Pemerintah Didesak Mereformasi Peradilan Militer
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan militer.
Menurut mereka, sistem di pengadilan militer saat ini tidak mengakomodasi persamaan hukum secara konsisten karena masih menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Bahkan, jika dibiarkan, proses hukum yang ada di peradilan militer akan menghambat pemberantasan korupsi di tubuh TNI.
Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah dengan mereformasi peradilan militer. Apalagi hingga saat ini mekanisme dalam peradilan militer tidak memenuhi kaidah-kaidah prinsip keadilan yang terlihat seperti memihak. Padahal, dalam negara hukum, peradilan mutlak bersifat independen dan tidak memihak suatu kekuatan apa pun.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai sistem peradilan militer yang cenderung memihak tersebut bukan tidak mungkin akan berefek pada terhambatnya agenda pemberantasan korupsi yang menjerat anggota militer. Apalagi jika menyangkut pengadaan alutsista dengan penggunaan anggaran besar.
Menurut dia, potensi korupsi dengan nilai besar pun bisa terjadi di sana. Jika anggaran tersebut disalahgunakan akan memperlemah sistem pertahanan. Adapun proses hukumnya bermasalah dan dalam penangannya pun ada hambatan-hambatan struktural.
”Aparat penegak hukum sering kali beralasan mereka tidak berwenang untuk memeriksa perwira aktif,” ungkap Adnan di Jakarta kemarin. Menurut Adnan, langkah paling dekat bagi pemerintah untuk melakukan reformasi adalah dengan merevisi Undang-Undang (UU) Peradilan Militer Nomor 31Tahun 1997.
Diharapkan, perubahan UU ini memberikan celah bagi peradilan umum untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan anggota militer. Bagaimanapun, lanjutnya, anggota militer seharusnya memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum layaknya masyarakat biasa. ”Anggota militer yang melakukan tindak pidana perlu diadili layaknya warga negara lain, yakni melalui peradilan umum,” paparnya.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil berharap, pemerintah bisa memberikan pertimbangan agar revisi UU Peradilan Militer masuk dalam prolegnas. Direktur Program Imparsial Al Araf menyatakan, revisi UU Peradilan Militer saja dianggap belum cukup selama nota kesepahaman (MoU) TNI yang bertentangan dengan UU tidak dicabut.
Pasalnya, selama dua tahun ini ada MoU TNI dengan kementerian maupun lembaga lain dengan dalih melakukan operasi militer selain perang (OMSP). Adapun OMSP ini bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI dikatakan, pelaksanaan tugas OMSP harus didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara, bukan melalui MoU.
Karena itu, menurut dia, MoU ini menunjukkan TNI telah masuk ke ranah sipil atas nama menjaga keamanan. ”Misalnya, terlibat aksi penggusuran, pengamanan stasiun, pengamanan kawasan industri, ataupun terlibat dalam konflik agraria,” ungkap Al Araf.
Untuk itu, sikap pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan militer harus dimulai dari revisi UU dan pencabutan MoU yang bertentangan dengan UU.
Nurul adriyana
Menurut mereka, sistem di pengadilan militer saat ini tidak mengakomodasi persamaan hukum secara konsisten karena masih menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Bahkan, jika dibiarkan, proses hukum yang ada di peradilan militer akan menghambat pemberantasan korupsi di tubuh TNI.
Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah dengan mereformasi peradilan militer. Apalagi hingga saat ini mekanisme dalam peradilan militer tidak memenuhi kaidah-kaidah prinsip keadilan yang terlihat seperti memihak. Padahal, dalam negara hukum, peradilan mutlak bersifat independen dan tidak memihak suatu kekuatan apa pun.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai sistem peradilan militer yang cenderung memihak tersebut bukan tidak mungkin akan berefek pada terhambatnya agenda pemberantasan korupsi yang menjerat anggota militer. Apalagi jika menyangkut pengadaan alutsista dengan penggunaan anggaran besar.
Menurut dia, potensi korupsi dengan nilai besar pun bisa terjadi di sana. Jika anggaran tersebut disalahgunakan akan memperlemah sistem pertahanan. Adapun proses hukumnya bermasalah dan dalam penangannya pun ada hambatan-hambatan struktural.
”Aparat penegak hukum sering kali beralasan mereka tidak berwenang untuk memeriksa perwira aktif,” ungkap Adnan di Jakarta kemarin. Menurut Adnan, langkah paling dekat bagi pemerintah untuk melakukan reformasi adalah dengan merevisi Undang-Undang (UU) Peradilan Militer Nomor 31Tahun 1997.
Diharapkan, perubahan UU ini memberikan celah bagi peradilan umum untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan anggota militer. Bagaimanapun, lanjutnya, anggota militer seharusnya memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum layaknya masyarakat biasa. ”Anggota militer yang melakukan tindak pidana perlu diadili layaknya warga negara lain, yakni melalui peradilan umum,” paparnya.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil berharap, pemerintah bisa memberikan pertimbangan agar revisi UU Peradilan Militer masuk dalam prolegnas. Direktur Program Imparsial Al Araf menyatakan, revisi UU Peradilan Militer saja dianggap belum cukup selama nota kesepahaman (MoU) TNI yang bertentangan dengan UU tidak dicabut.
Pasalnya, selama dua tahun ini ada MoU TNI dengan kementerian maupun lembaga lain dengan dalih melakukan operasi militer selain perang (OMSP). Adapun OMSP ini bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI dikatakan, pelaksanaan tugas OMSP harus didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara, bukan melalui MoU.
Karena itu, menurut dia, MoU ini menunjukkan TNI telah masuk ke ranah sipil atas nama menjaga keamanan. ”Misalnya, terlibat aksi penggusuran, pengamanan stasiun, pengamanan kawasan industri, ataupun terlibat dalam konflik agraria,” ungkap Al Araf.
Untuk itu, sikap pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan militer harus dimulai dari revisi UU dan pencabutan MoU yang bertentangan dengan UU.
Nurul adriyana
(ftr)