Perajin Batik dan Tas Kesulitan Bahan Baku
A
A
A
BOJONEGORO - Sejumlah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terdampak penurunan nilai tukar rupiah. Perajin batik di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur misalnya, dihadapkan pada kenaikan harga bahan baku untuk mewarnai batik.
Akibatnya, mereka harus memutar otak agar usaha kerajinan batik tetap bisa berjalan. Perajin batik di Bojonegoro tersebar di sejumlah kecamatan, antara lain Kecamatan Sumberejo, Temayang, Kalitidu, Bojonegoro, dan Purwosari. Sedikitnya ada 50 perajin batik tulis dan batik cetak. Mereka kebanyakan perajin batik khas jonegoroan. Menurut Ahmad Aris, 34, perajin batik di Desa Prayungan, Kecamatan Sumberejo, sejak rupiah melemah, bahan baku batik seperti kain, pewarna, lilin, naik dari 5% menjadi 25%.
”Hampir semua bahan baku batik ini naik. Kami khawatir kondisi ini akan terus berlangsung apabila rupiah terus melemah,” ujarnya. Bahan baku lilin untuk campuran canting (alat pembatik) yang biasanya Rp25.000/kg kini menjadi Rp50.000/kg. Begitu pula pewarna khusus kuning naik dari Rp200.000/kg menjadi Rp250.000/kg.
Selain itu, pewarna khusus biru juga naik dari sebelumnya Rp450.000/kg menjadi Rp500.000/kg. Kenaikan bahan baku batik ini telah terjadi selama dua pekan terhitung Agustus 2015. Terutama setelah nilai rupiah di atas Rp13.500 per dolar AS. Kini, ketika dolar sudah di atas 14.000, para perajin pun makin resah karena harga bahan baku akan terus melonjak.
Selama ini para perajin batik di Bojonegoro terbantu kehadiran Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bojonegoro. Produk yang dikenal dengan sebutan batik jonegoroan dikumpulkan dengan berbagai motif seperti batik motif daun waru, daun jati, kembang mangga, dan sejenisnya. Motif-motif batik jonegoroan muncul setelah digelar pameran batik yang digagas Bupati Bojonegoro Suyoto.
Batik jonegoroan digunakan untuk cenderamata di mana pemasarannya selain pemilik batik sendiri, juga lewat stan di Dekranasda dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bojonegoro. Selain batik bojonegoro, industri pembuatan tas di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, pun menjerit karena kesulitan mendapat bahan baku yang mayoritas impor.
Sekitar 70% komponen bahan baku industri tas di Kota Kretek itu didatangkan dari luar negeri, 30% sisanya dari Indonesia. Sentra produksi tas di Kudus berada di Desa Gulang, Kecamatan Mejobo. Tas produksi para perajin dipasarkan baik di kawasan Pulau Jawa hingga luar Jawa mulai Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, Flores, Kupang, hingga Sumbawa.
Abdul Muchit, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Karya Mandiri Desa Gulang, Kecamatan Mejobo, mengaku kesulitan memperoleh bahan baku impor. Sebab, para importir mulai menahan pembelian bahan baku dari luar negeri lantaran harga bahan baku dari luar negeri itu terus meroket seiring kondisi terakhir.
Parahnya, kondisi perekonomian nasional juga lesu sehingga berimbas pada merosotnya daya beli masyarakat. ”Kami juga mengurangi produksi karena bahan bakunya sulit,” kata Muchit kemarin. Biasanya bahan baku diperolehdari importiryangberbasis di Surabaya.
Kini, seiring tersendatnya pasokan bahan baku, para perajin mulai bergerilya mencari importir dari kota lain. Sayangnya, belum ada kecocokan harga hingga pasokan bahan baku dari calon importir baru ini belum bisa didatangkan. ”Kami mencari importir di Jakarta dan Bandung, tapi belum berhasil,” paparnya.
Muhammad roqib/ muhammad oliez
Akibatnya, mereka harus memutar otak agar usaha kerajinan batik tetap bisa berjalan. Perajin batik di Bojonegoro tersebar di sejumlah kecamatan, antara lain Kecamatan Sumberejo, Temayang, Kalitidu, Bojonegoro, dan Purwosari. Sedikitnya ada 50 perajin batik tulis dan batik cetak. Mereka kebanyakan perajin batik khas jonegoroan. Menurut Ahmad Aris, 34, perajin batik di Desa Prayungan, Kecamatan Sumberejo, sejak rupiah melemah, bahan baku batik seperti kain, pewarna, lilin, naik dari 5% menjadi 25%.
”Hampir semua bahan baku batik ini naik. Kami khawatir kondisi ini akan terus berlangsung apabila rupiah terus melemah,” ujarnya. Bahan baku lilin untuk campuran canting (alat pembatik) yang biasanya Rp25.000/kg kini menjadi Rp50.000/kg. Begitu pula pewarna khusus kuning naik dari Rp200.000/kg menjadi Rp250.000/kg.
Selain itu, pewarna khusus biru juga naik dari sebelumnya Rp450.000/kg menjadi Rp500.000/kg. Kenaikan bahan baku batik ini telah terjadi selama dua pekan terhitung Agustus 2015. Terutama setelah nilai rupiah di atas Rp13.500 per dolar AS. Kini, ketika dolar sudah di atas 14.000, para perajin pun makin resah karena harga bahan baku akan terus melonjak.
Selama ini para perajin batik di Bojonegoro terbantu kehadiran Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bojonegoro. Produk yang dikenal dengan sebutan batik jonegoroan dikumpulkan dengan berbagai motif seperti batik motif daun waru, daun jati, kembang mangga, dan sejenisnya. Motif-motif batik jonegoroan muncul setelah digelar pameran batik yang digagas Bupati Bojonegoro Suyoto.
Batik jonegoroan digunakan untuk cenderamata di mana pemasarannya selain pemilik batik sendiri, juga lewat stan di Dekranasda dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bojonegoro. Selain batik bojonegoro, industri pembuatan tas di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, pun menjerit karena kesulitan mendapat bahan baku yang mayoritas impor.
Sekitar 70% komponen bahan baku industri tas di Kota Kretek itu didatangkan dari luar negeri, 30% sisanya dari Indonesia. Sentra produksi tas di Kudus berada di Desa Gulang, Kecamatan Mejobo. Tas produksi para perajin dipasarkan baik di kawasan Pulau Jawa hingga luar Jawa mulai Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, Flores, Kupang, hingga Sumbawa.
Abdul Muchit, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Karya Mandiri Desa Gulang, Kecamatan Mejobo, mengaku kesulitan memperoleh bahan baku impor. Sebab, para importir mulai menahan pembelian bahan baku dari luar negeri lantaran harga bahan baku dari luar negeri itu terus meroket seiring kondisi terakhir.
Parahnya, kondisi perekonomian nasional juga lesu sehingga berimbas pada merosotnya daya beli masyarakat. ”Kami juga mengurangi produksi karena bahan bakunya sulit,” kata Muchit kemarin. Biasanya bahan baku diperolehdari importiryangberbasis di Surabaya.
Kini, seiring tersendatnya pasokan bahan baku, para perajin mulai bergerilya mencari importir dari kota lain. Sayangnya, belum ada kecocokan harga hingga pasokan bahan baku dari calon importir baru ini belum bisa didatangkan. ”Kami mencari importir di Jakarta dan Bandung, tapi belum berhasil,” paparnya.
Muhammad roqib/ muhammad oliez
(bbg)