Membumikan Politik Luar Negeri yang Mentereng
A
A
A
Setahun di bawah kepemimpinan Menlu Retno LP Marsudi, Kementerian Luar Negeri mengalami pergeseran menarik dalam membumikan isu-isu yang selama ini terlihat utopis (ivory tower).Setiap isu yang dahulu diperlakukan high politics–;seperti ekonomi dan perlindungan WNI/TKI, kini berhasil dibuat lebih populis. Tidak hanya dalam metode penanganan, tetapi juga mobilisasi public relations yang relatif lebih efektif dibandingkan Menlu Natalegawa. Terakhir, Menlu Retno menggelar ”The Hassan Wirayuda Award” sebagai penganugerahan tertinggi Pejambon kepada para penggiat perlindungan WNI/TKI dari berbagai spektrum.Salah satu persoalan klasik yang dihadapi Pejambon adalah image yang telanjur diproyeksikan sebagai ”high flying institution”. Sejak kelahirannya dua hari setelah kemerdekaan Indonesia, Pejambon banyak berkutat dalam isu-isu mentereng. Mulai dari masalah dekolonisasi, kemerdekaan, perlucutan senjata (disarmament), konflik militer (conflict resolution), HAM, kerja sama regional dan internasional, hingga liberalisasi perdagangan.Warna mentereng isu-isu itu terefleksikan dari buzz, blitz, maupun coverage media yang selalu hadir dalam setiap peristiwa diplomatik di gedung-gedung pemerintahan atau konvensi. Membumikan politik luar negeri menjadi homework tersendiri yang secara konstan terus dieksplorasi Pejambon pascakepemimpinan Ali Alatas.Para Menlu setelah Alatas seperti Alwi Shihab, Hassan Wirayuda, Marty Natalegawa, dan Retno L P Marsudi menghadapi tantangan sistemik dalam struktur, anggaran, dan policy discourse yang secara spesifik terkait strategi mendekatkan imaji mentereng diplomasi dengan realitas kehidupan riil masyarakat awam. Kesulitan membahasakan warna mentereng diplomasi ke dalam kehidupan riil masyarakat relatif baru dapat dipecahkan dengan konsepsi politik luar negeri dalam Nawacita.Dalam konsep tersebut, esensi kebijakan diplomasi yang dikedepankan harus mampu menghasilkan wujud kepentingan nasional yang bersifat nyata (tangible) bagi kesejahteraan dan kemajuan rakyat Indonesia. Ini yang harus dikawal bersama hingga beberapa tahun ke depan untuk mendekatkan retorika dan ekspektasi agar match dengan realitas di lapangan.Tak dapat dimungkiri bahwa beneficiary terbesar dari setiap keputusan politik luar negeri yang diambil Pejambon adalah kepentingan riil publik kita. Meneropong makna integrasi komunitas ASEAN misalnya, konteks kebutuhan riilnya tidak hanya pada photo-op sidangsidang reguler ASEAN. Tetapi, bagaimana setiap keputusan dalam ranah integrasi ekonomi ASEAN mengamankan sisi mobilitas ataupun akselerasi pekerja, manufaktur dan manufaktur Indonesia untuk leluasa merambah pasar negara-negara ASEAN lainnya.Di situ leverage akan berbicara banyak selain kebutuhan untuk bersikap akomodatif terhadap kepentingan bersama yang berbeda-beda. Sebagai negara yang memiliki market size terbesar di ASEAN, Indonesia mesti menyikapi trade liberalization di kawasan sebagai pertaruhan. Bagaimanapun memagari kepentingan pekerja atau bisnis domestik jauh lebih penting daripada sekadar memburu simbol acceptance masyarakat internasional terhadap Indonesia.Menyeimbangkan dua tuntutan ini adalah esensi utama aplikasi art of diplomacy. Isu-isu besar yang selama ini digandrungi Pejambon pada tataran high politics mulai bergeser kepada masalah-masalah ekonomi riil seperti produk ekspor, memastikan kepentingan perburuhan, perikanan, pertanian, pangan, atau energi tidak terkebiri oleh regulasi yang membatasi akses dan standing kita.Beberapa diksi kebijakan yang merefleksikan pergeseran tersebut seperti down-to-earth diplomacy, rakyat sebagai konstituen, diplomasi dengan tangible result, dan sebagainya menjadi referensi Menlu Retno L P Marsudi. Para pendahulu Retno seperti Hassan Wirayuda sebenarnya pernah mencoba menginternalisasi referensi itu ke dalam instrumen diplomasi dengan mengoptimalkan fungsi perwakilan RI.Hanya, langkah tersebut belum diimbangi dengan dukungan anggaran yang adequate untuk menopang sebuah ambisi besar; membumikan politik luar negeri Indonesia. Persoalan yang dihadapi Pejambon saat ini dari sisi anggaran tidak banyak berubah. Fakta minimalis anggaran Kementerian Luar Negeri penting mendapat perhatian jika bertekad ingin membumikan politik luar negeri kita.Dampak ketimpangan alokasi anggaran yang secara khusus disiapkan untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan diplomasi ekonomi sangat terasa dalam lima tahun terakhir ini. Terlepas dari tantangan membumikan politik luar negeri, satu hal yang juga perlu disadari publik adalah gerak mesin diplomasi Indonesia memang tidak mudah dinominalkan karena varian capital gain-nya juga sangat beragam dan tidak hanya bersifat ekonomis, melainkan politis, sosial, budaya, dan sebagainya.Apalagi, hasil dari sebuah diplomasi seringkali baru dapat dipetik hasilnya dalam rentang waktu cukup panjang. Kita memahami bahwa di tengah keterbatasan itu setiap langkah politik luar negeri yang diputuskan mesti menjamin tidak tercederainya karakter maupun makna kedaulatan serta memberikan benefit lebih besar dan nyata kepada rakyat sebagai konstituen utama.Muhammad TakdirAnalis Skenario Kebijakan, Tinggal di Jenewa, Swiss
(bhr)