Proses Hukum Wajib Terapkan Diversi
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menyambut baik diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun.
Dengan ada PP ini, proses diversi harus dilakukan sejak mulai tingkat penyidikan dan penuntutanhinggahakim. Sebelumnyadiversihanyamengikat hakim sebab sudah ada Peraturan MA (Perma) Tahun 2014 tentang Diversi. Penyidik dan penuntut umum tidak memiliki kewajiban melakukan diversi.
”Perma itu hanya mengatur soal hakim, tidak mengatur penyidik dan penuntut. Bagusnya PP itu menyangkut semuanya, bergantung terminal perkaranya lagi di mana,” ungkap Juru Bicara MA Suhadi saat dihubungi di Jakarta kemarin. Dengan PP ini, tidak ada alasan bagi penyidik, penuntut, hingga hakim untuk tidak melakukan diversi sebelum membawa perkara pidana anak pada proses hukum orang dewasa. PP ini memberikan penegasan atas kewenangan penyidik dan penuntut maupun hakim bahwa proses diversi harus dilakukan. ”PP ini menjadi pedoman lengkap,” katanya.
Menurut Suhadi, dengan berpedoman pada Perma Tahun 2014, para hakimpunsebenarnya sudah mengutamakan proses diversi dalam menangani kasus anak di bawah umur 12 tahun. Dalam Undang-Undang (UU) 4 Tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), sudah disinggung mengenai prosesdiversi. Saat ituMA merasa perlu mengeluarkan perma untuk mengisi kekosongan pedoman pelaksanaan diversi.
Sebelumnya PP ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 19 Agustus 2015. PP ini mengatur sejumlah pelaksanaan diversi di tiap tingkatkan mulai dari penyidik, penuntut, dan pengadilan anak. Diversi merupakanprosesperadilananakke luar peradilan pidana yakni melalui musyawarah (mediasi).
Dalam PP ini menyatakan bahwa baik tingkat penyidik, penuntut, dan hakim proses diversi harus melibatkan anak dan orang tua/ walinya, korban atau anak korban, dan orang tua/wali korban, pembimbing kemasyarakatan, serta pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyatakan, PP yang dikeluarkan pemerintah justru tidak menjawab kekosongan hukum yang tidak diatur dalam UU SPPA.
Perma bahkan dianggap lebih maju dalam mengakomodasi aturan diversi. Misalnya, kualifikasi anak dalam PP itu sangat sempit karena hanya mengatur umur 12 tahun hingga 18 tahun.
Nurul adriyana
Dengan ada PP ini, proses diversi harus dilakukan sejak mulai tingkat penyidikan dan penuntutanhinggahakim. Sebelumnyadiversihanyamengikat hakim sebab sudah ada Peraturan MA (Perma) Tahun 2014 tentang Diversi. Penyidik dan penuntut umum tidak memiliki kewajiban melakukan diversi.
”Perma itu hanya mengatur soal hakim, tidak mengatur penyidik dan penuntut. Bagusnya PP itu menyangkut semuanya, bergantung terminal perkaranya lagi di mana,” ungkap Juru Bicara MA Suhadi saat dihubungi di Jakarta kemarin. Dengan PP ini, tidak ada alasan bagi penyidik, penuntut, hingga hakim untuk tidak melakukan diversi sebelum membawa perkara pidana anak pada proses hukum orang dewasa. PP ini memberikan penegasan atas kewenangan penyidik dan penuntut maupun hakim bahwa proses diversi harus dilakukan. ”PP ini menjadi pedoman lengkap,” katanya.
Menurut Suhadi, dengan berpedoman pada Perma Tahun 2014, para hakimpunsebenarnya sudah mengutamakan proses diversi dalam menangani kasus anak di bawah umur 12 tahun. Dalam Undang-Undang (UU) 4 Tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), sudah disinggung mengenai prosesdiversi. Saat ituMA merasa perlu mengeluarkan perma untuk mengisi kekosongan pedoman pelaksanaan diversi.
Sebelumnya PP ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 19 Agustus 2015. PP ini mengatur sejumlah pelaksanaan diversi di tiap tingkatkan mulai dari penyidik, penuntut, dan pengadilan anak. Diversi merupakanprosesperadilananakke luar peradilan pidana yakni melalui musyawarah (mediasi).
Dalam PP ini menyatakan bahwa baik tingkat penyidik, penuntut, dan hakim proses diversi harus melibatkan anak dan orang tua/ walinya, korban atau anak korban, dan orang tua/wali korban, pembimbing kemasyarakatan, serta pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyatakan, PP yang dikeluarkan pemerintah justru tidak menjawab kekosongan hukum yang tidak diatur dalam UU SPPA.
Perma bahkan dianggap lebih maju dalam mengakomodasi aturan diversi. Misalnya, kualifikasi anak dalam PP itu sangat sempit karena hanya mengatur umur 12 tahun hingga 18 tahun.
Nurul adriyana
(ars)