KPK Jadi Sorotan di Dua Tahun Jokowi-JK

Rabu, 19 Oktober 2016 - 07:27 WIB
KPK Jadi Sorotan di...
KPK Jadi Sorotan di Dua Tahun Jokowi-JK
A A A
JAKARTA - Banyak dinamika yang terjadi di bidang hukum dalam periode dua tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

Dinamika itu terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang begitu banyak menangani kasus-kasus besar, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus bailout Bank Century.

Serta sejumlah fenomena kasus dan polemik hukum lainnya di dua tahun Pemerintahan Jokowi-JK ini. Berikut beberapa pandangan dari pengamat hukum Universitas Trisakti (Usakti) Yenty Ganarsih, dalam wawancara eksklusif bersama Sindonews.

Bagaimana KPK di bawah pimpinan Agus Rahardjo?

KPK sekarang hanya banyak OTT (Operasi Tangkap Tangan). Dan OTT itu tidak sulit karena menggunakan perangkat canggih yang tidak dimiliki jaksa dan polisi.

Anggaran mereka (KPK) juga jauh lebih besar dari polisi. Saya juga telah mendorong begaimana pengusutan kasus lama dan kinerja KPK ke depan. Dulu saat di pansel, mereka jawab bisa. Saya harap KPK sekarang tidak hanya OTT saja.

Saya akui OTT penting untuk mengantisipasi korupsi-korupsi di depan mata. Terhadap polisi sekalipun, saya juga berharap proses penyelidikan dimatangkan.

KPK punya program pencegahan, biasanya bertujuan untuk benahi sistem (good governance). Seharusnya di sana yang didalami, jangan-jangan ada kebocoran. Bukan tiba-tiba tangkap.

Lalu apa yang harus dilakukan KPK?

Ke depan KPK harus mencari kebocoran-kebocoran yang sudah terjadi. Itu baru hebat. Misal di sektor migas (minyak dan gas), KPK harus mencari bukti. Dari sistem-sistem tersebut dilihat mana yang bocor.

Soal kasus lama, dulu janjinya Century akan digarap, BLBI belum selesai, sekarang e-KTP (Kartu Tanda Penduduk elektronik) harus segera.

Saya berharap KPK disibukkan dengan penyelesaian kasus-kasus tersebut, bukan menyiapkan OTT selanjutnya. Yang dramatis. Sementara masyarakat belakangan juga tidak terlalu senang.

Bagaimana dari segi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)?

Saat pansel (panitia seleksi) dulu, jawaban soal TPPU tidak terlalu memuaskan. Hampir semua penegak hukum kurang memuaskan bicara soal pencucian uang. KPK juga belum memuaskan.

Membaca suatu kejahatan keuangan kalau sudah dinikmati atau sempat dialihkan, itu seharusnya didekati juga dengan pencucian uang.

Apalagi KPK. Kecuali tersangka yang tertangkap tangan dan baru pertamakali. Saya lihat kan tidak pertama kali. Rata-rata sudah pernah menerima sebelumnya. Berarti ini sudah ada TPPU.

Bagaimana pandangan tentang hukuman berat koruptor?

Kalau posisi saya, memidana koruptor seberat-beratnya. Sekarang berkembang wacana kenapa memperpanjang hukuman koruptor? Kalau saya, hukuman harus setimpal dengan perbuatan yang dilakukan.

Jangan dibandingkan pemberian hukuman pidana dengan negara lain. Untuk iklim Indonesia, saya masih berpandangan koruptor diberi hukuman seberat-beratnya, biar kapok.

Jika TPPU didekatkan dengan Undang-undang (UU) Korupsi, itu akan berdampak pada dua hal. Pertama, semua hasil kejahatan korupsi akan bisa diambil.

Kedua, diterapkannya UU TPPU pada pelaku korupsi, menjadikan putusan selalu lebih berat. Hakim tidak bisa main-main di situ.

Kalau diterapkan UU korupsi saja, selama ini kebanyakan hanya dikenakan hukuman dua tahun. Kalau yang ada TPPU nya, tak ada yang di bawah tuju tahun.

