Ini Transkrip Setya Novanto Bicara Soal Jokowi
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPR Setya Novanto mengaku sempat bericara dengan Presiden Joko Widodo soal PT Freeport. Hasil pembicaraan tersebut kemudian diceritakannya kepada Dirut PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha M Riza Chalid.
Hal tersebut seperti terungkap dalam rekaman percakapan yang diserahkan Menteri ESDM ke MKD. Dalam persidangan etik kasus Setya Novanto yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (2/12/2015), rekaman tersebut diperdengarkan.
Dalam rekaman itu, suara yang diduga Setya Novanto menyebutkan Presiden Jokowi memintanya berbicara dengan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan soal PT Freeport. Tak hanya itu, Novanto juga mengaku pernah bertemu dengan Menteri ESDM Sudirman Said dan berbicara soal perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
Berikut adalah petikan percakapan antara yang diduga SN (Setya Novanto) yang berbicara dengan diduga MS (Maroef Sjamsoeddin) dan MR (Muhammad Riza Chalid):
SN: Saya itu Pak, sudah ketemu presiden, waktu sampai ada 5 pimpinan negara lainnya. Ada ketua MA, ketua KY, ketua MK. Saya bilang 'Pak, Bapak ke Papua'. 'Iya' kata presiden. Padahal di sana enggak ada yang jemput. DPRD-nya, bupatinya, gubernurnya. Kesel juga. Soal PSSI macam-macam.
Saya bilang 'Bikin itu saja istana di Papua'. 'Setuju Pak', kata presiden. 'Masak ada Tampak Siring, Bogor, masak di sana tidak ada. Saya sudah lihat di sana ada tanah kosong, depannya laut. Jadi secara politis ke depan pasti ke sana'.
Semua manggut-manggut. Lagi seneng dia.
Freeport itu saya sudah ketemu Jim Bob, Dirutnya, saya minta dipertimbangkan. Waktu itu dengan menteri itu, soal perpanjangan itu kan DPR minta untuk duduk. Sedangkan sekarang kan ada tiga hal, kemarin menteri ESDM menemui saya di Surabaya, khusus bicara ini. Beliau (Menteri ESDM) bicara tiga hal.
Satu, penerimaan minta ditingkatkan. Kedua adalah privatisasi, permintaan itu 30 juta untuk 51%. Mana mungkin saya bilang gitu. Ketiga adalah pembangunan smelter.
'Oh oke Pak Ketua. Kalau berhenti itu soal penerimaan saya enggak sependapat Pak Ketua. Karena kita itu paling hanya nerima 7-8 triliun lah. Tapi kita keluarkan dananya untuk di Papua, Otsus itu, kita 35 T. Ndak imbang'.
'Tapi kan itu udah dibantu CSR'.
'Iya tapi tidak cukup Pak Ketua. Kita besar sekali'.
Kedua kalau smelter. Kalau di sana bangun smelter di sana lebih banyak rawa. Jadi khawatirnya waktu. Kalau lihat gitu saya lihat di Gresik ada smelter kecil yang tinggal diterusin. Terus di sana juga ada pabrik semen juga untuk pupuk. Yang penting kan pakai dana sendiri, tidak melalui dana perbankan kita.
'Kita harus paksa supaya cepat-cepat dibangun'.
'Ya kalau gitu'.
'Habis itu baru Timika, Pak Ketua'.
'Yang mana duluan Pak'.
Dia diam saja.
'Yang ketiga, soal apa Pak Ketua'.
'Soal penyerahan soal sahamnya itu, kan sudah 30% diminta 51%'.
'Itu tidak mungkin Pak. Ini kan sudah berbagi dengan daerah yang 250 ribu Ha itu, susah juga. Kebayang juga dengan kabupaten lain. Ini tidak mungkin'.
Terus dia diam saja. Pak Luhut cuma bilang: kita runding.
Pas saya makan, presiden samperin saya. 'Ini kan Pak Luhut. Itu apa Pak Luhut sudah bicara belum'.
'Oh iya sudah Pak, Pak Luhut yang banyak memberikan pendapat'.
'Bagusnya kalau bisa segera. Ngobrol-ngobrol itu'.
'Oh iya sekarang Pak karena sekarang sudah waktunya'.
Lalu saya pulang. Saya mau rundingan dengan sama Pakā¦.
