Berbagai Permasalahan Bidang Kesehatan di Dua Tahun Jokowi-JK

Senin, 24 Oktober 2016 - 11:41 WIB
Berbagai Permasalahan Bidang Kesehatan di Dua Tahun Jokowi-JK
Berbagai Permasalahan Bidang Kesehatan di Dua Tahun Jokowi-JK
A A A
JAKARTA - Sejumlah masalah di bidang kesehatan selama dua tahun Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) masih terjadi.‎ Pertama, persoalan yang muncul dalam pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga masih mencuat di lapangan.

"Seperti pasien peserta BPJS ditolak Rumah Sakit," ujar ‎Anggota Komisi IX DPR RI‎ Okky Asokawati‎ di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (24/10/2016).

Menurut dia, hal itu karena paket INA CBGs atau sistem pembayaran dengan sistem paket, berdasarkan penyakit yang diderita yang dinilai tidak menguntungkan pihak rumah sakit. Oleh karenanya, pemerintah semestinya melakukan terobosan, misalnya dengan memberi insentif pajak bagi rumah sakit yang menjadi mitra BPJS.

Kemudian, ‎Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dinilai masih memiliki banyak tunggakan aturan turunan pelaksana undang-undang (UU) berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang belum dituntaskan. Seperti PP yang terkait turunan UU Kesehatan Jiwa, PP terkait UU Rumah Sakit tentang RS yang menolak pasien, PP tentang Dokter Layanan Prima (DLP) sebagaimana amanat UU Pendidikan Kedokteran (Dikdok).

Okky melanjutkan, sejumlah utang regulasi dari pemerintah tersebut pada akhirnya mengakibatkan kerja di sektor kesehatan pemerintahan Jokowi tidak maksimal. "Semestinya presiden dapat mengontrol para pembantunya untuk bergerak cepat dalam kerja legislasi," papar ‎Sekretaris Dewan Pakar DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

Selain itu, Kemenkes sampai saat ini dianggap belum memiliki kebijakan yang sifatnya terobosan. "Justru yang menonjol dari Kementerian Kesehatan ini hanya meneruskan kebijakan yang lama," imbuhnya.

Dia berpendapat, semestinya dengan alokasi anggaran yang meningkat, terdapat kebijakan terobosan yang memiliki daya ubah yang nyata. "Seperti, mengapa tidak Presiden menerbitkan Dokter Inpres untuk menempatkan dokter/tenaga kesehatan di luar Jawa atau daerah terdepan," katanya.

Karena faktanya masih ada disparitas dokter atau tenaga kesehatan antara Jawa dan luar Jawa. "Karena dalam kenyataannya program Nusantara Sehat yang digulirkan pemerintah sepi peminat," ucapnya.

Di samping itu,‎ dia berpandangan, Kemenkes harus mendorong adanya research and development (penelitian dan pengembangan) dengan melibatkan universitas dan perusahaan swasta terkait dengan pemberdayaan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan produksi obat-obatan.

Sebab, hingga saat ini, di sektor tersebut belum digarap dan belum mendapat perhatian serius. Akan tetapi dia mengapresiasi, ‎alokasi anggaran kesehatan di era Pemerintahan Jokowi telah memenuhi amanat UU yakni melebihi angka 5% dari APBN atau mengalami kenaikan sebesar 182% dari anggaran sebelumnya.

Namun dia menyayangkan, besaran anggaran kesehatan tidak berbanding lurus dengan capaian di bidang kesehatan. Seperti masih banyaknya jumlah angka anak pendek karena kekurangan gizi (stunting) yang mencapai 30%, padahal merujuk WHO angka ideal di bawah 20%.

Di samping itu, masih tingginya laju pertumbuhan penduduk, mestinya jika tahun 2030 Indonesia akan memaksimalkan bonus demografi maka syarat utama penduduknya harus sehat, jika tidak sehat justru akan menjadi beban. "Oleh karena itu, masalah-masalah tersebut harus segera diselesaikan," kata dia.

Lalu, demonstrasi yang digelar kalangan dokter pada hari ini terkait dengan protes kebijakan Dokter Layanan Prima (DLP) yang dikeluarkan Kemenkes baiknya dicari jalan keluar yang berorientasi win-win solution. Kebijakan DLP ini berisi agar dokter menempuh pendidikan tambahan selama dua tahun yang bertujuan agar dokter di Puskesmas memiliki kualitas yang setara dengan dokter spesialis.

Saat di Komisi IX, Kemenkes mengatakan program ini sifatnya opsional alias tidak wajib. "Namun saat kami kunjungan kerja spesifik di Yogyakarta, informasi dari pihak BPJS Kesehatan menyebutkan pemerintah hanya akan membayar kapitasi kepada RS yang memiliki DLP yang berarti wajib," katanya.

Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini PP atas UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran terkait dengan DLP belum selesai dibahas bersama stakeholder seperti Kemenkes, Kemenristekdikti serta Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dirinya mengusulkan sebaiknya dicari jalan tengah di masa transisi ini dengan memasukkan kurikulum DLP ke perkuliahan program sarjana kedokteran sembari menunggu penyiapan perangkat regulasi dan infrastruktur lainnya.

"Jika semua dirasa sudah siap, maka kebijakan tersebut dapat secara penuh dilaksnaakan di lapangan," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7373 seconds (0.1#10.140)