Koalisi Gemuk Jokowi-JK dan Angan-angan Kabinet Ramping
A
A
A
KEPEMIMPINAN Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) genap berusia dua tahun pada 30 Oktober 2016. Dalam kurun waktu itu, banyak persoalan yang dihadapi keduanya bersama para pembantunya dalam Kabinet Kerja.
Perjalanan Pemerintah Jokowi-JK tentu tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik Tanah Air. Pada tahun pertama, dinamika politik lebih didominasi konflik dua kubu partai politik (parpol) di DPR.
Konflik tersebut imbas dari pertarungan sengit dua kubu kekuatan politik pada saat Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Berbeda dari tahun pertama, pertarungan politik di gedung wakil rakyat mereda pada tahun kedua.
Situasi tersebut buah dari merapatnya sejumlah parpol yang sebelumnya berseberangan dengan kubu Jokowi-JK,menjadi parpol pendukung pemerintah.
Adapun parpol yang banting setir masuk ke barisan pendukung pemerintah, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketiga partai itu akhirnya memiliki sikap yang sama dengan PDIP, Nasdem, Hanura yang sejak pilpres lalu menjadi pengusung Jokowi-JK.
Berbeda dengan PAN, merapatnya Golkar dan PPP ke Jokowi-JK tidak berjalan begitu saja. Keduanya harus melewati masa-masa "gontok-gontokan" akibat dualisme kepemimpinan yang akhirnya membawa Golkar dan PPP menjadi partai pendukung penguasa.
Apalagi sebelum memutuskan untuk menjadi pendukung pemerintah, Golkar diguncang oleh kasus dugaan pencatutan nama baik Presiden terkait isu perpanjangan kontrak Freeport yang akhirnya membuat Setya Novanto mundur dari kursi Ketua DPR.
Pasca hiruk-pikuk kasus tersebut, Setya justru berhasil meraih kursi Ketua Umum Partai Golkar yang kemudian membawa partai berlambang pohon beringin itu ke pangkuan Jokowi-JK.
Konstelasi politik berubah. Tidak ada lagi polarisasi kekuatan politik yang jelas seperti saat pilpres lalu. Tidak ada lagi koalisi pendukung Prabowo Suboanto yang menamakan diri Koalisi Merah Putih (KMP) dan barisan pendukung Jokowi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Adapun dari sembilan parpol yang mendapatkan kursi di DPR, tinggal Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Demokrat yang tidak tergiur untuk merapat ke pemerintah. Ketiganya tetap dengan pendiriannya berada di luar pemerintahan.
Dengan memiliki dukungan banyak parpol, bukan perkara sulit bagi Jokowi-JK untuk mengendalikan kekuatan politik di parlemen dalam upaya mendapatkan persetujuan terkait kebijakan pemerintah.
Apalagi kursi ketua DPR diduduki kader Golkar, partai yang belakangan ini getol melekatkan dirinya dengan sosok Jokowi. (Baca juga: Rapimnas Golkar Resmi Dukung Jokowi untuk Pilpres 2019)
Berbeda dengan tahun pertama Jokowi-JK, sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan persetujuan DPR saat mengeluarkan kebijakan. Bisa dipahami, saat itu DPR masih dikuasai oleh parpol yang saat pilpres pendukung Prabowo Subianto.
Alhasil saat itu kegaduhan politik pun terjadi di ruang-ruang gedung wakil rakyat karena protes ketidakpuasan parpol pendukung Jokowi-JK.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai bergabungnya sejumlah parpol ke pemerintah membuat suasana politik tidak gaduh.
Kendati demikian, Zuhro tidak lantas menilai situasi itu sebagai sesuatu yang baik dalam demokrasi dan jalannya pemerintahan. "Itu tidak bagus karena legislatif dan eksekutif tidak saling menguatkan. Kecenderungannya bisa eksekutif lebih kuat, karena legislatifnya sedang tidak kuat," tutur Zuhro saat berbincang dengan Sindonews, 27 September 2016.
Melihat komposisi koalisi yang dibangun Jokowi-JK saat ini, sepertinya tidak jauh berbeda dengan koalisi gemuknya Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Padahal saat masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi-JK pernah menegaskan keenggenannya untuk membentuk koalisi gemuk.
