MUI Tak Setuju SKB Pendirian Rumah Ibadah Dievaluasi
A
A
A
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak sepakat Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri terkait pendirian rumah ibadah dievaluasi. MUI menilai SKB 2 Menteri itu hasil pembahasan majelis agama.
"Dasarnya apa ditinjau itu," kata Ketua MUI Ma'ruf Amin usai acara deklarasi Hari Santri Nasional di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (22/10/2015).
Menurut dia, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 atau dikenal SKB 2 Menteri itu merupakan kode etik yang meski dijalankan siapapun.
"Jadi kalau ada majelis agama yang merasa berat, yang lain juga berat. Kalau begitu, enggak usah pakai aturan saja. Selesaikan saja di lapangan," ungkapnya.
Lebih lanjut, dia berpendapat, peraturan itu justru untuk menghindarkan konflik. Menurut dia, jika peraturan itu dilanggar, justru akan terjadi konflik. "Jadi, enggak perlu (Dievaluasi) menurut saya, namanya juga kesepakatan," pungkasnya.
Sekadar informasi, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 itu mengatur tentang pedoman pelaksanaan tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, Pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.
Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri atau SKB 2 Menteri itu selama ini justru dirasa telah menciderai kerukunan umat beragama. Pasalnya, urusan agama merupakan urusan personal, hak asasi individu yang tidak bisa diatur-atur oleh negara.
Peraturan itu juga dinilai memberatkan kaum minoritas dalam mendirikan rumah ibadah. Adapun empat syarat dalam peraturan itu yang meski dipenuhi dalam mendirikan sebuah rumah ibadah, yakni daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
Kemudian, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Lalu, rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Yang terakhir, rekomendasi tertulis Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/Kota.
"Dasarnya apa ditinjau itu," kata Ketua MUI Ma'ruf Amin usai acara deklarasi Hari Santri Nasional di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (22/10/2015).
Menurut dia, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 atau dikenal SKB 2 Menteri itu merupakan kode etik yang meski dijalankan siapapun.
"Jadi kalau ada majelis agama yang merasa berat, yang lain juga berat. Kalau begitu, enggak usah pakai aturan saja. Selesaikan saja di lapangan," ungkapnya.
Lebih lanjut, dia berpendapat, peraturan itu justru untuk menghindarkan konflik. Menurut dia, jika peraturan itu dilanggar, justru akan terjadi konflik. "Jadi, enggak perlu (Dievaluasi) menurut saya, namanya juga kesepakatan," pungkasnya.
Sekadar informasi, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 itu mengatur tentang pedoman pelaksanaan tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, Pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.
Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri atau SKB 2 Menteri itu selama ini justru dirasa telah menciderai kerukunan umat beragama. Pasalnya, urusan agama merupakan urusan personal, hak asasi individu yang tidak bisa diatur-atur oleh negara.
Peraturan itu juga dinilai memberatkan kaum minoritas dalam mendirikan rumah ibadah. Adapun empat syarat dalam peraturan itu yang meski dipenuhi dalam mendirikan sebuah rumah ibadah, yakni daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
Kemudian, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Lalu, rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Yang terakhir, rekomendasi tertulis Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/Kota.
(hyk)