Pasien Gagal Ginjal Keluhkan Pelayanan BPJS Kesehatan
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Samosir mengeluhkan penanganan pasien gagal ginjal kronik, yang kurang maksimal terkait pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya BPJS Kesehatan.
"Pasien itu hanya cuci darahnya saja yang gratis, transfusi darah dan obat-obatan, kami disuruh bayar sendiri," kata Tony dalam diskusi 'Mencegah dan Mengatasi Gangguan Kesehatan Ginjal' di Jakarta, Selasa, (21/3/2017).
Tony mengungkapkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terlalu diskriminatif dalam menentukan tarif dialisis (cuci darah). Padahal, tidak ada bedanya pasien di rumah sakit tipe A dengan pasien di klinik khusus hemodialisa (cuci darah) yang bertipe D.
"Alat, bahan, dokter, bahkan mesin sama," kata Tony yang sudah setahun melakukan cangkok ginjal tersebut.
Ditambahkan Tony, pemerintah harus melakukan audit ke seluruh unit hemodialisis di Indonesia. "Pemerintah harus segera mengevaluasi sistem tarif pada tindakan dialisis dan menetapkan standart yang sama," pungkas dia.
Lebih lanjut dia mengatakan, tidak adanya pengawasan dan transparansi yang dilakukan Kemenkes, mengakibatkan banyak pasien gagal ginjal lebih memilih menyerah akan hidupnya dari pada harus mengelurkan uang jutaan rupiah setiap bulannya untuk menebus obat-obatan.
"Pasien itu hanya cuci darahnya saja yang gratis, transfusi darah dan obat-obatan, kami disuruh bayar sendiri," kata Tony dalam diskusi 'Mencegah dan Mengatasi Gangguan Kesehatan Ginjal' di Jakarta, Selasa, (21/3/2017).
Tony mengungkapkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terlalu diskriminatif dalam menentukan tarif dialisis (cuci darah). Padahal, tidak ada bedanya pasien di rumah sakit tipe A dengan pasien di klinik khusus hemodialisa (cuci darah) yang bertipe D.
"Alat, bahan, dokter, bahkan mesin sama," kata Tony yang sudah setahun melakukan cangkok ginjal tersebut.
Ditambahkan Tony, pemerintah harus melakukan audit ke seluruh unit hemodialisis di Indonesia. "Pemerintah harus segera mengevaluasi sistem tarif pada tindakan dialisis dan menetapkan standart yang sama," pungkas dia.
Lebih lanjut dia mengatakan, tidak adanya pengawasan dan transparansi yang dilakukan Kemenkes, mengakibatkan banyak pasien gagal ginjal lebih memilih menyerah akan hidupnya dari pada harus mengelurkan uang jutaan rupiah setiap bulannya untuk menebus obat-obatan.
(maf)