Kontras: Presiden Jokowi, Segera Cari dan Kembalikan Kawan Kami!
A
A
A
JAKARTA - Setiap tanggal 30 Agustus diperingati sebagai Hari Antipenghilangan Paksa Internasional. Peringatan tersebut untuk mengingatkan publik terhadap nasib orang-orang yang ditahan, disiksa bahkan dibunuh di suatu tempat, tanpa sepengetahuan keluarga atau kuasa hukum mereka.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menyebutkan fenomena praktik penghilangan paksa di dunia masih terus berlangsung.
Hingga saat ini sebanyak 53.986 kasus dari 84 negara telah dilaporkan kepada Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa atau United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances (UNWGEID) selama1980-2012.
Angka tersebut hanya berdasarkan kasus yang dilaporkan kepada UNWGEID, sehingga tidak menutup kemungkinan jumlah penghilangan paksa jauh melebihi itu.
Dalam siara persnya pada Minggu (30/8/2015), Kontras dan IKOHI menyatakan di Indonesia, praktik penghilangan paksa di antaranya terjadi pada tujuh dari 10 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM, yakni dalam Tragedi 1965, Petrus 1982-1985, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997-1998, Timor Timur 1999,serta peristiwa Wasior 2001-2002.
Menurut kedua organisasi itu, penghilangan paksa juga terjadi pada masa konflik di Aceh (1989-2005) dan Papua (penghilangan paksa Aristoteles tahun 2001).
Kedua organisasi itu menilai negara masih bungkam atas kasus–kasus penghilangan paksa yang pernah terjadi.
"Presiden Jokowi sejauh ini hanya memberikan janji melalui visi misi saat pemilihan presiden (Pilpres) dan Nawacita yang menegaskan akan menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Penghilangan Paksa 1997-1998 secara berkeadilan," tulis Kontras dan IKOHI dalam siaran persnya.
Presiden Jokowi diminta tidak lagi hanya mengumbar janji untuk menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Penghilangan Paksa 1997-1998.
"Payung hukum dan kapasitas politik yang ada telah cukup memadai untuk segera Presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, membentuk tim pencarian dan menemukan korban yang masih hilang, dan memberikan pemulihan bagi korban dan keluarganya (Rekomendasi DPR 2009)," tulis siaran pers tersebut.
Kontras dan IKOHI mengungkapkan publik tentu masih ingat dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menyebutkan bahwa yang hilang harus dicari, harusnya segera ditindaklanjuti dengan aksi nyata.
Pemerintah Indonesia juga memiliki kewajiban untuk terlibat aktif dalam mendorong penghentian praktik penghilangan paksa di dunia, di antaranya dengan segera meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan Orang secara Paksa yang telah ditandatangani pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri pada 27 September 2010.
"Langkah ini sejalan dengan posisi pemerintah yang kembali terpilih Anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2015-2017," tulis siaran pers tersebut.
PILIHAN:
Gejolak di Malaysia Bisa Jadi Pelajaran Indonesia
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menyebutkan fenomena praktik penghilangan paksa di dunia masih terus berlangsung.
Hingga saat ini sebanyak 53.986 kasus dari 84 negara telah dilaporkan kepada Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa atau United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances (UNWGEID) selama1980-2012.
Angka tersebut hanya berdasarkan kasus yang dilaporkan kepada UNWGEID, sehingga tidak menutup kemungkinan jumlah penghilangan paksa jauh melebihi itu.
Dalam siara persnya pada Minggu (30/8/2015), Kontras dan IKOHI menyatakan di Indonesia, praktik penghilangan paksa di antaranya terjadi pada tujuh dari 10 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM, yakni dalam Tragedi 1965, Petrus 1982-1985, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997-1998, Timor Timur 1999,serta peristiwa Wasior 2001-2002.
Menurut kedua organisasi itu, penghilangan paksa juga terjadi pada masa konflik di Aceh (1989-2005) dan Papua (penghilangan paksa Aristoteles tahun 2001).
Kedua organisasi itu menilai negara masih bungkam atas kasus–kasus penghilangan paksa yang pernah terjadi.
"Presiden Jokowi sejauh ini hanya memberikan janji melalui visi misi saat pemilihan presiden (Pilpres) dan Nawacita yang menegaskan akan menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Penghilangan Paksa 1997-1998 secara berkeadilan," tulis Kontras dan IKOHI dalam siaran persnya.
Presiden Jokowi diminta tidak lagi hanya mengumbar janji untuk menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Penghilangan Paksa 1997-1998.
"Payung hukum dan kapasitas politik yang ada telah cukup memadai untuk segera Presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, membentuk tim pencarian dan menemukan korban yang masih hilang, dan memberikan pemulihan bagi korban dan keluarganya (Rekomendasi DPR 2009)," tulis siaran pers tersebut.
Kontras dan IKOHI mengungkapkan publik tentu masih ingat dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menyebutkan bahwa yang hilang harus dicari, harusnya segera ditindaklanjuti dengan aksi nyata.
Pemerintah Indonesia juga memiliki kewajiban untuk terlibat aktif dalam mendorong penghentian praktik penghilangan paksa di dunia, di antaranya dengan segera meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan Orang secara Paksa yang telah ditandatangani pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri pada 27 September 2010.
"Langkah ini sejalan dengan posisi pemerintah yang kembali terpilih Anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2015-2017," tulis siaran pers tersebut.
PILIHAN:
Gejolak di Malaysia Bisa Jadi Pelajaran Indonesia
(dam)