Isak Tangis Warnai Pemakaman Prof Sarlito Wirawan
A
A
A
BOGOR - Prosesi pemakaman Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Giri Tama, Desa Tonjong, Tajurhalang, Kabupaten Bogor diwarnai isak tangis keluarga, kerabat dan sejumlah mahasiswanya, khususnya saat jenazah diturunkan ke liang lahat, Selasa (15/11/2016) siang.
Rasa terpukul atas kehilangan sosok pakar psikologi ternama di Indonesia itu terlihat di wajah Dimas Aditya yang merupakan putra bungsu almarhum baik sebelum dan sesudah jasad ayahnya dikebumikan terus meneteskan air mata. “Kepada saya tidak ada sama sekali pesan khusus apalagi tanda-tanda bapak bakal meninggal,” ujar Dimas saat ditemui di TPU Giri Tama, Desa Tonjong, Tajurhalang, Kabupaten Bogor.
Lebih lajut, ia memaparkan, sebelum menghembuskan nafas terakhir di ruang High Intensive Care Unit sempat menanyakan situasi politik terakhir. "Setelah siuman di ruang High Care Unit, bapak mulai bicara dan melontarkan pertanyaan, bagaimana keadaan politik hari ini. Itu yang saya ingat ucapan terakhir bapak," tuturnya.
Pembicaraan yang menanyakan situasi politik itu sudah lumrah, karena sejak kondisi kesehatannya menurun, selalu menanyakan permasalahan politik di Indonesia kepadanya. Bahkan, saat kondisi sedang fit juga ayahnya sangat memperhatikan masalah politik dan keamanan Indonesia.
”Saya melihat bapak sebagai sosok yang layak diteladani karena banyak dicintai orang. Yang jelas bagi kami, bapak adalah superhero idola saya dan panutan keluarga. Kami banyak melihat kelebihan beliau," tuturnya.
Tak hanya memberi perhatian terhadap persoalan politik, kata Dimas, ayahnya adalah sosok pribadi yang sangat layak diteladani dalam bersikap. Pandangannya yang sangat independen di masyarakat, tapi di lingkungan keluarga juga menerapkan prinsip-prinsip netral dan independen.
"Beliau itu sangat bisa menjaga independensi dan menyuarakan aspirasi secara independen," ujar Dimas.
Dimas membenarkan sebelum akhirnya jatuh sakit dan dirawat ayahnya diminta Bareskrim untuk menjadi saksi ahli dalam kasus dugaan penistaan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Namun takdir berkata lain, ayahnya malah meninggal dunia Senin malam 14 November 2016 di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat pada pukul 22.18 WIB.
Sarlito Wirawan Sarwono lahir di Purwokerto, 2 Februari 1944. Sarlito dikenal sebagai seorang psikolog dan penerjemah buku-buku bertemakan psikologi dan menulis buku psikologi. Sarlito pernah menjadi dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sarlito adalah guru besar Psikologi yang mendalami bidang Psikologi Sosial.
Sarlito diangkat sebagai guru besar Psikologi pada tanggal 01 April 2009. Sarlito juga pernah menjabat sebagai Ketua Program Ilmu Kepolisian UI pada periode 2007-2012.Tak hanya keluarga, rasa kehilangan juga diungkapkan kolega almarhum yang sempat menjadi mitra kerjanya.
Yahya Sacawiria, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014, mengaku mengenal Sarlito sejak bekerja sama dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial (PKS).
Politikus dari Partai Demokrat yang menjadi Ketua Pansus RUU PKS tersebut sempat meminta Sarlito memberikan pandangan dalam penanganan konflik. "Kami bekerja sama dan, menurut saya, beliau memang sangat expert bukan hanya psikologi tapi terkait konflik sosial juga pandangan dan pendapatnya mencerahkan," katanya.
Yahya mengatakan, pandangan Sarlito sangat berpengaruh dalam pembahasan undang-undang tersebut. "Beliau total kalau sudah diminta menyampaikan pandangan dalam rangka merumuskan undang-undang," jelasnya.
Hal senada diungkapkan Staf Program di Kajian Ilmu Kepolisian Program Pascasarjana, Muhammad Banyu Barlanto. Ia kagum dengan pandangan almarhum, keilmuannya sangat berbobot dan digunakan dalam undang-undang tersebut. Kelihaian Sarlito meredam konflik sosial juga disampaikan Muhammad Banyu Barlianto.
"Dia sampai terjun langsung di konflik, membicarakan masalah bukan untuk menambah masalah, melainkan mencari solusi," paparnya.
Pihaknya sangat kehilangan dan terpukul saat mendengar seorang tokoh yang keilmuannya sangat mumpuni dan lihai dalam menangani permasalahan sosial. Banyu menyebut Sarlito sebagai profesor gaul. Setiap bertemu dengan koleganya, kata Banyu, yang tebersit dalam pikiran Sarlito adalah kerja. "Orang kerja betul ini, profesor gaul. The Legend."
