MK Buka Peluang Calon Borong Dukungan Parpol di Pilkada

Jum'at, 13 November 2015 - 08:58 WIB
MK Buka Peluang Calon...
MK Buka Peluang Calon Borong Dukungan Parpol di Pilkada
A A A
JAKARTA - Komisi II DPR menyarankan agar peran Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai politik (parpol) perlu diperkuat guna memastikan pilkada di daerah berjalan secara kompetitif dan demokratis.

Hal ini menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa pasangan calon (paslon) diperbolehkan untuk memborong seluruh dukungan kursi parpol dalam pilkada.

"Kontrol DPP partai sangat diperlukan agar berlangsung kompetisi yang demokratis dan ideologis. Bukan malah melegitimasi transaksionalisasi struktur dibawahnya," kata Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo saat dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis 12 November 2015.

Menurut Arif, yang perlu dikontrol dan diawasi adalah terjadinya transaksi politik dalam pemberian dukungan tersebut. Karena, dengan adanya transaksi-transaksi tersebut berakibat pada seluruh parpol memberikan dukungan pada satu paslon saja.

Sehingga, lanjutnya, persoalan ini baiknya dikembalikan saja pada mekanisme internal partai politik. "Semestinya partai-partai memiliki preferensi politik yang berbeda," usul Wakil Ketua Fraksi PDIP itu.

Karena, masalahnya bukan pada borong-memborong dukungan partai, tetapi mandegnya transformasi politik di tingkat lokal. Sehingga, pilkada dimaknai sekadar politik menang kalah, bukan politik melahirkan kepemimpinan visioner, ideologis dan transformatif.

Bahkan, Arif sendiri mendukung putusan tersebut karena yang dibatasi bukan syarat maksimal, tapi minimal. "Tapi, syarat minimal dukungan tetap diperlukan, dan tidak perlu diturunkan," imbuhnya.

Selain itu, dia menambahkan, fenomena paslon memborong dukungan partai adalah kasuistik yakni, bukan pola yang umum terjadi. Karena itu, pemborongan dukungan parpol ini tidak bisa dijadikan gambaran umum wajah partai. Yang umum adalah politik transaksional yang sungguh mengkhawatirkan.

"Oligarki politik lokal harus diakhiri dengan cara mendemokratiskan partai politik melalui perubahan UU Parpol," tandasnya.

Perlu diketahui, uji materi dengan nomor perkara 105/PUU-XIII/2015 ini diajukan Doni Istyanto Hari Mahdi. Ada sembilan pasal pada UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada yang digugat. Dalam permohonannya Doni menilai bunyi Pasal 40 ayat (1), bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% sangat tidak demokratis.

Kata ”dapat” dalam pasal tersebut diminta dihapus. Menurutnya, idealnya batasan dukungan parpol atau gabungan parpol paling sedikit atau tidak lebih dari 60%. Tujuannya untuk mencegah calon memborong semua dukungan parpol selain tetap membuka potensi calon perseorangan. Jika tak ada batasan, seorang calon dapat memperoleh dukungan parpol 100%.

Sayang apa yang dimohonkan Doni ini tak dikabulkan MK. Bagi MK, Pasal 40 ayat (1) tak berlawanan dengan prinsip hak asasi manusia yang termaktub dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Di sisi lain, parpol punya hak untuk menentukan dukungan atau mengajukan dan mendaftarkan pasangan calon tertentu.

Karenanya, MK tak dapat membatasi pasangan calon memperoleh dukungan partai dari seluruh kursi di DPRD. Menurut MK dukungan dari parpol merupakan hak konstitusi warga negara atau calon kepala daerah yang harus dijaga.

”Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 40 ayat (1) tidak mengandung sifat dan unsur-unsur diskriminatif, karena berlaku secara objektif bagi semua parpol,” tegas Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan kemarin.

PILIHAN:
Pemerintah Didesak Tuntaskan Tragedi 1965 di Dalam Negeri

KSAL China Dapat Penghargaan dari TNI
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0840 seconds (0.1#10.140)