Keduanya lebih memilih didukung oleh koalisi ramping agar tidak membebani jalannya pemerintahan. Kalaupun ada parpol ingin mendukungnya, Jokowi mempersilakan. Syaratntya, koalisi harus didasari atas keikhlasan atau koalisi tanpa syarat.
Namun koalisi tanpa syarat sepertinya tidak tercermin sejak pembentukan Kabinet Kerja pada 27 Oktober 2014. Tak berbeda dengan komposisi kabinet SBY, Kabinet Kerja Jokowi-JK tetap berjumlah 34 kementerian. Setiap parpol pendukung pun mendapatkan jatah kursi menteri.
Reshuffle Kabinet Kerja jilid dua pada 27 Juli 2016 semakin menunjukkan fakta lain dari keinginan Jokowi-JK saat pilpres. Jokowi memberikan kursi menteri kepada PAN dan Golkar, kedua partai yang pada pilpres lalu menjadi pendukung Prabowo.
Jokowi menunjuk kader PAN Asman Abnur menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Untuk Golkar, Jokowi memberikan kursi Menteri Perdagangan kepada Erlangga Hartarto. Sementara PPP sudah lebih dahulu mendapatkan jatah kursi Menteri Agama yang diduduki Lukman Hakim Saifuddin.
Sulit dipungkiri hasil resuffle kabinet dinilai membuktikan realitas politik kompromi yang dilakukan Jokowi terhadap kekuatan politik di sekitarnya. "Tak mudah mengendalikan kapal besar republik ini dengan konfigurasi kekuatan politik penyokong kekuasaan yang beragam," kata Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto. (Baca: Kabinet Kompromi Jokowi)
Melalui fakta di atas menunjukkan sukar bagi Jokowi untuk mewujudkan keinginannya membentuk kabinet ramping, atau kabinet yang tidak membebani. "Saya ingat betul ada dua mantra politik yang disampaikan Pak Jokowi, pertama koalisi ramping, itu telah gugur saat ini," kata pengamat politik dari Pol Tracking Institute, Hanta Yudha, 21 Mei 2016. (Baca juga: Pengamat Ini Sindir Janji Kampanye Jokowi di Pilpres 2016)
Bisa dipahami apabila Jokowi membutuhkan banyak dukungan parpol. Dengan dukungan banyak kekuatan politik, pemerintahah berjalan stabil dan rogram pembangunan dapat berjalan lancar tanpa menghadapi risiko dijegal di parlemen.
Kendati demikian ibarat perahu yang diisi banyak penumpang, tidak menjamin koalisi akan terus berjalan stabil, apalagi saat mendekati Pemilu 2019. Karena, pada hakikanya parpol adalah organisasi yang memiliki cita-cita untuk mendapatkan kekuasaan.
Setiap parpol tentu tidak akan melewatkan begitu Pilpres 2019. Pertanyaannya adalah apakah mereka akan tetap berjuang untuk Jokowi seiring menjelang pemilu nanti? "Mereka mesti belajar dari Setgab ala SBY," ujar pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar, April lalu. (Baca: Koalisi Pro Jokowi Harus Belajar dari Setgab SBY)
Setgab adalah koalisi parpol pada era SBY yang dimotori oleh Demokrat sebagai rulling party. Kendati demikian ada perbedaan antara SBY dan Jokowi. Sebagai pimpinan partai, SBY memiliki peran besar mengendalikan koalisi. Lalu bagaimanakah dengan Jokowi yang kerap diingatkan sebagai "petugas partai" oleh Megawati Soekarnoputri,
Sekadar mengingatkan, koalisi gemuk SBY pun mengalami perpecahan. Setidaknya hal itu terlihat ketika gonjang-ganjing kasus pengucuran dana talangan (bailout) Bank Century. PKS dan Golkar yang saat itu menjadi anggota koalisi justru berhadap-hadapan dengan Demokrat dan SBY.
