PKS Keberatan Sejumlah Elemen Penting Kebutuhan Wong Cilik Naik
A
A
A
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) di DPR keberatan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga tarif tenaga listrik (TTL), bahan bakar minyak (BBM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
Ada beberapa alasan Fraksi PKS menyampaikan keberatannya itu. Pertama, mengenai kenaikan TTL, kebijakan mencabut subsidi pengguna listrik 900 VA, dianggap akan menimbulkan masalah yang besar bagi masyarakat.
Dengan kenaikan tagihan listrik sekitar Rp111.054 perbulan, diyakini sangat memberatkan masyarakat, apalagi pengguna listrik 900 VA mencapai Rp18,9 juta rumah tangga.
"Bisa dibayangkan ada sekitar 18,9 juta pelanggan yang akan menambah biaya pengeluarannya sebesar Rp111.054 per bulannya," kata Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (6/1/2017).
Kata dia, kenaikan tersebut sudah pasti akan menimbulkan angka inflasi meningkat tajam.
Dia menambahkan, barang-barang retailer akan merangkak naik menyesuaikan dengan kenaikan harga BBM dan listrik.
Kondisi tersebut, lanjut dia, akan membuat dunia usaha melakukan efisiensi dan menaikkan harga-harga produk. "Akibatnya akan terjadi pemangkasan pendapatan, sehingga daya beli masyarakat akan semakin lemah," tutur anggota Komisi I DPR ini.
Maka itu, pemerintah disarankan untuk melakukan evaluasi dan menunda kebijakan mencabut subsidi bagi pelanggan 900 VA tersebut. "Pemerintah harus mencari timing yang pas, agar tidak berbarengan dengan kebijakan menaikkan harga BBM nonsubsidi," ucapnya.
Jika kebijakan menaikkan harga BBM nonsubsidi sudah di luar kewenangan pemerintah, lanjut dia, maka kebijakan mencabut subsidi pelanggan 900 VA masih menjadi kewenangan pemerintah.
"Solusi ini menjaga agar dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan energi tersebut, tidak terlalu memberatkan masyarakat di samping multplier effect-nya bagi perekonomian," imbuhnya.
Adapun terkait kenaikan BBM nonsubsidi, Fraksi PKS mengakui memang menjadi kewenangan Pertamina sebagai korporasi minyak dan gas nasional. Namun, naiknya harga BBM subsidi tersebut, diyakini tentu akan sangat berpengaruh terhadap inflasi.
Apalagi dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sepanjang Desember 2016, konsumsi Pertamax dan Pertalite telah merebut sekitar 57% pansa pasar Pertamax dan Pertalite, tentu akan sangat berpengaruh terhadap Inflasi.
"Dikhawatirkan kenaikan harga BBM nonsubsidi tersebut, akan mendorong kenaikan inflasi bergejolak (volatile inflation) yang akan memukul daya beli rakyat miskin dan mendekati miskin," ucapnya.
Selanjutnya, Pemerintah selaku pemilik Pertamina, sudah selayaknya mengkaji kebijakan menaikkan harga BBM nonsubsidi ini. "Mengingat penggunaannya sudah mencapai angka 57% dari pengguna gasoline," paparnya.
Kemudian, Fraksi PKS meminta pemerintah mempertimbangkan kenaikan inflasi dan terpukulnya daya beli masyarakat, apalagi ditambah kondisi perekonomian nasional belum membaik sepanjang tahun 2016.
Adapun tentang kenaikan PNBP terkait penerbitan surat kendaraan bermotor, Fraksi PKS menilai besarnya kenaikan terlalu besar (100% hingga 275%).
Munculnya kontroversi penetapan tarif dan biaya seputar PNBP kepolisian telah menjadi masalah tersendiri dalam penentuan kewenangan dan tanggung jawab dalam menentukan PNBP Kepolisian.
Untuk itu Fraksi PKS menyarankan, sebaiknya presiden mencabut kembali PP No. 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Kemudian dievaluasi dan dilakukan revisi dalam menentukan besaran tarif dan biaya yang hendak ditetapkan," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pemerintah bisa saja menaikkan biaya jasa atau administrasi asal tidak terlalu tinggi, terutama bagi kendaraan roda dua karena banyak pemiliknya adalah masyarakat miskin, tukang ojek, dan lain-lain.
