Peduli Lingkungan, Avani Kembangkan Kantong Plastik dari Singkong
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan berbasis sains, Avani Eco, memproduksi plastik sekali pakai dengan 100% bahan-bahan yang mudah terurai. Produk-produk Avani bertujuan untuk mengganti plastik berbahan dasar petroleum dengan plastik yang berbahan alami.
Chief Green Officer Avani Eco, Kevin Kumala mengatakan, gagasan menciptakan produk biodegradable berawal ketika melihat perubahan drastis di pantai dan permukaan laut di Bali yang terdapat banyak sampah plastik. Dari situlah, Kevin bertekad menghasilkan plastik yang praktis dan kuat sekaligus dapat terurai namun tidak berbahaya bagi makhluk hidup.
"Kantong ini terbuat dari tumbuh-tumbuhan, terbuat dari pati singkong, minyak sayur, dan bahan-bahan lainnya. Kalau kita kubur di tanah akan menjadi kompos. Tidak merugikan lingkungan sama sekali," ujarnya ketika berkunjung ke Gedung SINDO, Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Menurut dia, plastik yang bisa terurai akan melengkapi gerakan 3R, yakni Reduce, Reuse, Recycle. "Ketika sibuk, kita tidak bisa melakukan itu. Maka kita harus kampanyekan satu R lagi, Replace," tuturnya.
Dia juga mendemonstrasikan plastik yang bisa diminum. Mula-mula plastik yang terbuat dari pati singkong dirobek dan dimasukkan ke dalam gelas berisi air. Setelah diaduk selama beberapa detik, plastik tersebut larut di dalam air dan bisa diminum.
Plastik inovatif ini dapat terurai dalam waktu kurang dari 90 hari dan bahkan bisa larut dalam air hangat. Kevin menuturkan, plastik yang dianggap 'ramah lingkungan' sebenarnya lebih parah dari plastik kresek biasa.
"Plastik-plastik itu menggunakan suntikan metal. Jadi dalam dua tahun akan hancur dan plastik tersebut masuk ke dalam tanah. Ketika masuk ke dalam tanah, ada potensi plastik-plastik yang hancur tersebut akan di makan hewan seperti ayam yang kemudian dimakan manusia. Jadi hewan dirugikan, manusia juga dirugikan," jelasnya.
Dia mengungkapkan, produk plastik yang telah dibuatnya telah menerima sertifikasi Eropa dan Amerika untuk produk kemasan ramah lingkungan. Harga yang ditawarkan memang relatif lebih tinggi dibandingkan plastik biasa, sekitar Rp200-300 lebih mahal. Namun dirinya optimis ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah sampah plastik.
Kevin menjelaskan, semua bahan baku untuk pembuatan produk plastik didapat dari dalam negeri seperti singkong, jagung, dan tebu. Menurut dia, produksi singkong di Indonesia mencapai 24-25 ton per tahun namun permintaannya masih di bawah itu.
"Seperti plastik ini terbuat dari pati singkong. Sedotan terbuat dari pati jagung," imbuhnya.
Saat ini, 80% pemesanan produk-produk plastik Avani berasal dari luar negeri. Menurut Kevin, di luar negeri sangat mendukung produ-produknya. "Ekspor paling banyak ke Australia, Amerika Serikat, Ghana, Rwanda, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Itu beberapa macam produk," kata Kevin.
Sementara sisanya sebanyak 20% tersentralisasi di Bali. Untuk wilayah Jakarta perlahan mulai masuk. Selain kantong plastik, Avani juga mengembangkan produk bioplastik lainnya seperti jas hujan ponco, replace styrofoam dari ampas tebu, papercup dari pati jagung, dan sendok makan dari bahan kayu yang biodegradable.
Kevin menjelaskan, perusahan mulai merambah ke produk-produk lainnya yang bisa digunakan oleh hotel, restoran, dan sejumlah cafe yang memakai produk Avani Eco. Salah satunya Garuda Indonesia yang menggunakan bioplastik Avani Eco untuk pembelanjaan dalam penerbangannya.
"Sifatnya lebih ke B2B. Seperti di hotel kita lihat ada sisir plastik, botol sabun. Beberapa coffee shop juga akan menggunakan gelas produk kami," ungkapnya.
Dia menambahkan, pihaknya memang lebih diapresiasi di luar negeri. Sementara di dalam negeri sendiri, Kevin harus mengetuk dari pintu ke pintu. Padahal ini merupakan karya anak bangsa di mana bahan baku diambil dari dalam negeri. Dia berharap dalam lima tahun ke depan bisa didukung dari dalam negeri.
