh karena itu, sejak awal saya mendukung berdirinya Ikatan Pesantren Indonesia, karena saya sangat menyadari posisi pesantren sebagai garda terdepan untuk menjawab tantangan yang kita hadapi," tutur Oesman.
Selaku Ketua DPD, Oesman berterima kasih kepada jajaran pengurus IPI karena berkesempatan untuk memberikan pengarahan. Selain bertatap muka dan bersilaturahmi dengan jajaran pengurus IPI dan keluarga besar pesantren Indonesia, Oesman juga bisa menyampaikan berbagai masalah kebangsaan, utamanya agenda kemajuan masyarakat daerah.
Menurut dia, pembentukan DPD sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan di daerah. "Kami di DPD ini tidak lepas dari upaya memajukan daerah. Kita memiliki niat dan tujuan yang sama, yaitu memajukan masyarakat, khususnya di daerah," tandasnya.
Selain radikalisme dan trans-ideologi, Oesman mencatat beberapa tantangan saat ini dan ke depan. Tantangan pertama, pemberdayaan ekonomi pesantren dan masyarakat. Hitung-hitungnya dari 10% masyarakat yang miskin, kebanyakan umat Islam.
Untuk memperkuat ekonomi umat, lanjut dia, diperlukan upaya pemberdayaan ekonomi pesantren. Di samping dibekali ilmu pengetahuan agama, para santri juga dibekali kemampuan mengakses ekonomi. Tantangan kedua adalah radikalisme dan trans-ideologi yang dinilai semakin menemukan tempatnya di Indonesia.
"Kita semua merasakan, radikalisme dan trans-ideologi semakin menancapkan kukunya di Indonesia. Yang paling merisaukan, penganutnya adalah anak-anak muda yang terdidik. Mereka menjadi simpatisan, bahkan pengikut setia gerakan radikalisme," kata Oesman.
Dia menyambut upaya IPI yang menggelar diskusi bertema Menangkal Radikalisme dan Memupuk Semangat Nasionalisme NKRI Lewat Pesantren. Tantangan ketiga, masalah nasionalisme. Menurut dia, tidak bisa dipungkiri, Indonesia menghadapi globalisasi yang menyebabkan masyarakat Indonesia mudah terpengaruh ideologi selain Pancasila.
Dia berharap IPI bisa ambil bagian meningkatkan nasionalisme yang berpegang pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Kita bersyukur, para pendiri negara merumuskan dan berkonsensus untuk menjadikan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi landasan untuk berbangsa dan bernegara. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau negara kita ini tidak disangga Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, bisa runtuh berantakan," kata Oesman.
Oesman juga menekankan pentingnya mengaktualisasikan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Peran itu dinilai penting selain peran pesantren memberdayakan ekonomi pesantren dan masyarakat. "Kita semua merasakan, radikalisme dan trans-ideologi semakin menancapkan kukunya di Indonesia. Yang paling merisaukan, penganutnya adalah anak-anak muda yang terdidik. Mereka menjadi simpatisan, bahkan pengikut setia gerakan radikalisme,” ucap Oesman.
Oesman mengatakan itu saat memberikan pengarahan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) bertema Menggairahkan Semangat Bela Negara di Asrama Haji, Jalan Pondok Gede, Pinang Ranti, Jakarta Timur, Jumat (19/5/2017).
Dia didampingi Ketua Umum Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) Zaini Ahmad, yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhlas, Pasuruan, Jawa Timur.
“Banyak masalah dihadapi masyarakat daerah, seperti kemiskinan, kesenjangan, dan keamanan, yang mendorong kita untuk bergandengan tangan.Oleh karena itu, sejak awal saya mendukung berdirinya Ikatan Pesantren Indonesia, karena saya sangat menyadari posisi pesantren sebagai garda terdepan untuk menjawab tantangan yang kita hadapi," tutur Oesman.
Selaku Ketua DPD, Oesman berterima kasih kepada jajaran pengurus IPI karena berkesempatan untuk memberikan pengarahan. Selain bertatap muka dan bersilaturahmi dengan jajaran pengurus IPI dan keluarga besar pesantren Indonesia, Oesman juga bisa menyampaikan berbagai masalah kebangsaan, utamanya agenda kemajuan masyarakat daerah.
Menurut dia, pembentukan DPD sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan di daerah. "Kami di DPD ini tidak lepas dari upaya memajukan daerah. Kita memiliki niat dan tujuan yang sama, yaitu memajukan masyarakat, khususnya di daerah," tandasnya.
Selain radikalisme dan trans-ideologi, Oesman mencatat beberapa tantangan saat ini dan ke depan. Tantangan pertama, pemberdayaan ekonomi pesantren dan masyarakat. Hitung-hitungnya dari 10% masyarakat yang miskin, kebanyakan umat Islam.
Untuk memperkuat ekonomi umat, lanjut dia, diperlukan upaya pemberdayaan ekonomi pesantren. Di samping dibekali ilmu pengetahuan agama, para santri juga dibekali kemampuan mengakses ekonomi. Tantangan kedua adalah radikalisme dan trans-ideologi yang dinilai semakin menemukan tempatnya di Indonesia.
"Kita semua merasakan, radikalisme dan trans-ideologi semakin menancapkan kukunya di Indonesia. Yang paling merisaukan, penganutnya adalah anak-anak muda yang terdidik. Mereka menjadi simpatisan, bahkan pengikut setia gerakan radikalisme," kata Oesman.
Dia menyambut upaya IPI yang menggelar diskusi bertema Menangkal Radikalisme dan Memupuk Semangat Nasionalisme NKRI Lewat Pesantren. Tantangan ketiga, masalah nasionalisme. Menurut dia, tidak bisa dipungkiri, Indonesia menghadapi globalisasi yang menyebabkan masyarakat Indonesia mudah terpengaruh ideologi selain Pancasila.
Dia berharap IPI bisa ambil bagian meningkatkan nasionalisme yang berpegang pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Kita bersyukur, para pendiri negara merumuskan dan berkonsensus untuk menjadikan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi landasan untuk berbangsa dan bernegara. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau negara kita ini tidak disangga Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, bisa runtuh berantakan," kata Oesman.
Oesman juga menekankan pentingnya mengaktualisasikan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
(dam)