Banyu, yang telah bekerja untuk Sarlito sejak 1996, juga mengatakan Sarlito adalah sosok yang rendah hati. Sarlito pernah datang ke acara khitanan anaknya. "Ia mau datang. Orang yang biasanya datang ke acara kedutaan, dia mau datang ke kampung," jelasnya.
Rasa terpukul atas kehilangan sosok pakar psikologi ternama di Indonesia itu terlihat di wajah Dimas Aditya yang merupakan putra bungsu almarhum baik sebelum dan sesudah jasad ayahnya dikebumikan terus meneteskan air mata. “Kepada saya tidak ada sama sekali pesan khusus apalagi tanda-tanda bapak bakal meninggal,” ujar Dimas saat ditemui di TPU Giri Tama, Desa Tonjong, Tajurhalang, Kabupaten Bogor.
Lebih lajut, ia memaparkan, sebelum menghembuskan nafas terakhir di ruang High Intensive Care Unit sempat menanyakan situasi politik terakhir. "Setelah siuman di ruang High Care Unit, bapak mulai bicara dan melontarkan pertanyaan, bagaimana keadaan politik hari ini. Itu yang saya ingat ucapan terakhir bapak," tuturnya.
Pembicaraan yang menanyakan situasi politik itu sudah lumrah, karena sejak kondisi kesehatannya menurun, selalu menanyakan permasalahan politik di Indonesia kepadanya. Bahkan, saat kondisi sedang fit juga ayahnya sangat memperhatikan masalah politik dan keamanan Indonesia.
”Saya melihat bapak sebagai sosok yang layak diteladani karena banyak dicintai orang. Yang jelas bagi kami, bapak adalah superhero idola saya dan panutan keluarga. Kami banyak melihat kelebihan beliau," tuturnya.
Tak hanya memberi perhatian terhadap persoalan politik, kata Dimas, ayahnya adalah sosok pribadi yang sangat layak diteladani dalam bersikap. Pandangannya yang sangat independen di masyarakat, tapi di lingkungan keluarga juga menerapkan prinsip-prinsip netral dan independen.
"Beliau itu sangat bisa menjaga independensi dan menyuarakan aspirasi secara independen," ujar Dimas.
Dimas membenarkan sebelum akhirnya jatuh sakit dan dirawat ayahnya diminta Bareskrim untuk menjadi saksi ahli dalam kasus dugaan penistaan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Namun takdir berkata lain, ayahnya malah meninggal dunia Senin malam 14 November 2016 di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat pada pukul 22.18 WIB.
Sarlito Wirawan Sarwono lahir di Purwokerto, 2 Februari 1944. Sarlito dikenal sebagai seorang psikolog dan penerjemah buku-buku bertemakan psikologi dan menulis buku psikologi. Sarlito pernah menjadi dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sarlito adalah guru besar Psikologi yang mendalami bidang Psikologi Sosial.
Sarlito diangkat sebagai guru besar Psikologi pada tanggal 01 April 2009. Sarlito juga pernah menjabat sebagai Ketua Program Ilmu Kepolisian UI pada periode 2007-2012.Tak hanya keluarga, rasa kehilangan juga diungkapkan kolega almarhum yang sempat menjadi mitra kerjanya.
Yahya Sacawiria, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014, mengaku mengenal Sarlito sejak bekerja sama dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial (PKS).
Politikus dari Partai Demokrat yang menjadi Ketua Pansus RUU PKS tersebut sempat meminta Sarlito memberikan pandangan dalam penanganan konflik. "Kami bekerja sama dan, menurut saya, beliau memang sangat expert bukan hanya psikologi tapi terkait konflik sosial juga pandangan dan pendapatnya mencerahkan," katanya.
Yahya mengatakan, pandangan Sarlito sangat berpengaruh dalam pembahasan undang-undang tersebut. "Beliau total kalau sudah diminta menyampaikan pandangan dalam rangka merumuskan undang-undang," jelasnya.
Hal senada diungkapkan Staf Program di Kajian Ilmu Kepolisian Program Pascasarjana, Muhammad Banyu Barlanto. Ia kagum dengan pandangan almarhum, keilmuannya sangat berbobot dan digunakan dalam undang-undang tersebut. Kelihaian Sarlito meredam konflik sosial juga disampaikan Muhammad Banyu Barlianto.
"Dia sampai terjun langsung di konflik, membicarakan masalah bukan untuk menambah masalah, melainkan mencari solusi," paparnya.
Pihaknya sangat kehilangan dan terpukul saat mendengar seorang tokoh yang keilmuannya sangat mumpuni dan lihai dalam menangani permasalahan sosial. Banyu menyebut Sarlito sebagai profesor gaul. Setiap bertemu dengan koleganya, kata Banyu, yang tebersit dalam pikiran Sarlito adalah kerja. "Orang kerja betul ini, profesor gaul. The Legend."
Banyu, yang telah bekerja untuk Sarlito sejak 1996, juga mengatakan Sarlito adalah sosok yang rendah hati. Sarlito pernah datang ke acara khitanan anaknya. "Ia mau datang. Orang yang biasanya datang ke acara kedutaan, dia mau datang ke kampung," jelasnya.
(kri)