"Langkah presiden ini tentunya akan bisa membantu meringankan beban masyarakat," pungkasnya.
Ada beberapa alasan Fraksi PKS menyampaikan keberatannya itu. Pertama, mengenai kenaikan TTL, kebijakan mencabut subsidi pengguna listrik 900 VA, dianggap akan menimbulkan masalah yang besar bagi masyarakat.
Dengan kenaikan tagihan listrik sekitar Rp111.054 perbulan, diyakini sangat memberatkan masyarakat, apalagi pengguna listrik 900 VA mencapai Rp18,9 juta rumah tangga.
"Bisa dibayangkan ada sekitar 18,9 juta pelanggan yang akan menambah biaya pengeluarannya sebesar Rp111.054 per bulannya," kata Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (6/1/2017).
Kata dia, kenaikan tersebut sudah pasti akan menimbulkan angka inflasi meningkat tajam.
Dia menambahkan, barang-barang retailer akan merangkak naik menyesuaikan dengan kenaikan harga BBM dan listrik.
Kondisi tersebut, lanjut dia, akan membuat dunia usaha melakukan efisiensi dan menaikkan harga-harga produk. "Akibatnya akan terjadi pemangkasan pendapatan, sehingga daya beli masyarakat akan semakin lemah," tutur anggota Komisi I DPR ini.
Maka itu, pemerintah disarankan untuk melakukan evaluasi dan menunda kebijakan mencabut subsidi bagi pelanggan 900 VA tersebut. "Pemerintah harus mencari timing yang pas, agar tidak berbarengan dengan kebijakan menaikkan harga BBM nonsubsidi," ucapnya.
Jika kebijakan menaikkan harga BBM nonsubsidi sudah di luar kewenangan pemerintah, lanjut dia, maka kebijakan mencabut subsidi pelanggan 900 VA masih menjadi kewenangan pemerintah.
"Solusi ini menjaga agar dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan energi tersebut, tidak terlalu memberatkan masyarakat di samping multplier effect-nya bagi perekonomian," imbuhnya.
Adapun terkait kenaikan BBM nonsubsidi, Fraksi PKS mengakui memang menjadi kewenangan Pertamina sebagai korporasi minyak dan gas nasional. Namun, naiknya harga BBM subsidi tersebut, diyakini tentu akan sangat berpengaruh terhadap inflasi.
Apalagi dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sepanjang Desember 2016, konsumsi Pertamax dan Pertalite telah merebut sekitar 57% pansa pasar Pertamax dan Pertalite, tentu akan sangat berpengaruh terhadap Inflasi.
"Dikhawatirkan kenaikan harga BBM nonsubsidi tersebut, akan mendorong kenaikan inflasi bergejolak (volatile inflation) yang akan memukul daya beli rakyat miskin dan mendekati miskin," ucapnya.
Selanjutnya, Pemerintah selaku pemilik Pertamina, sudah selayaknya mengkaji kebijakan menaikkan harga BBM nonsubsidi ini. "Mengingat penggunaannya sudah mencapai angka 57% dari pengguna gasoline," paparnya.
Kemudian, Fraksi PKS meminta pemerintah mempertimbangkan kenaikan inflasi dan terpukulnya daya beli masyarakat, apalagi ditambah kondisi perekonomian nasional belum membaik sepanjang tahun 2016.
Adapun tentang kenaikan PNBP terkait penerbitan surat kendaraan bermotor, Fraksi PKS menilai besarnya kenaikan terlalu besar (100% hingga 275%).
Munculnya kontroversi penetapan tarif dan biaya seputar PNBP kepolisian telah menjadi masalah tersendiri dalam penentuan kewenangan dan tanggung jawab dalam menentukan PNBP Kepolisian.
Untuk itu Fraksi PKS menyarankan, sebaiknya presiden mencabut kembali PP No. 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Kemudian dievaluasi dan dilakukan revisi dalam menentukan besaran tarif dan biaya yang hendak ditetapkan," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pemerintah bisa saja menaikkan biaya jasa atau administrasi asal tidak terlalu tinggi, terutama bagi kendaraan roda dua karena banyak pemiliknya adalah masyarakat miskin, tukang ojek, dan lain-lain.
"Langkah presiden ini tentunya akan bisa membantu meringankan beban masyarakat," pungkasnya.
(maf)