Pertanyaannya, apakah saat ini parpol anggota koalisi Jokowi-JK akan benar-benar ikhlas memberikan dukungan kepada keduanya hingga akhir masa pemerintahan? Untuk menjawabnya, kita lihat saja dinamika politik pada tahun-tahun berikutnya.
Perjalanan Pemerintah Jokowi-JK tentu tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik Tanah Air. Pada tahun pertama, dinamika politik lebih didominasi konflik dua kubu partai politik (parpol) di DPR.
Konflik tersebut imbas dari pertarungan sengit dua kubu kekuatan politik pada saat Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Berbeda dari tahun pertama, pertarungan politik di gedung wakil rakyat mereda pada tahun kedua.
Situasi tersebut buah dari merapatnya sejumlah parpol yang sebelumnya berseberangan dengan kubu Jokowi-JK,menjadi parpol pendukung pemerintah.
Adapun parpol yang banting setir masuk ke barisan pendukung pemerintah, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketiga partai itu akhirnya memiliki sikap yang sama dengan PDIP, Nasdem, Hanura yang sejak pilpres lalu menjadi pengusung Jokowi-JK.
Berbeda dengan PAN, merapatnya Golkar dan PPP ke Jokowi-JK tidak berjalan begitu saja. Keduanya harus melewati masa-masa "gontok-gontokan" akibat dualisme kepemimpinan yang akhirnya membawa Golkar dan PPP menjadi partai pendukung penguasa.
Apalagi sebelum memutuskan untuk menjadi pendukung pemerintah, Golkar diguncang oleh kasus dugaan pencatutan nama baik Presiden terkait isu perpanjangan kontrak Freeport yang akhirnya membuat Setya Novanto mundur dari kursi Ketua DPR.
Pasca hiruk-pikuk kasus tersebut, Setya justru berhasil meraih kursi Ketua Umum Partai Golkar yang kemudian membawa partai berlambang pohon beringin itu ke pangkuan Jokowi-JK.
Konstelasi politik berubah. Tidak ada lagi polarisasi kekuatan politik yang jelas seperti saat pilpres lalu. Tidak ada lagi koalisi pendukung Prabowo Suboanto yang menamakan diri Koalisi Merah Putih (KMP) dan barisan pendukung Jokowi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Adapun dari sembilan parpol yang mendapatkan kursi di DPR, tinggal Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Demokrat yang tidak tergiur untuk merapat ke pemerintah. Ketiganya tetap dengan pendiriannya berada di luar pemerintahan.
Dengan memiliki dukungan banyak parpol, bukan perkara sulit bagi Jokowi-JK untuk mengendalikan kekuatan politik di parlemen dalam upaya mendapatkan persetujuan terkait kebijakan pemerintah.
Apalagi kursi ketua DPR diduduki kader Golkar, partai yang belakangan ini getol melekatkan dirinya dengan sosok Jokowi. (Baca juga: Rapimnas Golkar Resmi Dukung Jokowi untuk Pilpres 2019)
Berbeda dengan tahun pertama Jokowi-JK, sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan persetujuan DPR saat mengeluarkan kebijakan. Bisa dipahami, saat itu DPR masih dikuasai oleh parpol yang saat pilpres pendukung Prabowo Subianto.
Alhasil saat itu kegaduhan politik pun terjadi di ruang-ruang gedung wakil rakyat karena protes ketidakpuasan parpol pendukung Jokowi-JK.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai bergabungnya sejumlah parpol ke pemerintah membuat suasana politik tidak gaduh.
Kendati demikian, Zuhro tidak lantas menilai situasi itu sebagai sesuatu yang baik dalam demokrasi dan jalannya pemerintahan. "Itu tidak bagus karena legislatif dan eksekutif tidak saling menguatkan. Kecenderungannya bisa eksekutif lebih kuat, karena legislatifnya sedang tidak kuat," tutur Zuhro saat berbincang dengan Sindonews, 27 September 2016.
Melihat komposisi koalisi yang dibangun Jokowi-JK saat ini, sepertinya tidak jauh berbeda dengan koalisi gemuknya Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Padahal saat masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi-JK pernah menegaskan keenggenannya untuk membentuk koalisi gemuk.
