Saling Sangkal Pejabat Soal STNK Bikin Bingung Masyarakat
A
A
A
JAKARTA - Kenaikan biaya pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilikan Kendaraan Bemotor (BPKB) pada awal tahun ini menimbulkan polemik di masyarakat.
Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku pihak yang tanda tangan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 sebagai dasar kenaikan pengurusan biaya STNK dan BPKB ternyata juga mempertanyakan besaran kenaikan tersebut.
Sikap Presiden kemudian diikuti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kapolri Tito Karnavian yang menyatakan institusinya bukan pengusul kenaikan biaya STNK dan BPKB.
"Penyangkalan para pejabat tersebut menyebabkan kebingungan di masyarakat tentang siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab atas kebijakan tersebut," kata Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima) Sya'roni melalui keterangan tertulis kepada SINDOnews, Sabtu 7 Januari 2017. (Baca juga: PDIP Juga Menentang Kenaikan Biaya STNK dan BPKB)
Menurut dia, publik merasa kenaikan biaya pengurusan STNK dan BPKB sangat memberatkan. "Tetapi bila para pejabat seakan lempar tanggung jawab, kepada siapa masyarakat akan menyampaikan penolakannya," tandasnya.
Padahal, kata dia, kebijakan tersebut sudah diberlakukan sejak tanggal 6 Januari 2017. (Baca juga: Kenaikan PNBP Bukan untuk Pajak tapi Biaya Administrasi)
Menurut dia, kasus ini menggambarkan manajemen pemerintahan tidak solid dan masih lemah koordinasinya. "Pada akhirnya mau tidak mau pihak yang paling disalahkan adalah Presiden Jokowi sebagai pucuk pimpinan pemerintahan," katanya.
Sekadar mengingatkan kembali, kasus serupa pernah terjadi ketika pemerintah berencana menaikkan DP atau uang muka mobil pejabat.
Kendati telah menandatangani Perpres Nomor 39 Tahun 2015, kata dia, Presiden membatalkan perpres tersebut lantaran kuatnya penolakan masyarakat.
Dia mengatakan, dalam kasus DP mobil pejabat, ada pejabat yang berani bertanggung jawab, yaitu Andi Widjajanto yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Kabinet.
Ketika itu, kata dia, Andi mengakui sebagai garda terakhir sebelum presiden tanda tangan merasa tidak cermat. "Tidak berapa lama kemudian, Andi Widjajanto dicopot," ujarnya.
Sementara dalam kasus STNK dan BPKB, sambung dia, hingga kini belum ada satu pun pejabat yang berani bertanggung jawab. "Tidak ada yang berani pasang badan untuk Presiden sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Andi Widjajanto," tuturnya.
Menurut dia, kasus ini bisa mendegradasi kewibawaan Presiden bila tidak ada satu pun pejabat yang mau bertanggung jawab. "Artinya Presiden sendiri yang akhirnya dipaksa untuk bertanggung jawab sebagai pihak yang menandatangani PP," tuturnya.
Mengutip pernyataan yang sering diucapkan oleh Presiden, yakni bila melakukan kesalahan harap tahu diri, Sya'roni menilai tentu presiden menginginkan siapapun yang berbuat kesalahan harus berani bertanggung jawab.
"Untuk membuktikkan ucapannya, bisa saja presiden mencopot para pejabatnya. Namun, tidak bisa dipastikan pejabat mana yang akan dicopot. Bila ini yang terjadi, maka reshuffle sudah di depan mata," tuturnya.
Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku pihak yang tanda tangan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 sebagai dasar kenaikan pengurusan biaya STNK dan BPKB ternyata juga mempertanyakan besaran kenaikan tersebut.
Sikap Presiden kemudian diikuti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kapolri Tito Karnavian yang menyatakan institusinya bukan pengusul kenaikan biaya STNK dan BPKB.
"Penyangkalan para pejabat tersebut menyebabkan kebingungan di masyarakat tentang siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab atas kebijakan tersebut," kata Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima) Sya'roni melalui keterangan tertulis kepada SINDOnews, Sabtu 7 Januari 2017. (Baca juga: PDIP Juga Menentang Kenaikan Biaya STNK dan BPKB)
Menurut dia, publik merasa kenaikan biaya pengurusan STNK dan BPKB sangat memberatkan. "Tetapi bila para pejabat seakan lempar tanggung jawab, kepada siapa masyarakat akan menyampaikan penolakannya," tandasnya.
Padahal, kata dia, kebijakan tersebut sudah diberlakukan sejak tanggal 6 Januari 2017. (Baca juga: Kenaikan PNBP Bukan untuk Pajak tapi Biaya Administrasi)
Menurut dia, kasus ini menggambarkan manajemen pemerintahan tidak solid dan masih lemah koordinasinya. "Pada akhirnya mau tidak mau pihak yang paling disalahkan adalah Presiden Jokowi sebagai pucuk pimpinan pemerintahan," katanya.
Sekadar mengingatkan kembali, kasus serupa pernah terjadi ketika pemerintah berencana menaikkan DP atau uang muka mobil pejabat.
Kendati telah menandatangani Perpres Nomor 39 Tahun 2015, kata dia, Presiden membatalkan perpres tersebut lantaran kuatnya penolakan masyarakat.
Dia mengatakan, dalam kasus DP mobil pejabat, ada pejabat yang berani bertanggung jawab, yaitu Andi Widjajanto yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Kabinet.
Ketika itu, kata dia, Andi mengakui sebagai garda terakhir sebelum presiden tanda tangan merasa tidak cermat. "Tidak berapa lama kemudian, Andi Widjajanto dicopot," ujarnya.
Sementara dalam kasus STNK dan BPKB, sambung dia, hingga kini belum ada satu pun pejabat yang berani bertanggung jawab. "Tidak ada yang berani pasang badan untuk Presiden sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Andi Widjajanto," tuturnya.
Menurut dia, kasus ini bisa mendegradasi kewibawaan Presiden bila tidak ada satu pun pejabat yang mau bertanggung jawab. "Artinya Presiden sendiri yang akhirnya dipaksa untuk bertanggung jawab sebagai pihak yang menandatangani PP," tuturnya.
Mengutip pernyataan yang sering diucapkan oleh Presiden, yakni bila melakukan kesalahan harap tahu diri, Sya'roni menilai tentu presiden menginginkan siapapun yang berbuat kesalahan harus berani bertanggung jawab.
"Untuk membuktikkan ucapannya, bisa saja presiden mencopot para pejabatnya. Namun, tidak bisa dipastikan pejabat mana yang akan dicopot. Bila ini yang terjadi, maka reshuffle sudah di depan mata," tuturnya.
(dam)