Beli Helikopter AW101, TNI AU Langgar UU
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi I DPR bidang Pertahanan TB Hasanuddin angkat bicara soal penjelasan Kasau tentang rencana pembelian helikopter AW 101 untuk VVIP, pada Kamis 26 November 2015.
Dia menjelaskan, sesuai dengan renstra pengadaan helikopter saat itu, tahun 2009 DPR menyetujui pengadaan helikopter produk PT DI sebanyak 16 unit (satu squadron) yang terdiri dari hely angkut/SAR dan hely angkut VVIP.
"Dari 16 unit itu diprogram dalam dua tahap, yaitu renstra 2009/2014 dan renstra 2015/2019. Semua direncanakan akan dibeli dari dalam negeri produk PT DI," katanya dalam pesan elektronik, Sabtu (28/11/2015).
Ditambahkan dia, dalam renstra 2009/2014 telah terpenuhi sebanyak enam unit helikopter Super Puma dan sisanya 10 unit lagi akan diselesaikan dalam renstra 2015/2019.
"TNI AU dalam hal ini tetap konsisten menggunakan produk dalam negeri sesuai dengan UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan," jelasnya.
Untuk memenuhi 10 unit lagi, maka PT DI telah melakukan investasi dalam rangka persiapan pembuatan ke-10 helikopter tersebut.
"Tapi sangat disesalkan kalau kemudian muncul ide mengubah pembelian helikopter Super Puma produk PT DI menjadi AW101 buatan Itali/Inggris. Disamping merugikan negara, juga melanggar UU No 16/2012 Pasal 43 ayat 1," tegasnya.
Dalam pasal tersebut diungkapkan bahwa pengguna wajib menggunakan alat peralatan pertahanan produksi dalam negeri.
"Kebijakan mengganti Super Puma dengan AW 101 sejatinya tidak semudah itu, karena Agusta Itali harus menggandeng industri dalam negeri sesuai Pasal 43 ayat 5," bebernya.
Dalam pasal itu, disebutkan bahwa harus mengikut sertakan industri pertahanan dalam negeri, adanya kewajiban alih teknologi, adanya imbal dagang, mengikuti ketentuan kandungan lokal, aturan ofset dan sebagainya.
"Untuk ini semua, harus mendapat izin dari Presiden, karena Presiden adalah Ketua KKIP sesuai Pasal 22 dalam UU tersebut," lugasnya.
Menurutnya, tidak ada lagi yang bisa diharapkan jika bangsa sendiri saja tidak mau menggunakan produk dalam negeri.
"Siapa lagi yang mau menggunakan produk dalam negeri, kalau bangsa sendiri tidak mau menggunakannya? Dengan membeli dari PT DI, maka 30% dari uang rakyat itu akan kembali ke Negara," ungkapnya.
Meski pengembalian tersebut tidak berupa uang, dan dalam bentuk pembelian bahan baku lokal serta pemberian kerjaan bagi 700 teknisi anak bangsa di perusahaan ini akan menjadi sama saja.
"Kami berharap seandainya ada hal yang kurang beres baik dalam hal kemampuan teknis atau tata kelolanya, mari kita perbaiki bersama. Jangan kemudian kita alihkan pembeliannya ke produk luar negeri," tegasnya.
Tentang hal itu, pihaknya sebagai DPR akan menanyakan alasan mengapa program pembelian dari PT DI ini dibatalkan dan diganti dengan pesawat lain.
"DPR juga akan melakukan investigasi berapa harga sesungguhnya, mengingat harga satu unit AW 101 seharga USD55 juta itu diperkirakan sangat mahal," jelasnya.
Pihaknya juga akan menanyakan apakah pemilihan AW 101 itu sudah seizin Ketua KKIP yang dalam hal ini dijabat oleh Presiden atau belum? "Kami perlu penjelasan terbuka agar rakyat tidak bingung," pungkasnya.
Dia menjelaskan, sesuai dengan renstra pengadaan helikopter saat itu, tahun 2009 DPR menyetujui pengadaan helikopter produk PT DI sebanyak 16 unit (satu squadron) yang terdiri dari hely angkut/SAR dan hely angkut VVIP.
"Dari 16 unit itu diprogram dalam dua tahap, yaitu renstra 2009/2014 dan renstra 2015/2019. Semua direncanakan akan dibeli dari dalam negeri produk PT DI," katanya dalam pesan elektronik, Sabtu (28/11/2015).
Ditambahkan dia, dalam renstra 2009/2014 telah terpenuhi sebanyak enam unit helikopter Super Puma dan sisanya 10 unit lagi akan diselesaikan dalam renstra 2015/2019.
"TNI AU dalam hal ini tetap konsisten menggunakan produk dalam negeri sesuai dengan UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan," jelasnya.
Untuk memenuhi 10 unit lagi, maka PT DI telah melakukan investasi dalam rangka persiapan pembuatan ke-10 helikopter tersebut.
"Tapi sangat disesalkan kalau kemudian muncul ide mengubah pembelian helikopter Super Puma produk PT DI menjadi AW101 buatan Itali/Inggris. Disamping merugikan negara, juga melanggar UU No 16/2012 Pasal 43 ayat 1," tegasnya.
Dalam pasal tersebut diungkapkan bahwa pengguna wajib menggunakan alat peralatan pertahanan produksi dalam negeri.
"Kebijakan mengganti Super Puma dengan AW 101 sejatinya tidak semudah itu, karena Agusta Itali harus menggandeng industri dalam negeri sesuai Pasal 43 ayat 5," bebernya.
Dalam pasal itu, disebutkan bahwa harus mengikut sertakan industri pertahanan dalam negeri, adanya kewajiban alih teknologi, adanya imbal dagang, mengikuti ketentuan kandungan lokal, aturan ofset dan sebagainya.
"Untuk ini semua, harus mendapat izin dari Presiden, karena Presiden adalah Ketua KKIP sesuai Pasal 22 dalam UU tersebut," lugasnya.
Menurutnya, tidak ada lagi yang bisa diharapkan jika bangsa sendiri saja tidak mau menggunakan produk dalam negeri.
"Siapa lagi yang mau menggunakan produk dalam negeri, kalau bangsa sendiri tidak mau menggunakannya? Dengan membeli dari PT DI, maka 30% dari uang rakyat itu akan kembali ke Negara," ungkapnya.
Meski pengembalian tersebut tidak berupa uang, dan dalam bentuk pembelian bahan baku lokal serta pemberian kerjaan bagi 700 teknisi anak bangsa di perusahaan ini akan menjadi sama saja.
"Kami berharap seandainya ada hal yang kurang beres baik dalam hal kemampuan teknis atau tata kelolanya, mari kita perbaiki bersama. Jangan kemudian kita alihkan pembeliannya ke produk luar negeri," tegasnya.
Tentang hal itu, pihaknya sebagai DPR akan menanyakan alasan mengapa program pembelian dari PT DI ini dibatalkan dan diganti dengan pesawat lain.
"DPR juga akan melakukan investigasi berapa harga sesungguhnya, mengingat harga satu unit AW 101 seharga USD55 juta itu diperkirakan sangat mahal," jelasnya.
Pihaknya juga akan menanyakan apakah pemilihan AW 101 itu sudah seizin Ketua KKIP yang dalam hal ini dijabat oleh Presiden atau belum? "Kami perlu penjelasan terbuka agar rakyat tidak bingung," pungkasnya.
(san)