Tiga Penyidik Ditjen Pajak Divonis Lima Tahun Penjara

Senin, 17 Oktober 2016 - 15:30 WIB
Tiga Penyidik Ditjen...
Tiga Penyidik Ditjen Pajak Divonis Lima Tahun Penjara
A A A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis pidana penjara lima tahun kepada tiga terdakwa penyidik Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Ketiga terdakwa tersebut yakni, Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho dan Slamet Riyana selaku pemeriksa pajak pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kebayoran Baru. Ketiganya juga sudah diberhentikan dengan tidak hormat sejak Agustus 2014 oleh Menkeu.

Majelis hakim yang diketuai Faisal Hendri memastikan, Herry, Indarto dan Slamet telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tipikor dalam delik pemerasan dalam jabatan.

Pemerasan yang dilakukan Herry, Indarto dan Slamet berupa menguntungkan diri sendiri dengan mendapatkan uang sebesar Rp75 juta secara paksa dari Ratu Febriana Erawati selaku Direktur Sales dan Marketing PT Electronic Design and Manufacturing Internasional (EDMI) Indonesia.

"Menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan hukuman penjara masing-masing lima tahun pidana dan denda sebesar Rp200 juta, apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan," kata hakim Faisal saat membacakan amar putusan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (17/10/2016).

Para terdakwa terbukti melanggar Pasal 21 huruf e Undang-undang (UU) Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-(1) KUHPidana.

Hakim Faisal menyebutkan, Herry sebagai Ketua Kelompok Pemeriksa, Indarto selaku Ketua Tim Pemeriksaan dan Slamet selaku anggota Tim Pemeriksaan mulai melakukan perbuatan setelah surat perintah pemeriksaan terhadap PT EDMI Indonesia diterbitkan Kepala KPP Kebayoran Baru Tiga pada 2013.

Pasalnya, PT EDMI Indonesia mengajukan permohonan restitusi PPN dan PPH sekitar Rp3 miliar. Desember 2013, Herry menelepon Andriyanto selaku Wakil Presiden Direktur merangkap Kepala Divinis Keuangan PT EDMI Indonesia untuk menemui tiga terdakwa di sebuah restoran.

"Kemudian terdakwa Herry meminta uang capek sebesar 15 persen dari total restitusi atau sekitar Rp450 juta," beber hakim Faisal.

Singkat cerita, Andriyanto menyampaikan dan melaporkan permintaan tersebut ke Febriana. Tapi Febriana menolak. Selama beberapa bulan di 2014, Herry kembali menagih 'uang capek' ke Andriyanto yang dijawab belum ada keputusan.

Rupanya, Herry bersama Indarto dan Slamet akhirnya menurunkan uang capek menjadi 5 persen dari total restitusi atau Rp150 juta. Setelah melalui desakan dari tiga terdakwa, akhir PT EDMI Indonesia mengucurkan Rp75 juta.

"Ratu Febriana tidak bersedia atas permintaan uang capek. Namun Terdakwa Herry tetap memaksa Febriana dan mengancam PT EDMI tidak akan bertahan lama di Indonesia dan pengurusan pajak-pajak berikutnya akan dipersulit apabila tidak memenuhi permintaan para terdakwa," tandasnya.

Dalam menjatuhkan amar putusan, majelis mempertimbangkan ihwal meringankan dan memberatkan. Pertimbangan memberatkan yakni, tiga terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang giat-giatnya melakukan upaya perlawanan terhadap korupsi.

Yang meringankan, para terdakwa berlaku sopan, menghormati lembaga peradilan, berterus terang, mengaku bersalah, menyesal dan berjanji tidak mengulangi perbuatan, masih mudah sehingga diharapkan dapat memperbaiki diri, belum pernah dihukum dan belum menikmati hasil kejahatannya.

Atas putusan tersebut, Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho, dan Slamet Riyana mengaku menerima putusan dan tidak akan banding. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipimpin Mohamad Nur Azis dan Afni Carolina mengaku masih pikir-pikir.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1194 seconds (0.1#10.140)