KPK Terus Mengusut Kasus Korupsi e-KTP
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus dugaan korupsi terkait Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Dari pengusutan KPK, nama Direktur Utama (Dirut) Biro Klasifikasi Indonesia (Persero), Rudiyanto disebut-sebut diduga terkait kasus e-KTP.
Saat itu Rudiyanto menjabat sebagai Wakil Presiden PT Sucofindo bidang strategic bisnis di unit rekayasa dan transfortasi. Pada tahun 2012-2013 Rudiyanto menjabat sebagai Direktur Komersil II di Sucofindo.
Desember Tahun 2013, Rudiyanto dipilih sebagai Dirut Biro Klasifikasi Indonesia oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, menggantikan Ibnu Wibowo terkait main golf saat jam kerja.
Rudiyanto diperiksa sebagai saksi kasus korupsi proyek e-KTP. Dalam pemeriksaan, Rudiyanto ditanya seputar proses pengadaan dan distribusi pendampingan teknis dan teknologi pengadaan.
“Kita masih pemeriksaan saksi-saksi termasuk perusahaan pemenang tender kesesuaian spesifikasi yang ada di dokumen,” Kata Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andri kepada wartawan, kemarin.
Yuyuk membenarkan ada spesifikasi yang tidak sesuai dokumen tender. Seperti teknologi kartu dan teknologi perangkat pembaca e-KTP. Dalam kontrak tender, konsorsium menjanjikan iris technologi (pemindai mata) tapi dalam pelaksanaan menggunakan finger print (sidik jari).
Sementara itu, dalam data yang dirilis Muhammad Nazaruddin, PT Sucofindo (persero) melaksanakan tugas bimbingan dan pendampingan teknis pengadaan proyek. Perusahaan itu tergabung dalam konsorsiun yang dipimpin Perum PNRI dan PT Quadra Solution
Yuyuk mengatakan tidak menutup kemungkinan dari pengembangan saksi ini bisa ada tersangka baru. “Tergantung penyidik mengumpulkan bukti-bukti dari perusahaan rekanan tender. Jika bukti lengkap siapa yang terlibat bisa saja jadi tersangka, termasuk saksi Rudiyanto dari Sucofindo,” bebernya.
Dalam kasus ini KPK sudah menetapkan pejabat pembuat komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sugiarto sebagai tersangka kassu pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan elektronik tahun anggaran 2011-2012. Dalam kasus ini negara dirugikan Rp1,2 triliun.
Saat itu Rudiyanto menjabat sebagai Wakil Presiden PT Sucofindo bidang strategic bisnis di unit rekayasa dan transfortasi. Pada tahun 2012-2013 Rudiyanto menjabat sebagai Direktur Komersil II di Sucofindo.
Desember Tahun 2013, Rudiyanto dipilih sebagai Dirut Biro Klasifikasi Indonesia oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, menggantikan Ibnu Wibowo terkait main golf saat jam kerja.
Rudiyanto diperiksa sebagai saksi kasus korupsi proyek e-KTP. Dalam pemeriksaan, Rudiyanto ditanya seputar proses pengadaan dan distribusi pendampingan teknis dan teknologi pengadaan.
“Kita masih pemeriksaan saksi-saksi termasuk perusahaan pemenang tender kesesuaian spesifikasi yang ada di dokumen,” Kata Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andri kepada wartawan, kemarin.
Yuyuk membenarkan ada spesifikasi yang tidak sesuai dokumen tender. Seperti teknologi kartu dan teknologi perangkat pembaca e-KTP. Dalam kontrak tender, konsorsium menjanjikan iris technologi (pemindai mata) tapi dalam pelaksanaan menggunakan finger print (sidik jari).
Sementara itu, dalam data yang dirilis Muhammad Nazaruddin, PT Sucofindo (persero) melaksanakan tugas bimbingan dan pendampingan teknis pengadaan proyek. Perusahaan itu tergabung dalam konsorsiun yang dipimpin Perum PNRI dan PT Quadra Solution
Yuyuk mengatakan tidak menutup kemungkinan dari pengembangan saksi ini bisa ada tersangka baru. “Tergantung penyidik mengumpulkan bukti-bukti dari perusahaan rekanan tender. Jika bukti lengkap siapa yang terlibat bisa saja jadi tersangka, termasuk saksi Rudiyanto dari Sucofindo,” bebernya.
Dalam kasus ini KPK sudah menetapkan pejabat pembuat komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sugiarto sebagai tersangka kassu pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan elektronik tahun anggaran 2011-2012. Dalam kasus ini negara dirugikan Rp1,2 triliun.
(maf)