"Lima tahun ke depan kita tidak akan meninggalkan Indonesia. Kita juga akan mempunyai headquarter di Amerika karena di sana kita benar-besar sangat didukung. Saya sudah melakukan feasibility study, mau buat pabrik di mana dan nanti akan disupport," tandasnya.
Chief Green Officer Avani Eco, Kevin Kumala mengatakan, gagasan menciptakan produk biodegradable berawal ketika melihat perubahan drastis di pantai dan permukaan laut di Bali yang terdapat banyak sampah plastik. Dari situlah, Kevin bertekad menghasilkan plastik yang praktis dan kuat sekaligus dapat terurai namun tidak berbahaya bagi makhluk hidup.
"Kantong ini terbuat dari tumbuh-tumbuhan, terbuat dari pati singkong, minyak sayur, dan bahan-bahan lainnya. Kalau kita kubur di tanah akan menjadi kompos. Tidak merugikan lingkungan sama sekali," ujarnya ketika berkunjung ke Gedung SINDO, Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Menurut dia, plastik yang bisa terurai akan melengkapi gerakan 3R, yakni Reduce, Reuse, Recycle. "Ketika sibuk, kita tidak bisa melakukan itu. Maka kita harus kampanyekan satu R lagi, Replace," tuturnya.
Dia juga mendemonstrasikan plastik yang bisa diminum. Mula-mula plastik yang terbuat dari pati singkong dirobek dan dimasukkan ke dalam gelas berisi air. Setelah diaduk selama beberapa detik, plastik tersebut larut di dalam air dan bisa diminum.
Plastik inovatif ini dapat terurai dalam waktu kurang dari 90 hari dan bahkan bisa larut dalam air hangat. Kevin menuturkan, plastik yang dianggap 'ramah lingkungan' sebenarnya lebih parah dari plastik kresek biasa.
"Plastik-plastik itu menggunakan suntikan metal. Jadi dalam dua tahun akan hancur dan plastik tersebut masuk ke dalam tanah. Ketika masuk ke dalam tanah, ada potensi plastik-plastik yang hancur tersebut akan di makan hewan seperti ayam yang kemudian dimakan manusia. Jadi hewan dirugikan, manusia juga dirugikan," jelasnya.
Dia mengungkapkan, produk plastik yang telah dibuatnya telah menerima sertifikasi Eropa dan Amerika untuk produk kemasan ramah lingkungan. Harga yang ditawarkan memang relatif lebih tinggi dibandingkan plastik biasa, sekitar Rp200-300 lebih mahal. Namun dirinya optimis ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah sampah plastik.
Kevin menjelaskan, semua bahan baku untuk pembuatan produk plastik didapat dari dalam negeri seperti singkong, jagung, dan tebu. Menurut dia, produksi singkong di Indonesia mencapai 24-25 ton per tahun namun permintaannya masih di bawah itu.
"Seperti plastik ini terbuat dari pati singkong. Sedotan terbuat dari pati jagung," imbuhnya.
Saat ini, 80% pemesanan produk-produk plastik Avani berasal dari luar negeri. Menurut Kevin, di luar negeri sangat mendukung produ-produknya. "Ekspor paling banyak ke Australia, Amerika Serikat, Ghana, Rwanda, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Itu beberapa macam produk," kata Kevin.
Sementara sisanya sebanyak 20% tersentralisasi di Bali. Untuk wilayah Jakarta perlahan mulai masuk. Selain kantong plastik, Avani juga mengembangkan produk bioplastik lainnya seperti jas hujan ponco, replace styrofoam dari ampas tebu, papercup dari pati jagung, dan sendok makan dari bahan kayu yang biodegradable.
Kevin menjelaskan, perusahan mulai merambah ke produk-produk lainnya yang bisa digunakan oleh hotel, restoran, dan sejumlah cafe yang memakai produk Avani Eco. Salah satunya Garuda Indonesia yang menggunakan bioplastik Avani Eco untuk pembelanjaan dalam penerbangannya.
"Sifatnya lebih ke B2B. Seperti di hotel kita lihat ada sisir plastik, botol sabun. Beberapa coffee shop juga akan menggunakan gelas produk kami," ungkapnya.
Dia menambahkan, pihaknya memang lebih diapresiasi di luar negeri. Sementara di dalam negeri sendiri, Kevin harus mengetuk dari pintu ke pintu. Padahal ini merupakan karya anak bangsa di mana bahan baku diambil dari dalam negeri. Dia berharap dalam lima tahun ke depan bisa didukung dari dalam negeri.
"Lima tahun ke depan kita tidak akan meninggalkan Indonesia. Kita juga akan mempunyai headquarter di Amerika karena di sana kita benar-besar sangat didukung. Saya sudah melakukan feasibility study, mau buat pabrik di mana dan nanti akan disupport," tandasnya.
(kri)