Pemerintah Harus Perjelas Eksekutor Hukuman Kebiri
A
A
A
JAKARTA - Penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi eksekutor hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual telah menjadi perbincangan publik.
Menyikapi penolakan tersebut, pemerintah diminta untuk memperjelas pihak yang menjadi pelaksana atau eksekutor hukuman kebiri melalui Peraturan Pemerintah (PP). (Baca juga: Jokowi Teken Perppu Kebiri dan Hukuman Mati Pelaku Kejahatan Seksual)
Anggota Komisi IX DPR Ahmad Zainuddin menilai penolakan IDI menjadi pelaksana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 terkait hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak patut dihormati, meski juga sangat disayangkan.
Menurut dia, perppu menyebutkan pelaksanaan hukuman berada di bawah pengawasan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
Oleh karena itu, kata dia, pelaksana hukuman kebiri sebenarnya tidak hanya tertuju kepada IDI. "Dalam perppu itu kan juga disebutkan tata cara pelaksanaan tindakan hukuman diatur dalam Peraturan Pemerintah. Jadi perjelas saja siapa eksekutornya dalam PP itu. Pelaksana hukuman ini kan perintah undang-undang nantinya," ujar Zainuddin melalui siaran persnya kepada Sindonews, Selasa (14/6/2016).
Menurut Zainuddin, jangan sampai sikap IDI yang menolak menjadi ekskutor hukuman kebiri menjadi kebuntuan bagi pelaksanaan perppu.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini mendorong Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan untuk segera melakukan pertemuan dan membahas persoalan tersebut.
"Bu Mensos dan Bu Menkes harus bertemu. Kalau perlu dengan Polri juga. Harus ada terobosan karena hukuman kebiri juga tidak boleh sembarangan. Kalau tidak bisa dipulihkan, ini bahaya. Terutama bagi yang taubat. Di PP harus diatur lebih jelas," tuturnya.
Zainuddin memaklumi, semangat perppu yang diteken Presiden Joko Widodo karena adanya kegentingan situasi di masyarakat terkait keselamatan seksual anak. Namun pada sisi lain, dokter yang diharapkan dengan kewenangannya dapat menjadi pelaksana perppu tersebut terbentur kode etik kedokteran.
"Perppu seharusnya juga perlu mengatur lebih tegas hal-hal yang mengakibatkan munculnya pelecehan seksual, seperti miras, narkoba dan pornografi," ucap Zainuddin.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
Menyikapi penolakan tersebut, pemerintah diminta untuk memperjelas pihak yang menjadi pelaksana atau eksekutor hukuman kebiri melalui Peraturan Pemerintah (PP). (Baca juga: Jokowi Teken Perppu Kebiri dan Hukuman Mati Pelaku Kejahatan Seksual)
Anggota Komisi IX DPR Ahmad Zainuddin menilai penolakan IDI menjadi pelaksana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 terkait hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak patut dihormati, meski juga sangat disayangkan.
Menurut dia, perppu menyebutkan pelaksanaan hukuman berada di bawah pengawasan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
Oleh karena itu, kata dia, pelaksana hukuman kebiri sebenarnya tidak hanya tertuju kepada IDI. "Dalam perppu itu kan juga disebutkan tata cara pelaksanaan tindakan hukuman diatur dalam Peraturan Pemerintah. Jadi perjelas saja siapa eksekutornya dalam PP itu. Pelaksana hukuman ini kan perintah undang-undang nantinya," ujar Zainuddin melalui siaran persnya kepada Sindonews, Selasa (14/6/2016).
Menurut Zainuddin, jangan sampai sikap IDI yang menolak menjadi ekskutor hukuman kebiri menjadi kebuntuan bagi pelaksanaan perppu.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini mendorong Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan untuk segera melakukan pertemuan dan membahas persoalan tersebut.
"Bu Mensos dan Bu Menkes harus bertemu. Kalau perlu dengan Polri juga. Harus ada terobosan karena hukuman kebiri juga tidak boleh sembarangan. Kalau tidak bisa dipulihkan, ini bahaya. Terutama bagi yang taubat. Di PP harus diatur lebih jelas," tuturnya.
Zainuddin memaklumi, semangat perppu yang diteken Presiden Joko Widodo karena adanya kegentingan situasi di masyarakat terkait keselamatan seksual anak. Namun pada sisi lain, dokter yang diharapkan dengan kewenangannya dapat menjadi pelaksana perppu tersebut terbentur kode etik kedokteran.
"Perppu seharusnya juga perlu mengatur lebih tegas hal-hal yang mengakibatkan munculnya pelecehan seksual, seperti miras, narkoba dan pornografi," ucap Zainuddin.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
(dam)