Pemerintah Diyakini Mampu Bebaskan WNI dari Kelompok Abu Sayyaf
A
A
A
JAKARTA - Respons pemerintah dalam menyikapi kasus penyanderaan 10 warga negara Indonesia (WNI) oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina diapresiasi.
Anggota Komisi I DPR Ahmad Zainuddin optimistis pemerintah mampu membebaskan sandera dari kelompok Abu Sayyaf dengan selamat.
"Saya melihat koordinasi Kementerian Luar Negeri, TNI dan BIN juga Polri sudah baik. Dengan pengalaman dan strategi yang baik, saya yakin TNI bisa mengatasinya dan membebaskan 10 WNI yang disandera. Dahulu TNI sukses bebaskan WNI di Somalia," tutur Zainuddin di Jakarta, Rabu (30/3/2016) melalui siaran persnya kepada Sindonews.
Dia yakin TNI memiliki strategi efektif, baik persuasif maupun ofensif yang bisa digunakan dalam operasi pembebasan ini.
Kendati demikian politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menilai selain pentingnya operasi pembebasan WNI dari Abu Sayyaf, ada dua hal yang patut menjadi perhatian utama pemerintah di masa mendatang.
Pertama, kata dia, penyanderaan ini merupakan efek dari tidak terselesaikannya masalah regional di Filipina Selatan, yaitu separatisme dan terorisme. Dua isu nontradisional ini menjadi pekerjaan rumah ASEAN yang harus diselesaikan.
"Jangan sampai Laut Sulu jadi seperti tanduk Afrika yang rawan pembajakan oleh milisi Somalia. Negara-negara ASEAN sepertinya harus me-review code of conduct dan ASEAN Way. Ini masih dalam wilayah ASEAN lho. ASEAN sudah men-declare komitmen Masyarakat Keamanan ASEAN sebagai pilar ASEAN Community. Mengapa ini bisa terjadi? Siapa yang jamin kasus ini tidak berulang di masa depan jika masalah Filipina Selatan tidak selesai," tuturnya.
Kedua, menurut Zainuddin, penguatan sistem keamanan maritim (maritime security system) Indonesia sudah menjadi keharusan yang harus segera diwujudkan.
Langkah itu dinilainya penting karena sebagian besar wilayah laut di Asia Tenggara berada dalam wilayah kedaulatan dan pengawasan otoritas pemerintah Indonesia.
Menurut dia, pembajakan dan penyanderaan kapal Indonesia dapat terhindar jika pertahanan keamanan di perbatasan laut serta sistem keamanan maritim terbangun baik.
"Keamanan laut Asia Tenggara cukup bergantung kepada sistem keamanan maritim Indonesia karena kita yang terbesar di regional," tutur Zainudin.
Kelompok Abu Sayyaf membajak kapal Bramha 12 dan Anand 12 di perairan Languyan, Filipina pada Sabtu 26 Maret 2016. Dalam peristiwa tersebut, kelompok itu menyandera 10 WNI dan meminta tebusan sebesar 50 juta peso atau setara Rp15 miliar.
Anggota Komisi I DPR Ahmad Zainuddin optimistis pemerintah mampu membebaskan sandera dari kelompok Abu Sayyaf dengan selamat.
"Saya melihat koordinasi Kementerian Luar Negeri, TNI dan BIN juga Polri sudah baik. Dengan pengalaman dan strategi yang baik, saya yakin TNI bisa mengatasinya dan membebaskan 10 WNI yang disandera. Dahulu TNI sukses bebaskan WNI di Somalia," tutur Zainuddin di Jakarta, Rabu (30/3/2016) melalui siaran persnya kepada Sindonews.
Dia yakin TNI memiliki strategi efektif, baik persuasif maupun ofensif yang bisa digunakan dalam operasi pembebasan ini.
Kendati demikian politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menilai selain pentingnya operasi pembebasan WNI dari Abu Sayyaf, ada dua hal yang patut menjadi perhatian utama pemerintah di masa mendatang.
Pertama, kata dia, penyanderaan ini merupakan efek dari tidak terselesaikannya masalah regional di Filipina Selatan, yaitu separatisme dan terorisme. Dua isu nontradisional ini menjadi pekerjaan rumah ASEAN yang harus diselesaikan.
"Jangan sampai Laut Sulu jadi seperti tanduk Afrika yang rawan pembajakan oleh milisi Somalia. Negara-negara ASEAN sepertinya harus me-review code of conduct dan ASEAN Way. Ini masih dalam wilayah ASEAN lho. ASEAN sudah men-declare komitmen Masyarakat Keamanan ASEAN sebagai pilar ASEAN Community. Mengapa ini bisa terjadi? Siapa yang jamin kasus ini tidak berulang di masa depan jika masalah Filipina Selatan tidak selesai," tuturnya.
Kedua, menurut Zainuddin, penguatan sistem keamanan maritim (maritime security system) Indonesia sudah menjadi keharusan yang harus segera diwujudkan.
Langkah itu dinilainya penting karena sebagian besar wilayah laut di Asia Tenggara berada dalam wilayah kedaulatan dan pengawasan otoritas pemerintah Indonesia.
Menurut dia, pembajakan dan penyanderaan kapal Indonesia dapat terhindar jika pertahanan keamanan di perbatasan laut serta sistem keamanan maritim terbangun baik.
"Keamanan laut Asia Tenggara cukup bergantung kepada sistem keamanan maritim Indonesia karena kita yang terbesar di regional," tutur Zainudin.
Kelompok Abu Sayyaf membajak kapal Bramha 12 dan Anand 12 di perairan Languyan, Filipina pada Sabtu 26 Maret 2016. Dalam peristiwa tersebut, kelompok itu menyandera 10 WNI dan meminta tebusan sebesar 50 juta peso atau setara Rp15 miliar.
(dam)