Jangan-jangan ini karena yang dulu ada keributan antara anak buahnya Pak Luhut, Si Darmo dan si siapa itu, Sudirman Said diekspos. Ini minta diklirken. Saya akan ngomong ke Pak Luhut. Ya sudah. Makanya perlu ketemu itu. Hahahahaa
Hal tersebut seperti terungkap dalam rekaman percakapan yang diserahkan Menteri ESDM ke MKD. Dalam persidangan etik kasus Setya Novanto yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (2/12/2015), rekaman tersebut diperdengarkan.
Dalam rekaman itu, suara yang diduga Setya Novanto menyebutkan Presiden Jokowi memintanya berbicara dengan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan soal PT Freeport. Tak hanya itu, Novanto juga mengaku pernah bertemu dengan Menteri ESDM Sudirman Said dan berbicara soal perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
Berikut adalah petikan percakapan antara yang diduga SN (Setya Novanto) yang berbicara dengan diduga MS (Maroef Sjamsoeddin) dan MR (Muhammad Riza Chalid):
SN: Saya itu Pak, sudah ketemu presiden, waktu sampai ada 5 pimpinan negara lainnya. Ada ketua MA, ketua KY, ketua MK. Saya bilang 'Pak, Bapak ke Papua'. 'Iya' kata presiden. Padahal di sana enggak ada yang jemput. DPRD-nya, bupatinya, gubernurnya. Kesel juga. Soal PSSI macam-macam.
Saya bilang 'Bikin itu saja istana di Papua'. 'Setuju Pak', kata presiden. 'Masak ada Tampak Siring, Bogor, masak di sana tidak ada. Saya sudah lihat di sana ada tanah kosong, depannya laut. Jadi secara politis ke depan pasti ke sana'.
Semua manggut-manggut. Lagi seneng dia.
Freeport itu saya sudah ketemu Jim Bob, Dirutnya, saya minta dipertimbangkan. Waktu itu dengan menteri itu, soal perpanjangan itu kan DPR minta untuk duduk. Sedangkan sekarang kan ada tiga hal, kemarin menteri ESDM menemui saya di Surabaya, khusus bicara ini. Beliau (Menteri ESDM) bicara tiga hal.
Satu, penerimaan minta ditingkatkan. Kedua adalah privatisasi, permintaan itu 30 juta untuk 51%. Mana mungkin saya bilang gitu. Ketiga adalah pembangunan smelter.
'Oh oke Pak Ketua. Kalau berhenti itu soal penerimaan saya enggak sependapat Pak Ketua. Karena kita itu paling hanya nerima 7-8 triliun lah. Tapi kita keluarkan dananya untuk di Papua, Otsus itu, kita 35 T. Ndak imbang'.
'Tapi kan itu udah dibantu CSR'.
'Iya tapi tidak cukup Pak Ketua. Kita besar sekali'.
Kedua kalau smelter. Kalau di sana bangun smelter di sana lebih banyak rawa. Jadi khawatirnya waktu. Kalau lihat gitu saya lihat di Gresik ada smelter kecil yang tinggal diterusin. Terus di sana juga ada pabrik semen juga untuk pupuk. Yang penting kan pakai dana sendiri, tidak melalui dana perbankan kita.
'Kita harus paksa supaya cepat-cepat dibangun'.
'Ya kalau gitu'.
'Habis itu baru Timika, Pak Ketua'.
'Yang mana duluan Pak'.
Dia diam saja.
'Yang ketiga, soal apa Pak Ketua'.
'Soal penyerahan soal sahamnya itu, kan sudah 30% diminta 51%'.
'Itu tidak mungkin Pak. Ini kan sudah berbagi dengan daerah yang 250 ribu Ha itu, susah juga. Kebayang juga dengan kabupaten lain. Ini tidak mungkin'.
Terus dia diam saja. Pak Luhut cuma bilang: kita runding.
Pas saya makan, presiden samperin saya. 'Ini kan Pak Luhut. Itu apa Pak Luhut sudah bicara belum'.
'Oh iya sudah Pak, Pak Luhut yang banyak memberikan pendapat'.
'Bagusnya kalau bisa segera. Ngobrol-ngobrol itu'.
'Oh iya sekarang Pak karena sekarang sudah waktunya'.
Lalu saya pulang. Saya mau rundingan dengan sama Pakā¦.
Jangan-jangan ini karena yang dulu ada keributan antara anak buahnya Pak Luhut, Si Darmo dan si siapa itu, Sudirman Said diekspos. Ini minta diklirken. Saya akan ngomong ke Pak Luhut. Ya sudah. Makanya perlu ketemu itu. Hahahahaa
(hyk)