KPK Diminta Hormati Gugatan Praperadilan Nur Alam
A
A
A
JAKARTA - Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam telah mengajukan gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Nur Alam mempraperadilan KPK karena keberatan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian izin usaha pertambangan. (Baca juga: Gubernur Sultra Praperadilankan KPK)
Menyikapi pengajuan gugatan praperadilan Nur Alam, pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai sebaiknya KPK menghentikan sementara proses pemeriksaan saksi.
“Karena Nur Alam mengajukan gugatan praperadilan, saya kira lebih bijak KPK menghentikan sementara pemeriksaan saksi, sambil menunggu hasil atau putusan praperadilan itu,” ujar Margarito kepada wartawan, Selasa (27/9/2016).
Menurut dia, dalam proses penegakan hukum, KPK harus menghormati upaya hukum yang ditempuh Nur Alam, yakni gugatan praperadilan yang didaftarkan pada 16 September lalu.
Seperti diberitakan, pada Selasa ini KPK memanggil lima orang saksi untuk dimintai keterangan. Mereka yakni, Widdi Aswindi, Edy Janto, Mochamad Junus, Hasmir, keempatnya pekerja swasta dan Ridho Insan PNS Sekda Provinsi Sultra. (Baca juga: KPK Periksa Lima Saksi Usut Gubernur Sultra)
Nur Alam telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP) di Provinsi Sultra tahun 2009-2014 pada 23 Agustus 2016 lalu. Nur Alam diduga menerima suap dari SK izin tambang yang dia terbitkan.
Sejumlah SK yang diterbitkan oleh Nur Alam ini dalam kurun 2009-2014, di antaranya SK Persetujuan Percadangan Nilai pertambangan, persetujuan IUP, eksplorasi, dan SK persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi usaha pertambangan operasi produksi.
Sebelumnya, Margarito menyatakan kepada media, sejauh tidak ada bukti suap dalam penerbitan SK Izin Usaha Pertambangan yang bermasalah maka tidak ada sanksi pidana.
Menurut dia, penerbitan IUP yang tidak sesuai fakta, salah menunjuk lokasi ataupun bertentangan dengan UU, maka sanksinya hanya administrasi, bukan pidana.
Adapun kebijakan itu dapat dikoreksi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan KPK. “Hal ini bisa berubah menjadi pidana, jika ada atau ditemukan bukti suap,” ujar Margarito.
Nur Alam mempraperadilan KPK karena keberatan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian izin usaha pertambangan. (Baca juga: Gubernur Sultra Praperadilankan KPK)
Menyikapi pengajuan gugatan praperadilan Nur Alam, pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai sebaiknya KPK menghentikan sementara proses pemeriksaan saksi.
“Karena Nur Alam mengajukan gugatan praperadilan, saya kira lebih bijak KPK menghentikan sementara pemeriksaan saksi, sambil menunggu hasil atau putusan praperadilan itu,” ujar Margarito kepada wartawan, Selasa (27/9/2016).
Menurut dia, dalam proses penegakan hukum, KPK harus menghormati upaya hukum yang ditempuh Nur Alam, yakni gugatan praperadilan yang didaftarkan pada 16 September lalu.
Seperti diberitakan, pada Selasa ini KPK memanggil lima orang saksi untuk dimintai keterangan. Mereka yakni, Widdi Aswindi, Edy Janto, Mochamad Junus, Hasmir, keempatnya pekerja swasta dan Ridho Insan PNS Sekda Provinsi Sultra. (Baca juga: KPK Periksa Lima Saksi Usut Gubernur Sultra)
Nur Alam telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP) di Provinsi Sultra tahun 2009-2014 pada 23 Agustus 2016 lalu. Nur Alam diduga menerima suap dari SK izin tambang yang dia terbitkan.
Sejumlah SK yang diterbitkan oleh Nur Alam ini dalam kurun 2009-2014, di antaranya SK Persetujuan Percadangan Nilai pertambangan, persetujuan IUP, eksplorasi, dan SK persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi usaha pertambangan operasi produksi.
Sebelumnya, Margarito menyatakan kepada media, sejauh tidak ada bukti suap dalam penerbitan SK Izin Usaha Pertambangan yang bermasalah maka tidak ada sanksi pidana.
Menurut dia, penerbitan IUP yang tidak sesuai fakta, salah menunjuk lokasi ataupun bertentangan dengan UU, maka sanksinya hanya administrasi, bukan pidana.
Adapun kebijakan itu dapat dikoreksi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan KPK. “Hal ini bisa berubah menjadi pidana, jika ada atau ditemukan bukti suap,” ujar Margarito.
(dam)