Gubernur Sultra Nur Alam Praperadilankan KPK

Sabtu, 17 September 2016 - 06:09 WIB
Gubernur Sultra Nur Alam Praperadilankan KPK
Gubernur Sultra Nur Alam Praperadilankan KPK
A A A
JAKARTA - Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam resmi mengajukan gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Nur Alam merupakan tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan penerbitan Surat Keputusan (SK) Nomor 828 tentang ‎Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan seluas 3.024 hektararea (ha), SK Nomor 815 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi seluas 3.084, dan SK Nomor 435 tentang Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB)‎ seluas 3.084 ha di Kabupaten Buton dan Bombana 2008-2014.‎‎ ‎Izin PT AHB diduga diakuisi PT Billy Indonesia.‎

Maqdir Ismail selaku Ketua Tim Kuasa Hukum Nur Alam mengatakan, kemarin tim kuasa hukum atas nama Nur Alam secara resmi telah mendaftarkan permohonan praperadilan di PN Jakesl terkait langkah KPK menetapkan Nur Alam karena diduga melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"Perkara ini terdaftar dengan nomor: 127/Pid.Prap/2016 PN.Jkt.Sel," kata Maqdir kepada SINDO melalui siaran pers, Jumat 16 September 2016 malam.

Ada beberapa alasan pihaknya mengajukan gugatan praperadilan. Pertama, tutur Maqdir, berkenaan dengan penerbitam IUP yang dipersangkakan oleh KPK sebenarnya pernah digugat oleh PT Prima Nusa Sentosa (PNS) di Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam putusannya Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa penerbitan IUP tersebut sesuai dengan kewenangan dan prosedur dalam penerbitan IUP.

"Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 37 huruf b Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, adalah menjadi kewenangan gubernur untuk penerbitan izinnya," ujarnya.

Maqdir melanjutkan, kedua, dalam penetapan Nur Alam sebagai tersangka belum ada penghitungsan kerugian keuangan sebagai elemen pokok dugaan pebuatan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006.

Dia membeberkan dalam perkara ini saat Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 15 Agustus 2016 atau saat keluarnya. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) tertanggal 15 Agustus 2016, tidak ada perhitungan kerugian keuangan negara yang jumlahnya nyata dan pasti serta dilakukan oleh ahli yang berwenang menurut UU. "Yakni BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," tuturnya.

Alasan ketiga, sesuai dengan UU Nomor 30/2002 tentang KPK tertuang bahwa KPK tidak diperkenankan melakukan penyelidikan ketika ada lembaga lain sedang melakukan penyelidikan atas obyek yang sama. Maqdir mengungkapkan, dalam MoU antara KPK dengan Kejagung dan Polri.

Terutama terkait dengan ketentuan Pasal 6, 7, dan 8 UU KPK, di mana diantaranya MoU menyatakan pada pokoknya, “dalam hal para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan para pihak”.

Maqdir menjelaskan, Kejagung sedang melakukan penyelidikan berdasarkan Surat perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-04/F.2/Fd.1/01/2013 tanggal 15 Januari 2013. Surat dengan yang diterbitkan oleh Kejagung No.R-391/F.2/Fd.1/08/2015 tertanggal 24 Agustus 2015 yang ditujukan kepada Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Keuangan (PPATK).

Surat ke Kepala PPATK itu pada pokoknya menyatakan bahwa, sehubungan dengan surat dari S-604/1.03.1/PPATK/12/12/SR tanggal 12 Desember 2012 Perihal: Hasil Analisis Transaksi keuangan Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi atas nama Nur Alam dan berdasarkan hasil penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama Nur Alam ternyata sampai saat ini belum ditemukan alat bukti yang cukup untuk dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan.

"Artinya sampai dengan tanggal tanggal 23 Agustus 2015 Kejaksaan Agung masih melakukan penyelidikan," tutur Maqdir.

