DPR Diminta Pertahankan Sifat Lex Specialis KPK
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar DPR bisa mempertahankan sifat lex specialis pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga tersebut dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).
Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo mengatakan, KPK meng hargai proses pembahasan RUU KUHP di Komisi III. Namun, dia meminta agar kewenang an KPK tidak diberangus. ”Delik korupsi itu jang an sampai menghilangkan lex specialis KPK, jangan hilang. Kewenangan KPK termasuk yang masih diperbincangkan,” kata Johan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pembahasan RUU KUHP di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Mantan deputi Pencegahan KPK ini mengatakan, lem baganya merupakan pelaksana UU. Karena itu, jika diberikan kesempatan maka KPK akan mem berikan masukan secara komprehensif kepada pemerint ah maupun DPR terkait revisi UU KUHP ini. KPK, ungkapnya, berharap masukan ini dapat didengar.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, keinginan KPK untuk mencabut kaitan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU KPK di RUU KUHP tidaklah layak untuk saat ini. Pasalnya, hingga kini DPR melalui Komisi III masih melakukan pembahasan atas revisi UU KUHP.
Dia menilai pasal-pasal berkaitan dengan pemberantasan korupsi tetap harus ada dan masuk ke KUHP hingga disahkan. ”Dengan alasan, masa kejahatan harus dipisah-pisah, narkoba sendiri, ini (korupsi) sendiri. Jadi, dijadikan satu jangan tercerai-berai. KUHP harusnya jadi rujukan, kitab utama,” kata Fadli.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini mengatakan, DPR tentu memberikan per hatian khusus dan serius ter hadap korupsi. Namun, jang an sampai sifat lex specialis KPK dimanfaatkan menjadi alat politik oknum pimpinan KPK. Fadli menuturkan, beberapa kali dalam periode pimpinan KPK terjadi abuse of power. ”Dan itu terbukti dari oknumoknumnya. Kita ingin mem berantas korupsi, tapi tugas pemberantasan korupsi harus sistemik bukan tanggung jawab satu institusi,” ungkapnya.
Kekhawatiran bahwa penghapusan sifat lex specialis KPK dalam RUU KUHP meng akibatkan KPK tidak punya kewenangan untuk menindak pelaku korupsi adalah kekha watiran yang belum perlu. DPR, lanjut nya, masih akan mengkaji.
Di sisi lain, UU KPK masih menuai kritik dari berbagai kalangan terutama pakar hukum termasuk dari perumus UUnya, seperti Romli Atmasasmita. ”(Jadi) nanti kita kaji (lex specialis KPK dengan RUU KUHP). KPK kan lembaga adhoc dari awal pendiriannya. Pembuat UU-nya bilang itu lembaga adhoc,” paparnya.
Sabir laluhu
Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo mengatakan, KPK meng hargai proses pembahasan RUU KUHP di Komisi III. Namun, dia meminta agar kewenang an KPK tidak diberangus. ”Delik korupsi itu jang an sampai menghilangkan lex specialis KPK, jangan hilang. Kewenangan KPK termasuk yang masih diperbincangkan,” kata Johan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pembahasan RUU KUHP di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Mantan deputi Pencegahan KPK ini mengatakan, lem baganya merupakan pelaksana UU. Karena itu, jika diberikan kesempatan maka KPK akan mem berikan masukan secara komprehensif kepada pemerint ah maupun DPR terkait revisi UU KUHP ini. KPK, ungkapnya, berharap masukan ini dapat didengar.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, keinginan KPK untuk mencabut kaitan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU KPK di RUU KUHP tidaklah layak untuk saat ini. Pasalnya, hingga kini DPR melalui Komisi III masih melakukan pembahasan atas revisi UU KUHP.
Dia menilai pasal-pasal berkaitan dengan pemberantasan korupsi tetap harus ada dan masuk ke KUHP hingga disahkan. ”Dengan alasan, masa kejahatan harus dipisah-pisah, narkoba sendiri, ini (korupsi) sendiri. Jadi, dijadikan satu jangan tercerai-berai. KUHP harusnya jadi rujukan, kitab utama,” kata Fadli.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini mengatakan, DPR tentu memberikan per hatian khusus dan serius ter hadap korupsi. Namun, jang an sampai sifat lex specialis KPK dimanfaatkan menjadi alat politik oknum pimpinan KPK. Fadli menuturkan, beberapa kali dalam periode pimpinan KPK terjadi abuse of power. ”Dan itu terbukti dari oknumoknumnya. Kita ingin mem berantas korupsi, tapi tugas pemberantasan korupsi harus sistemik bukan tanggung jawab satu institusi,” ungkapnya.
Kekhawatiran bahwa penghapusan sifat lex specialis KPK dalam RUU KUHP meng akibatkan KPK tidak punya kewenangan untuk menindak pelaku korupsi adalah kekha watiran yang belum perlu. DPR, lanjut nya, masih akan mengkaji.
Di sisi lain, UU KPK masih menuai kritik dari berbagai kalangan terutama pakar hukum termasuk dari perumus UUnya, seperti Romli Atmasasmita. ”(Jadi) nanti kita kaji (lex specialis KPK dengan RUU KUHP). KPK kan lembaga adhoc dari awal pendiriannya. Pembuat UU-nya bilang itu lembaga adhoc,” paparnya.
Sabir laluhu
(ftr)