Fraksi DPR Pengusul Revisi UU KPK Dianggap Ingin Bajak KPK
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah Fraksi di DPR yang mengusulkan revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap ingin membajak KPK.
Diketahui fraksi yang mengusulkan revisi UU KPK masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2015 adalah PPP, Nasdem, PKB, Golkar, Hanura, dan PDIP.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan keprihatinan atas sikap beberapa fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR yang berencana mengamandemen UU KPK, walaupun RUU KPK sudah dihapuskan DPR dari daftar Prolegnas 2013.
"Dalam draf Revisi UU KPK tersebut, ICJR melihat hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK, bahkan menurut ICJR ada niat untuk membajak KPK dalam pasal-pasal revisi tersebut," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono kepada Sindonews, Rabu (7/10/2015).
Beberapa hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK versi ICJR, yakni yang menyebut KPK sengaja dibuat secara adhoc (sementara waktu) dengan jangka waktu yang terbatas.
"Ketentuan ini menyederhanakan masalah penanganan korupsi Indonesia, seakan-akan masalah korupsi yang dapat diselesaikan dengan 12 tahun," tuturnya.
Dia menambahkan, ketentuan itu juga menitikberatkan bahwa masalah penanganan korupsi hanya kepada penegakan hukum, bukan hanya kepada pencegahan dan lain-lain, sesuai fungsi KPK.
Kedua, yang menyebut kewenangan KPK sengaja dibuat secara terbatas hanya untuk menangani kasus–kasus korupsi paling sedikit Rp50 miliar. "Kondisi ini akan mengecilkan jumlah kasus yang akan ditangani oleh KPK," imbuhnya.
Ketiga, naskah DPR membuat struktur 'dewan eksekutif' di KPK, berada di bawah komisioner. Pilihan tersebut dianggap tidak sesuai dengan struktur KPK sebagai lembaga Negara dan justru membuat birokrasi baru.
"Ketentuan ini sengaja melemahkan fungsi pimpinan-komisioner KPK," ungkapnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, ICJR melihat materi dalam naskah RUU yang diinisiasi oleh DPR sudah pada taraf digunakan untuk melemahkan atau membajak KPK.
"ICJR merekomendasikan DPR sebaiknya menghentikan seluruh inisiatifnya untuk merevisi UU KPK, baik dari segi momentum dan keutuhannya Revisi UU KPK belum dibutuhkan," pungkasnya.
Dalam rapat Baleg pada Senin 6 Oktober 2015, beberapa Anggota DPR dinilai justru masih berusaha meyakinkan amandemen adalah jalan yang perlu ditempuh untuk memperkuat KPK.
Dan pembahasan kemarin RUU ini diubah, dari sebelumnya inisiatif pemerintah, diusulkan menjadi inisiatif DPR. Dalam rapat kemarin sejumlah anggota DPR masih memanfaatkan mengungkit amandemen dan mendiskusikan beberapa rancangan terbaru mengenai revisi UU KPK.
Pilihan:
Rachmawati: Kenapa Tak di Era Mega Tuntut Minta Maaf ke Soekarno
Argumen Pemerintah Terkait Kabut Asap Sulit Diatasi
Diketahui fraksi yang mengusulkan revisi UU KPK masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2015 adalah PPP, Nasdem, PKB, Golkar, Hanura, dan PDIP.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan keprihatinan atas sikap beberapa fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR yang berencana mengamandemen UU KPK, walaupun RUU KPK sudah dihapuskan DPR dari daftar Prolegnas 2013.
"Dalam draf Revisi UU KPK tersebut, ICJR melihat hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK, bahkan menurut ICJR ada niat untuk membajak KPK dalam pasal-pasal revisi tersebut," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono kepada Sindonews, Rabu (7/10/2015).
Beberapa hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK versi ICJR, yakni yang menyebut KPK sengaja dibuat secara adhoc (sementara waktu) dengan jangka waktu yang terbatas.
"Ketentuan ini menyederhanakan masalah penanganan korupsi Indonesia, seakan-akan masalah korupsi yang dapat diselesaikan dengan 12 tahun," tuturnya.
Dia menambahkan, ketentuan itu juga menitikberatkan bahwa masalah penanganan korupsi hanya kepada penegakan hukum, bukan hanya kepada pencegahan dan lain-lain, sesuai fungsi KPK.
Kedua, yang menyebut kewenangan KPK sengaja dibuat secara terbatas hanya untuk menangani kasus–kasus korupsi paling sedikit Rp50 miliar. "Kondisi ini akan mengecilkan jumlah kasus yang akan ditangani oleh KPK," imbuhnya.
Ketiga, naskah DPR membuat struktur 'dewan eksekutif' di KPK, berada di bawah komisioner. Pilihan tersebut dianggap tidak sesuai dengan struktur KPK sebagai lembaga Negara dan justru membuat birokrasi baru.
"Ketentuan ini sengaja melemahkan fungsi pimpinan-komisioner KPK," ungkapnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, ICJR melihat materi dalam naskah RUU yang diinisiasi oleh DPR sudah pada taraf digunakan untuk melemahkan atau membajak KPK.
"ICJR merekomendasikan DPR sebaiknya menghentikan seluruh inisiatifnya untuk merevisi UU KPK, baik dari segi momentum dan keutuhannya Revisi UU KPK belum dibutuhkan," pungkasnya.
Dalam rapat Baleg pada Senin 6 Oktober 2015, beberapa Anggota DPR dinilai justru masih berusaha meyakinkan amandemen adalah jalan yang perlu ditempuh untuk memperkuat KPK.
Dan pembahasan kemarin RUU ini diubah, dari sebelumnya inisiatif pemerintah, diusulkan menjadi inisiatif DPR. Dalam rapat kemarin sejumlah anggota DPR masih memanfaatkan mengungkit amandemen dan mendiskusikan beberapa rancangan terbaru mengenai revisi UU KPK.
Pilihan:
Rachmawati: Kenapa Tak di Era Mega Tuntut Minta Maaf ke Soekarno
Argumen Pemerintah Terkait Kabut Asap Sulit Diatasi
(maf)