Itu yang harus diterapkan. Nanti dihukum dua tahun kepotong remisi. Terus di penjara di sel bersama teman-teman sesama koruptor, itu tidak menjerakan.

Menjerakan itu adalah dengan merampas semua harta hasil korupsi dan dihukum penjara yang lama. Poinnya adalah menjerakan secara general, artinya dengan dipenjaranya si A maka orang-orang yang berpotensi melakukan korupsi menjadi takut.

Kenapa TPPU begitu disoroti?

Memang ada dialektika para pakar yang menganggap tidak adil memenjarakan seseorang untuk menakuti orang lain. Tapi untuk iklim indonesia saat ini saya kira cocok. Kita harus berpikir bagaimana merampas harta koruptor dengan menerapkan TPPU.

Saya melihat penerapan TPPU oleh KPK ini jarang. Saya juga melihat KPK sejak zaman Abraham Samad tebang pilih dalam menerapkan TPPU.

Misal, kasus Nunun Nurbaeti langsung dikenakan, sementara Anggelina Sondakh tidak. Kemudian PKS kasus sapi, pakai TPPU, apa dong ukurannya? Sementara KPK selalu bilang kami akan fokus mendalami korupsinya.

Kalau menurut saya, kalau mau fokus dalami korupsi ya harus pakai TPPU. TPPU untuk membongkar kejahatan awal.

Saya juga ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa ada kasus korupsi yang didekati dengan TPPU cukup berhasil dilakukan oleh Polri.

Kasus PT Askrindo, korupsi hampir Rp500 miliar. Pelakunya 13 orang. Saat itu saya ahlinya, dan sering bolak-balik ke pengadilan.

Semuanya dapat hukuman tujuh tahun, semua pejabat. Ini polisi sebelum Pak Badrodin Haiti. 13 orang ini kena pasal korupsi dan pencucian uang. Kalau polisi mampu menerapkan TPPU kita perlu juga jadikan role model.

Selama saya menjadi ahli di polisi dan kejaksaan, dua institusi ini sering menggunakan pendekatan TPPU. Ini juga harus disampaikan ke masyarakat.

Jangan kita terbuai seakan-akan KPK saja. Mudah-mudahan dengan contoh seperti ini KPK jadi lebih berani. Saya juga meminta Pak Tito untuk mempelajari kasus TPPU PT Askrindo itu bisa menjadi role model pengusutan korupsi dan pencucian uang.

Menurut saya polisi jauh lebih maju dalam menerapkan TPPU dibanding KPK. Misal kasus penggelapan, kasus Hercules, Labora Sitorus. Saya ingin mendorong seluruh penegak hukum ini bisa sinergi, karena tidak semua kasus korupsi bisa ditangani KPK. KPK terbatas pada UU.

Penegakan hukum lainnya bukan hanya korupsi?

Pak Jokowi juga harus diingatkan bahwa penegakan hukum bukan hanya soal korupsi saja. Masih ada soal narkoba. Narkotika juga masih sangat jarang memakai TPPU.

Sampai ada kasusnya Freddy Budiman kemarin itu. Sudah sangat terlambat. Untuk kejahatan narkoba, kalau tidak dipakai TPPU akan semakin parah.

Karena justru TPPU ini lahir dari konvensi antinarkotika dan psikotropika tahun 1988, yaitu untuk merampas harta hasil kejahatan narkotika dan psikotropika.

Dengan pemikiran pelaku narkotika tidak akan takut dengan penjara. Mereka akan takut jika harta kekayaannya dirampas, mereka tidak bisa mengendalikan dari dalam penjara.

Kalau ada kasus pengendalian peredaran narkoba dari dalam penjara karena itu tidak diterapkan TPPUnya. Baru masuk korupsi pada tahun 1990, karena dianggap untuk narkotika sangat berhasil, apa salahnya diterapkan untuk kejahatan selain narkotika.

Pencucian uang ini harus dikedepankan untuk kejahatan ekonomi. Pak jokowi kan sudah mengeluarkan 13 paket kebijakan ekonomi, harus ada juga paket combating kejahatan ekonomi dengan penerapan TPPU. Penegak hukum harus bergegas menerapkan TPPU jika serius ingin memerangi kejahatan keuangan
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1356 seconds (0.1#10.140)