Merdeka dari Barang Impor
A
A
A
Prihatin. Itulah kata yang tepat untuk mengungkapkan kondisi bangsa Indonesia yang masih dijajah barang impor. Sebagai negara yang merdeka, Indonesia tentunya berharap bisa mandiri dan berdikari dalam segala hal.
Indonesia yang terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah seharusnya mampu mewujudkan harapan itu. Namun, saat ini Indonesia justru menjadi salah satu negara yang sangat konsumtif terhadap barang impor, mulai dari pakaian, beras, gandum, ikan, daging, dan sebagainya.
Seakan menggunakan barang impor sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat Indonesia. Sungguh ironis, Indonesia yang memiliki jutaan hektare lahan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kelautan masih belum cukup memenuhi kebutuhan semua penghuninya, hingga harus mendatangkan barang dari negara lain.
Menilik ke belakang, pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia terkenal dengan julukan ”Lumbung Beras Asia” karena kelimpahan hasil pertanian hingga diekspor ke sebagian wilayah Asia. Sekarang sepertinya berkebalikan, Indonesia menjadi negara yang sangat aktif dalam mengimpor beras.
Tidak hanya beras, daging dan garam juga kini menjadi trending topics di media cetak maupun televisi terkait rencana Jokowi yang mengurangi pasokan impor sapi dari 250.000 ekor menjadi 50.000 ekor saja. Hal ini menimbulkan kenaikan drastis harga daging hingga memicu para pedagang untuk mogok berdagang. Masyarakat sudah bergantung pada barang impor.
Mereka menganggap barang impor memiliki kualitas yang lebih unggul ketimbang barang lokal. Langkah pemerintah sudah baik dengan mengurangi pasokan impor. Ini merupakan tahapan kecil untuk menuntun Indonesia menjadi negara yang lebih mendiri, yang tidak bergantung terhadap barang impor. Tak hanya pemerintah yang melakukan usaha tersebut.
Saat ini para putra bangsa juga mengembangkan produk terbaru seperti tepung moccavi yaitu tepung yang terbuat dari bahan fermentasi singkong sebagai pengganti gandum yang merupakan salah satu barang impor. Inovasi dan dukungan pemerintah dengan mengurangi barang impor tidak cukup untuk memberikan perubahan terhadap bangsa.
Hal itu harus diimbangi dengan meningkatkan kualitas barang lokal agar dapat bersaing di pasar internasional. Kesejahteraan para petani, nelayan, dan para perajin produk lokal juga perlu ditingkatkan agar barang yang dihasilkan juga berkualitas dan Indonesia juga tidak terus-menerus dijajah produk luar negeri Saat ini Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-70.
Usia yang bukan lagi balita bagi sebuah negara. Usia yang matang dan seharusnya sudah menjadi negara yang mandiri. Sebab itu, untuk menjadi negara maju, masyarakatnya harus kreatif dan produktif dengan menekan nafsu konsumtif. Dimulai dari pemerintah, bangsa Indonesia harus berpikir merdeka.
Merdeka dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan barang impor. Itulah salah satu spirit kemerdekaan yang harus kita ambil dalam memperingati HUT Ke-70 RI.
FARIHA MAULIA RIZQI
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Matematika, Mahasantri Monash Institute UIN Walisongo
Indonesia yang terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah seharusnya mampu mewujudkan harapan itu. Namun, saat ini Indonesia justru menjadi salah satu negara yang sangat konsumtif terhadap barang impor, mulai dari pakaian, beras, gandum, ikan, daging, dan sebagainya.
Seakan menggunakan barang impor sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat Indonesia. Sungguh ironis, Indonesia yang memiliki jutaan hektare lahan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kelautan masih belum cukup memenuhi kebutuhan semua penghuninya, hingga harus mendatangkan barang dari negara lain.
Menilik ke belakang, pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia terkenal dengan julukan ”Lumbung Beras Asia” karena kelimpahan hasil pertanian hingga diekspor ke sebagian wilayah Asia. Sekarang sepertinya berkebalikan, Indonesia menjadi negara yang sangat aktif dalam mengimpor beras.
Tidak hanya beras, daging dan garam juga kini menjadi trending topics di media cetak maupun televisi terkait rencana Jokowi yang mengurangi pasokan impor sapi dari 250.000 ekor menjadi 50.000 ekor saja. Hal ini menimbulkan kenaikan drastis harga daging hingga memicu para pedagang untuk mogok berdagang. Masyarakat sudah bergantung pada barang impor.
Mereka menganggap barang impor memiliki kualitas yang lebih unggul ketimbang barang lokal. Langkah pemerintah sudah baik dengan mengurangi pasokan impor. Ini merupakan tahapan kecil untuk menuntun Indonesia menjadi negara yang lebih mendiri, yang tidak bergantung terhadap barang impor. Tak hanya pemerintah yang melakukan usaha tersebut.
Saat ini para putra bangsa juga mengembangkan produk terbaru seperti tepung moccavi yaitu tepung yang terbuat dari bahan fermentasi singkong sebagai pengganti gandum yang merupakan salah satu barang impor. Inovasi dan dukungan pemerintah dengan mengurangi barang impor tidak cukup untuk memberikan perubahan terhadap bangsa.
Hal itu harus diimbangi dengan meningkatkan kualitas barang lokal agar dapat bersaing di pasar internasional. Kesejahteraan para petani, nelayan, dan para perajin produk lokal juga perlu ditingkatkan agar barang yang dihasilkan juga berkualitas dan Indonesia juga tidak terus-menerus dijajah produk luar negeri Saat ini Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-70.
Usia yang bukan lagi balita bagi sebuah negara. Usia yang matang dan seharusnya sudah menjadi negara yang mandiri. Sebab itu, untuk menjadi negara maju, masyarakatnya harus kreatif dan produktif dengan menekan nafsu konsumtif. Dimulai dari pemerintah, bangsa Indonesia harus berpikir merdeka.
Merdeka dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan barang impor. Itulah salah satu spirit kemerdekaan yang harus kita ambil dalam memperingati HUT Ke-70 RI.
FARIHA MAULIA RIZQI
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Matematika, Mahasantri Monash Institute UIN Walisongo
(ftr)