Tantangan Peternak Rakyat Menghadapi MEA
A
A
A
Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah tinggal menghitung hari, tepatnya 31 Desember 2015.Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bertujuan untuk mengintegrasikan perekonomian Asia Tenggara yang beragam, dengan potensi pasar 630 juta orang dan produk domestik bruto gabungan USD2,4 triliun dan nilai perdagangan ASEAN yang mencapai USD1,5 triliun per tahun. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terdiri atas empat pilar yakni menciptakan pasar tunggal dan basis produksi, meningkatkan daya saing, meningkatkan pembangunan ekonomi yang adil, dan lebih mengintegrasikan ASEAN ke dalam ekonomi global.Untuk mensinergikan pasar di kawasan ini dan hub produksi ini akan memerlukan aliran bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil. Lebih dari 70% dari produk yang dibuat di ASEAN tidak akan dikenakan tarif, alias nol tarif. Ini membuat pergerakan bebas barang dan jasa yang diperkirakan dapat menurunkan harga bahan baku dan biaya produksi mencapai 10-20%.Dalam menghadapi terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ada banyak hal yang harus dikerjakan untuk mempersiapkan diri menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN ini. Termasuk di dalamnya adalah akankah kerangka kerja ama regional itu menggusur industri perunggasan ayam nasional, khususnya industri perunggasan rakyat.*** Harus kita akui ancaman terbesar sektor perunggasan datang dari sektor unggas Malaysia yang tumbuh sangat pesat dan mampu mencapai skala ekonomi. Usaha budi daya ternak dijalankan dengan prinsip efisiensi tinggi. Selain itu, kaidah halal baik pada produk segar dan olahan menjadi syarat menjalankan usaha peternakan unggas.Selain itu, pesatnya produksi unggas ayam Malaysia itu didukung oleh tingkat konsumsi masyarakatnya. Untuk daging dan telur, konsumsinya masing- masing mencapai 36 kilogram (kg) dan 19,44 kg /kapita/ tahun atau lebih dari 350 butir. Indonesia saat ini sudah swasembada daging unggas dengan kontribusi daging unggas mencapai 67% dari produksi daging nasional. Namun, konsumsi nasional akan daging ayam saat ini sebesar 8 kg per kapita per hari.Sementara produksi daging ayam dapat mencukupi hingga 15 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan konsumsi ayam di negara ASEAN bisa mencapai 12 kg per kapita per tahun hingga 15 per kapita per tahun. Produksi day old chick (DOC) dalam negeri mencapai 50 juta ekor per minggu. Sementara konsumsi nasional mencapai 41 juta ekspor per minggu. Begitu juga dengan produksi telur ayam yang konsumsinya per tahun baru mencapai 80 butir per kapita sampai 90 butir setahun.Padahal, idealnya, konsumsi telur ayam setahun mencapai 1 juta butir per kapita hingga 2 juta. Produksi telur ayam mencapai 2,4 juta butir per tahun. Ada beberapa faktor mengapa perunggasan Malaysia lebih efisien dari Indonesia. Pertama, ongkos distribusi yang dikeluarkan peternak tiga hingga lima kali lebih mahal. Biaya logistik pelabuhan kita lebih mahal se-ASEAN.Kedua, bunga kredit yang diberikan hanya 2-3%, bandingkan peternak yang menjadi debitur harus dikenakan bunga hingga 14-16%. Selain itu, peternak rakyat juga menghadapi kendala persaingan dalam negeri dengan peternak besar. Hal ini terjadi karena perusahaan besar yang selama ini main di sektor hulu ikut ramai-ramai masuk ke budi daya. Mereka masuk sebagai peternak terintegrasi dan dengan modal besar mereka mampu menjual berapa pun harga jual unggas.Peternak besar terintegrasi, selain memiliki usaha di hilir dalam bentuk budi daya unggas, juga memproduksi DOC dan pakan. Sementara peternak mandiri dan kemitraan mengambil bibit dan pakan dari mereka. Akibatnya, peternak unggas mandiri dan kemitraan ini kalah efisien dengan peternak terintegrasi. Artinya, persaingan harga seringkali memukul peternak rakyat atau peternak mandiri karena tidak mampu bersaing dengan peternak besar.Masalah harga jual unggas yang tidak sebanding dengan biaya pokok produksi per kg ayam pedaging. Biaya pokok produksi paling banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga pakan dan ayam usia sehari (day old chick/DOC). Selain itu, masalah harga pakan juga bisa menekan peternak rakyat.