Tapi, lanjut dia, ternyata berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan No Sprin.Lidik-26/01/04/2015 tanggal 06 April 2015 (sesuai konsiderans Surat Permintaan Keterangan No. R-299/22/03/2016 tanggal 10 Maret 2016 yang diterbitkan KPK), KPK melakukan penyelidikan perkara yang sama dengan perkara yang sedang diselidiki oleh Kejagung berdasarkan surat perintah penyelidikan tanggal 15 Januari 2013.

"Sehingga terjadi duplikasi penyelidikan. Ini adalah pelanggaran terhadap UU KPK dan MoU KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penyelidik KPK," imbuhnya.

Alasan keempat, berdasarkan SPK 10 Maret 2016 ditandatangani oleh Herry Mulyanto selaku Direktur Penyelidikan KPK tertuang bahwa KPK mengundang atau meminta Nur Alam agar hadir (incasu bukan memanggil) di Kantor KPK di Jakarta pada Rabu, 15 Maret 2016 untuk bertemu dengan Harun Al-Rasyid.

Kedua orang penyelidik tersebut bukan berasal dari instansi kepolisian yang diberhentikan sementara dari instansi kepolisian untuk menjadi penyelidik KPK. "Sebagaimana ditentukan oleh undang-undang KPK," jelasnya.

Maqdir memaparkan, oleh karena Nur Alam belum sempat memberi keterangan, maka berdasarkan Surat Permintaan Keterangan No.R-828/22/03/2016 yang ditandatangani oleh Herry Mulyanto (SPK 01 Juli 2016) dalam butir 2 paragraf ketiga mencantumkan keterangan bahwa "surat ini adalah Surat Terakhir yang disampaikan KPK kepada Saudara terkait perihal yang sama. Apabila Saudara tidak dapat menghadiri kembali,kami akan melanjutkan proses penyelidikan tanpa keterangan/klarifikasi dari saudara”.

Bagi pihaknya, kata Maqdir, surat tersebut merupakan ancaman yang dimaksudkan sebagai upaya paksa yang dilakukan oleh Penyelidik dalam tingkat penyelidikan. "Ini adalah pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh penyelidik KPK. Buktinya kurang dari sebulan kemudian, tepatnya tanggal 15 Agustus 2016, KPK benar-benar mengakhiri proses penyelidikan tanpa ada keterangan dari Nur Alam," ungkapnya.

Bahkan proses perkara dilanjutkan ke tingkat Penyidikan dengan mengeluarkan sprindik 15 Agustus 2016. Seketika itu pula, tutur dia, KPK langsung menetapkan Nur Alam menjadi tersangka. Cara penegakan hukum seperti ini, menurut Maqdir, bukanlah contoh penegakan hukum yang baik.

"Ini adalah bentuk penegakan hukum dengan melanggar hukum, sebab penetapan tersangka ini mengabaikan Putusan MK 21/2014, karena tidak melakukan pemerikasaan terlebih dahulu terhadap calon tersangka," tegasnya.

Alasan terakhir, Maqdir menyodorkan keberadaan Novel Baswedan dalam proses penyidikan yang memimpin pemeriksaan saksi-saksi di Kota Kendari Sulawesi Tenggara pada 24 Agustus 2016. Menurut dia, sesungguhnya Novel telah diberhentikan dan/atau berhenti tetap dari instansi kepolisian sesuai dengan Keputusan Kapolri Nomor: Kep/946/XI/2014 tanggal 25 November 2014 tentang Pemberhentian Dengan Hormat dari Dinas Polri atas nama Novel.

"Sehingga tidak bisa menjadi penyidik KPK, sesuai UU KPK," tandasnya.

Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menanggapi santai atas gugatan praperadilan yang dilakukan Nur Alam. Menurut Agus, KPK sudah sering dipraperadilankan. Karenanya KPK siap saja. Syarif juga demikian. Menurut Syarif, KPK telah melakukan semua proses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

"Oleh karena itu, KPK selalu siap untuk dipraperadilankan oleh tersangka," kata Syarif kepada SINDO Jumat 16 September 2016 malam.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5549 seconds (0.1#10.140)