Keduanya lebih memilih didukung oleh koalisi ramping agar tidak membebani jalannya pemerintahan. Kalaupun ada parpol ingin mendukungnya, Jokowi mempersilakan. Syaratntya, koalisi harus didasari atas keikhlasan atau koalisi tanpa syarat.
Namun koalisi tanpa syarat sepertinya tidak tercermin sejak pembentukan Kabinet Kerja pada 27 Oktober 2014. Tak berbeda dengan komposisi kabinet SBY, Kabinet Kerja Jokowi-JK tetap berjumlah 34 kementerian. Setiap parpol pendukung pun mendapatkan jatah kursi menteri.
Reshuffle Kabinet Kerja jilid dua pada 27 Juli 2016 semakin menunjukkan fakta lain dari keinginan Jokowi-JK saat pilpres. Jokowi memberikan kursi menteri kepada PAN dan Golkar, kedua partai yang pada pilpres lalu menjadi pendukung Prabowo.
Jokowi menunjuk kader PAN Asman Abnur menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Untuk Golkar, Jokowi memberikan kursi Menteri Perdagangan kepada Erlangga Hartarto. Sementara PPP sudah lebih dahulu mendapatkan jatah kursi Menteri Agama yang diduduki Lukman Hakim Saifuddin.
Sulit dipungkiri hasil resuffle kabinet dinilai membuktikan realitas politik kompromi yang dilakukan Jokowi terhadap kekuatan politik di sekitarnya. "Tak mudah mengendalikan kapal besar republik ini dengan konfigurasi kekuatan politik penyokong kekuasaan yang beragam," kata Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto. (Baca: Kabinet Kompromi Jokowi)
Melalui fakta di atas menunjukkan sukar bagi Jokowi untuk mewujudkan keinginannya membentuk kabinet ramping, atau kabinet yang tidak membebani. "Saya ingat betul ada dua mantra politik yang disampaikan Pak Jokowi, pertama koalisi ramping, itu telah gugur saat ini," kata pengamat politik dari Pol Tracking Institute, Hanta Yudha, 21 Mei 2016. (Baca juga: Pengamat Ini Sindir Janji Kampanye Jokowi di Pilpres 2016)
Bisa dipahami apabila Jokowi membutuhkan banyak dukungan parpol. Dengan dukungan banyak kekuatan politik, pemerintahah berjalan stabil dan rogram pembangunan dapat berjalan lancar tanpa menghadapi risiko dijegal di parlemen.
Kendati demikian ibarat perahu yang diisi banyak penumpang, tidak menjamin koalisi akan terus berjalan stabil, apalagi saat mendekati Pemilu 2019. Karena, pada hakikanya parpol adalah organisasi yang memiliki cita-cita untuk mendapatkan kekuasaan.
Setiap parpol tentu tidak akan melewatkan begitu Pilpres 2019. Pertanyaannya adalah apakah mereka akan tetap berjuang untuk Jokowi seiring menjelang pemilu nanti? "Mereka mesti belajar dari Setgab ala SBY," ujar pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar, April lalu. (Baca: Koalisi Pro Jokowi Harus Belajar dari Setgab SBY)
Setgab adalah koalisi parpol pada era SBY yang dimotori oleh Demokrat sebagai rulling party. Kendati demikian ada perbedaan antara SBY dan Jokowi. Sebagai pimpinan partai, SBY memiliki peran besar mengendalikan koalisi. Lalu bagaimanakah dengan Jokowi yang kerap diingatkan sebagai "petugas partai" oleh Megawati Soekarnoputri,
Sekadar mengingatkan, koalisi gemuk SBY pun mengalami perpecahan. Setidaknya hal itu terlihat ketika gonjang-ganjing kasus pengucuran dana talangan (bailout) Bank Century. PKS dan Golkar yang saat itu menjadi anggota koalisi justru berhadap-hadapan dengan Demokrat dan SBY.
Pertanyaannya, apakah saat ini parpol anggota koalisi Jokowi-JK akan benar-benar ikhlas memberikan dukungan kepada keduanya hingga akhir masa pemerintahan? Untuk menjawabnya, kita lihat saja dinamika politik pada tahun-tahun berikutnya.
(dam)