*** Petani unggas perlu perlindungan karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi juga sangat signifikan. Dari sisi ekonomi, perunggasan telah menyerap 2,5 juta tenaga kerja langsung dengan total omzet berkisar Rp120 triliun per tahun. Di samping itu juga memberikan kontribusi terhadap lapangan kerja di pedesaan karena dengan ada usaha peternakan unggas dapat menghambat laju urbanisasi ke kota.Di samping itu, perunggasan juga merupakan faktor penggerak industri terkait lainnya di bidang pertanian antara lain usaha budi daya jagung, usaha dedak padi, dan sebagainya. Hal ini membuktikan perlu dilakukannya upaya pengawasan dan perlindungan terhadap komoditas unggas yang dilakukan oleh rakyat atau petani kecil. Untuk mengatasi masalah petani unggas ini, salah satu bagian yang perlu memperoleh perhatian memadai adalah: Pertama, rata-rata peternak unggas di Indonesia adalah peternak dengan skala kecil yakni beternak tidak lebih dari 5.000 ekor unggas per peternak.Dengan kondisi tersebut, sesungguhnya masih kurang ekonomis karena tingkat keuntungan yang diraih hanya cukup memutar usaha dan biaya hidup. Dukungan pembiayaan dari pemerintah atau perbankan untuk petani unggas juga kecil. Petani unggas juga tidak mampu menyerap tingkat kredit perbankan kita yang masih tinggi sekitar 13%.Hal ini menyebabkan petani unggas tidak mampu berkembang dalam skala yang lebih ekonomis. Kondisi berbeda bisa dilihat dari peternak negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang memiliki rata-rata sepuluh kali lipat dari petani unggas kita yaitu mencapai sekitar 50.000 ekor unggas per peternak. Permasalahannya adalah peternak unggas kita jumlahnya banyak, namun dengan skala usaha yang tidak terlalu besar sehingga total jumlah unggas yang diternakkan tetap besar.Kedua, ancaman lain yang perlu disoroti adalah lemahnya fasilitas dalam penjagaan kualitas unggas, fasilitas yang kurang baik dari awal pemeliharaan, penjagaan kesehatan dan kualitas, hingga fasilitas penyembelihan unggas masih sederhana dan belum menjadi fokus peternak unggas. Dengan begitu, menyebabkan rentan munculnya penyakit dan gangguan kesehatan bagi ternaknya.Ketiga, bahan baku pakan unggas masih bergantung 70% berasal dari luar negeri. Artinya, secara tidak langsung komoditas unggas nasional juga masih dipengaruhi oleh pasar luar negeri. Industri unggas nasional masih sangat tergantung dengan industri lainnya terutama pertanian. Pasalnya, pembuatan pakan ternak unggas, terutama jagung, sangat tergantung dengan ketersediaan pasokan impor dan bukan dari petani dalam negeri.Keempat, daya dukung pasar terutama dalam negeri yang menjadi penentu berjalannya komoditas unggas ini. Negara tetangga kita seperti Malaysia konsumsi daging unggas sudah tinggi. Permintaan yang rendah perlu untuk diubah agar permintaan dan kebutuhan masyarakat meningkat. Masalahnya, jika peternak kita kalah bersaing dengan peternak luar negeri seperti Malaysia dan Thailand, potensi peningkatan konsumsi masa mendatang itu justru dimanfaatkan oleh petani unggas negara lain yang lebih bersaing.Pemerintah perlu turun tangan menyelamatkan nasib peternak rakyat dalam menghadapi MEA. Pada satu sisi untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pada sisi lain upaya menyediakan daging ayam/unggas sebagai sumber protein yang disediakan melalui produksi dalam negeri.Aunur RofiqPraktisi Bisnis/ Dewan Pembina Himpunan Alumni IPB
(bhr)