Bagir Manan: Kepemimpinan Oesman Sapta Dianggap Tak Pernah Ada
A
A
A
JAKARTA - Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2001-2008 Bagir Manan menganggap proses pemilihan ketua DPD pada 1 April 2017 tidak pernah ada karena telah bertentangan dengan putusan MA. Alasan bahwa proses pemilihan harus dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan tidak tepat karena putusan MA Nomor 38 P/HUM/2016 serta putusan MA Nomor 20 P/HUM/2017 telah mengembalikan masa jabatan ketua DPD menjadi lima tahun.
“Sekarang pertanyaannya apa sih pengertian tidak sah itu, artinya bahwa dia menjadi batal demi hukum. Kalau sesuatu dikatakan batal demi hukum jadi dianggap tidak pernah ada. Maka semua keadaan hukum yang diciptakan oleh peraturan baru menjadi hapus, tidak ada, kembali pada keadaan hukum sebelumnya,” ujar Bagir saat menghadiri diskusi yang digelar Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif di Jakarta, Kamis (20/4/2017).
Menurut Bagir, jika berpegangan pada ajaran itu maka apa yang dilakukan oleh sebagian anggota DPD hingga memilih Oesman Sapta Odang sebagai ketua adalah ilegal. Dan menjadi berbahaya karena segala putusan serta kebijakan yang dikeluarkan juga akan menjadi ilegal.
“Ini semacam adagium 'Dari pohon beracun maka buahnya beracun juga'. Karena dianggap sudah batal (tatibnya) maka hasil pemilihan itu batal juga,” jelas Bagir.
Senada Ketua KoDe Inisiatif, Veri Junaidi khawatir dengan posisi Oesman Sapta sebagai Ketua DPD saat ini. Dengan proses pemilihan yang ilegal maka segala aktivitas yang bersangkutan ketika membawa nama kelembagaan juga menjadi tidak sah.
“Kehadiran pimpinan DPD di suatu acara, produk hukum juga cacat hukum. Ini yang mengkhwatirkan,” tutur Veri.
Menurut Veri, sorotan masyarakat terhadap minimnya kinerja DPD menjadi semakin besar seiring dengan kekisruhan yang terjadi di lembaga itu. “Akan semakin terpuruk, selama ini kita hanya katakan DPD minim kinerja tapi sekarang akan semakin disorot karena proses yang tidak sah menurut hukum,” tambah Veri.
Sebagaimana diketahui, kisruh DPD bermula saat lembaga perwakilan daerah tersebut membuat tatib yang mengatur masa jabatan ketua 2,5 tahun. Aturan yang kemudian digugat oleh sebagian anggota DPD lain, hingga muncul putusan MA yang membatalkan. Namun dalam prosesnya putusan tersebut tidak dijalankan, dan justru DPD memilih Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai pimpinan.
“Sekarang pertanyaannya apa sih pengertian tidak sah itu, artinya bahwa dia menjadi batal demi hukum. Kalau sesuatu dikatakan batal demi hukum jadi dianggap tidak pernah ada. Maka semua keadaan hukum yang diciptakan oleh peraturan baru menjadi hapus, tidak ada, kembali pada keadaan hukum sebelumnya,” ujar Bagir saat menghadiri diskusi yang digelar Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif di Jakarta, Kamis (20/4/2017).
Menurut Bagir, jika berpegangan pada ajaran itu maka apa yang dilakukan oleh sebagian anggota DPD hingga memilih Oesman Sapta Odang sebagai ketua adalah ilegal. Dan menjadi berbahaya karena segala putusan serta kebijakan yang dikeluarkan juga akan menjadi ilegal.
“Ini semacam adagium 'Dari pohon beracun maka buahnya beracun juga'. Karena dianggap sudah batal (tatibnya) maka hasil pemilihan itu batal juga,” jelas Bagir.
Senada Ketua KoDe Inisiatif, Veri Junaidi khawatir dengan posisi Oesman Sapta sebagai Ketua DPD saat ini. Dengan proses pemilihan yang ilegal maka segala aktivitas yang bersangkutan ketika membawa nama kelembagaan juga menjadi tidak sah.
“Kehadiran pimpinan DPD di suatu acara, produk hukum juga cacat hukum. Ini yang mengkhwatirkan,” tutur Veri.
Menurut Veri, sorotan masyarakat terhadap minimnya kinerja DPD menjadi semakin besar seiring dengan kekisruhan yang terjadi di lembaga itu. “Akan semakin terpuruk, selama ini kita hanya katakan DPD minim kinerja tapi sekarang akan semakin disorot karena proses yang tidak sah menurut hukum,” tambah Veri.
Sebagaimana diketahui, kisruh DPD bermula saat lembaga perwakilan daerah tersebut membuat tatib yang mengatur masa jabatan ketua 2,5 tahun. Aturan yang kemudian digugat oleh sebagian anggota DPD lain, hingga muncul putusan MA yang membatalkan. Namun dalam prosesnya putusan tersebut tidak dijalankan, dan justru DPD memilih Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai pimpinan.
(kri)