Lima Catatan untuk Pemerintah Soal Wacana Bela Negara
A
A
A
JAKARTA - Wacana rekrut kader bela negara bagi WNI yang dilontarkan Kementerian Pertahanan (Kemhan) menimbulkan pro dan kontra. Muncul kesan pemerintah terlalu memaksakan wacana tersebut.
Ketua Pusat Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi mengatakan, ada lima catatan yang tidak dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kemhan saat melempar wacana bela negara bagi WNI di bawah 50 tahun dan pendidikan kewarganegaraan sedari TK hingga perguruan tinggi.
Pertama, pemerintah tidak berupaya mendesakkan dan memperjuangkan RUU Komponen Cadangan dan RUU Bela Negara menjadi perundangan-undangan. Dia melihat, RUU tersebut terus diajukan dan berulangkali terganjal dalam pembahasannya di parlemen adalah bagian dari langkah memastikan bahwa kedua ruu tersebut diundangkan sebelum membuat kebijakan bela negara.
"Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka ada kesan pemerintah mengambil jalan pintas tanpa menunggu kedua RUU tersebut diundangkan," ujar Muradi kepada Sindonews, Rabu 14 Oktober 2015.
Kedua, infrastruktur pendukung juga dinilai jauh dari kesan siap. Dia menilai, kebijakan tanpa infrastruktur pendukung akan menciptakan permasalahan baru.
"Masih hangat dalam ingatan bagaimana Kebijakan Rakyat Terlatih (Ratih) juga menemui jalan buntu dan menciptakan permasalahan baru karena tidak ditunjang oleh infrastruktur pelatihan yang sesuai. Apalagi dengan 80% materi kemiliteran akan membutuhkan infrastruktur yang baik," jelasnya.
Ketiga, penganggaran untuk menyokong kebijakan bela negara juga bukan hal yang kecil. Sekadar ilutrasi, kata Muradi, ilustrasi dalam 10 tahun dengan target 100 juta kader, maka dalam satu bulan setidaknya akan dilatih sekitar 850 ribu orang dalam satu bulan di seluruh Indonesia.
"Hal ini membutuhkan anggaran yang luar biasa besar di tengah kebijakan negara dalam memodernisasi postur pertahanan dan alutsista," ucapnya.
Selanjutnya keempat, koordinasi antar kementerian dan instansi terkait. Bila dalam RUU Komponen Cadangan ditegaskan akan adanya pelibatan sejumlah kementerian dalam perekrutan untuk bela negara, maka hal tersebut seyogyanya perlu ditegaskan instansi mana saja yang terlibat.
"Hal ini menyangkut juga sokongan anggaran operasional dari perekrutan bela negara. Sekadar gambaran saja selain Mabes TNI dan Kemhan, setidaknya Kemendagri dan Kemendikbud dan Kemenristek Dikti akan terlibat," ujar Muradi.
Catatan kelima adalah, perlu juga publik mengetahui arah dari kewajiban bela negara, sehingga tidak menebak-nebak dan berburuk sangka atas kebijakan yang dibuat ini.
Dia menambahkan, bisa saja Kemhan memberikan gambaran rencana besar Indonesia untuk memperkuat akselerasi, pengaruh militer dan politik luar negeri.
"Sehingga timbul semangat kebanggaan dan cinta Tanah Air yang selaras dengan rencana pemerintah, semisal terkait dengan penegasan poros maritim dunia yang mampu menggugah rasa cinta Tanah Air warga.
PILIHAN:
Menko Polhukam Tegaskan Bela Negara Bukan Wajib Militer
Fadli Zon: Bela Negara untuk Apa, Urusi Asap Saja Tak Bisa
Ketua Pusat Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi mengatakan, ada lima catatan yang tidak dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kemhan saat melempar wacana bela negara bagi WNI di bawah 50 tahun dan pendidikan kewarganegaraan sedari TK hingga perguruan tinggi.
Pertama, pemerintah tidak berupaya mendesakkan dan memperjuangkan RUU Komponen Cadangan dan RUU Bela Negara menjadi perundangan-undangan. Dia melihat, RUU tersebut terus diajukan dan berulangkali terganjal dalam pembahasannya di parlemen adalah bagian dari langkah memastikan bahwa kedua ruu tersebut diundangkan sebelum membuat kebijakan bela negara.
"Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka ada kesan pemerintah mengambil jalan pintas tanpa menunggu kedua RUU tersebut diundangkan," ujar Muradi kepada Sindonews, Rabu 14 Oktober 2015.
Kedua, infrastruktur pendukung juga dinilai jauh dari kesan siap. Dia menilai, kebijakan tanpa infrastruktur pendukung akan menciptakan permasalahan baru.
"Masih hangat dalam ingatan bagaimana Kebijakan Rakyat Terlatih (Ratih) juga menemui jalan buntu dan menciptakan permasalahan baru karena tidak ditunjang oleh infrastruktur pelatihan yang sesuai. Apalagi dengan 80% materi kemiliteran akan membutuhkan infrastruktur yang baik," jelasnya.
Ketiga, penganggaran untuk menyokong kebijakan bela negara juga bukan hal yang kecil. Sekadar ilutrasi, kata Muradi, ilustrasi dalam 10 tahun dengan target 100 juta kader, maka dalam satu bulan setidaknya akan dilatih sekitar 850 ribu orang dalam satu bulan di seluruh Indonesia.
"Hal ini membutuhkan anggaran yang luar biasa besar di tengah kebijakan negara dalam memodernisasi postur pertahanan dan alutsista," ucapnya.
Selanjutnya keempat, koordinasi antar kementerian dan instansi terkait. Bila dalam RUU Komponen Cadangan ditegaskan akan adanya pelibatan sejumlah kementerian dalam perekrutan untuk bela negara, maka hal tersebut seyogyanya perlu ditegaskan instansi mana saja yang terlibat.
"Hal ini menyangkut juga sokongan anggaran operasional dari perekrutan bela negara. Sekadar gambaran saja selain Mabes TNI dan Kemhan, setidaknya Kemendagri dan Kemendikbud dan Kemenristek Dikti akan terlibat," ujar Muradi.
Catatan kelima adalah, perlu juga publik mengetahui arah dari kewajiban bela negara, sehingga tidak menebak-nebak dan berburuk sangka atas kebijakan yang dibuat ini.
Dia menambahkan, bisa saja Kemhan memberikan gambaran rencana besar Indonesia untuk memperkuat akselerasi, pengaruh militer dan politik luar negeri.
"Sehingga timbul semangat kebanggaan dan cinta Tanah Air yang selaras dengan rencana pemerintah, semisal terkait dengan penegasan poros maritim dunia yang mampu menggugah rasa cinta Tanah Air warga.
PILIHAN:
Menko Polhukam Tegaskan Bela Negara Bukan Wajib Militer
Fadli Zon: Bela Negara untuk Apa, Urusi Asap Saja Tak Bisa
(kri)