Pansel KPK Telusuri Harta Capim

Rabu, 26 Agustus 2015 - 10:00 WIB
Pansel KPK Telusuri...
Pansel KPK Telusuri Harta Capim
A A A
JAKARTA - Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) kemarin kembali menggelar tes wawancara untuk 7 orang kandidat. Dalam tes itu, pansel lebih memfokuskan pertanyaan pada asal-usul harta kekayaan yang dimiliki para kandidat.

Hampir seluruh capim mendapatkan pertanyaan yang sama terkait asal-usul harta kekayaannya. Anggota Pansel Capim KPK Betti S Alisjahbana menanyakan kepada Hendardji Soepandji, apakah wajar sebagai seorang purnawirawan TNI memiliki harta yang begitu besar, mencapai Rp32,2 miliar dan ditambah dengan USD4.000. Data tersebut didapat pansel dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2012.

Hendardji Soepandji pun mengakui bahwa total harta kekayaan sebesar Rp32,5 miliar ditambah USD4.000. Namun semua harta itu diakuinya dihasilkan dengan cara yang wajar. Hendardji juga menyatakan tidak pernah absen melaporkan harta kekayaannya dalam LHKPN sejak tahun 2006 hingga 2012.

”Saya kira wajar. Itu harta berdua dengan istri,” ungkap Hendardji. Terkait dengan istri Hendardji, anggota pansel lainnya, Ratna Rosita, langsung mengklarifikasi keterlibatan istrinya dalam dugaan penyimpangan pengadaan alat kesehatan yang diterima di New York. Berdasarkan laporan, ini dianggap semacam gratifikasi. Namun lagi-lagi dengan tegas Hendardji menjawab bahwa istrinya bersih dan tidak pernah melakukan hal itu.

”Saya yakin istri saya tidak berbuat,” ujarnya. Klarifikasi sejumlah harta kekayaan pun dilontarkan kepada Direktur Eksekutif Pertamina Foundation Nina Nurlina. Harta kekayaan Nina pun tidak kalah fantastis dengan milik Hendardji. Nina diketahui memiliki 5 rumah, 1 hotel, dan 3 mobil (Nissan Xtrail, Toyota Alphard, serta BMW). Nina pun membenarkan memiliki mobil BMW senilai Rp1,7 miliar dan dibeli tanpa cicilan. ”Iya, saya punya BMW Rp1,7 miliar, dibeli cash.

Saya dan suami sudah bekerja 30 tahun, boleh dong punya BMW,” kata Nina. Selain mobil, Nina mengaku memiliki lebih dari lima buah rumah yang berlokasi di Lembang, Cinere, Jatibening, Malang, dan Bandung. Juga sebuah kondominium dan hotel (kondotel) di kawasan Bandung. Nina mengaku suaminya pernah menjabat sebagai general manager Total E&P.

Setiap bulannya dia bisa mengantongi uang sekitar Rp200 juta. Baik Nina maupun suaminya kini telah pensiun. Nina mengaku mendapat jumlah uang pesangon yang cukup besar. Jika dikalkulasi, hartanya kini mencapai Rp25 miliar. ”Saya pensiun dan menerima uang pesangon, jadi untuk itu. Karena kita sudah tua jadi tinggal menikmati,” katanya.

Mendengar keterangan itu, pansel yang mayoritas terdiri atas akademisi dan birokrat pun terkaget-kaget. ”PNS dan dosen suka terkagum-kagum kalau soal gaji. Saya saja baru punya Kijang,” ungkap salah seorang anggota pansel Harkristuti Harkrisnowo. Pansel pun mencecar Nina atas proyek Rp100 juta pohon sebagai bentuk CSR yang dianggap tidak berhasil.

Sebab, hanya 30% yang berhasil dan ada dugaan pelanggaran adminitrasi penggunaan dana. Namun Nina meyakinkan tidak ada yang salah dalam proyek tersebut. Bahkan dirinya mempersilakan pansel mengklarifikasi terhadap Head of Pertamina Foundation. Giliran berikutnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie yang dicecar soal harta.

Pansel menanyakan aliran dana yang mengalir ke Jimly School. Ada laporan yang menemukan bahwa Jimly School, sekolah milik Jimly Asshiddiqie, mendapatkan pasokan dana dari PT Newmont. Ketua DKPP ini pun tidak membantahnya. ”Ya ada (dana itu), dari salah satu proyek tapi sudah selesai 2 tahun lalu. Jadi itu training , saya bilang sama teman-teman saya kalau saya tidak punya apa-apa, hanya punya nama. Jadi nama saya wakafkan,” ujarnya.

Selain itu, Jimly juga dicecar soal rumah dinas saat menjabat sebagai ketua MK. Menurut data yang diperoleh pansel, Jimly pernah mengontrak rumah seharga Rp120 juta per tahun, sementara pemerintah telah menyiapkan rumah dinas baginya. Menjawab informasi itu, Jimly menyebutkan sulitnya prosedur untuk mengurus rumah dinas. Karena itu, Jimly harus mendapatkan rumah alternatif yang dapat dihuni.

Dia merasa sia-sia jika rumah yang telah disewa tidak segera dihuni. ”Kebetulan rumah saya saat itu rusak. Saya merasa tidak masalah mengontrak,” ungkapnya. Selain itu, persoalan yang banyak disoroti para capim untuk perbaikan KPK ke depan adalah masalah koordinasi dan komunikasi secara internal dan eksternal.

Jimly sendiri meyakini, masalah komunikasi pimpinan dengan seluruh elemen di KPK sangat dibutuhkan guna menyinergikan apa yang menjadi kewenangan dan tujuan lembaga antirasuah tersebut. Apalagi adanya kepemimpinan baru bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik internal. ”Ini harus diselesaikan jangan sampai kalangan internal tidak sinergis, baru memperbaiki hubungan dengan lembaga penegak hukum lain,” ucap Jimly.

Adapun capim lain yang juga menjabat sebagai direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiono diklarifikasi soal dugaan ketaatan membayar pajak. Giri pun mengaku kaget atas pertanyaan anggota pansel Betti S Alisjahbana tersebut. Betti memaparkan bahwa pansel mendapat laporan pada 2010-2012 Giri tidak taat membayar pajak. Giri pun langsung membantahnya.

Dia menyatakan selalu taat membayar pajak. ”Saya terakhir sudah melaporkan (membayar pajak) tahun 2014, cuma yang telat tahun 2010 dan 2011 agak telat (bayarnya), tapi (laporannya) saya sudahkirimlewatPos,” ungkapnya. Adapun capim KPK Johan Budi Sapto Pribowo ditanya atas sikapnya mengenai remisi koruptor.

”Bagaimana menurut Anda mengenai keputusan Menkumham mengenai remisi terhadap koruptor?” tanya anggota pansel Harkristuti Harkrisnowo. Johan langsung menyatakan tidak sependapat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly yang memberikan remisi terhadap para koruptor.

Johan menilai korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan berbeda dengan pencurian atau perampokan biasa. Karena itu, para koruptor seharusnya tidak diberikan remisi kurungan penjara. ”Saya tidak setuju kalau remisi diberikan, karena korupsi kejahatan sangat luar biasa dan sangat tidak adil orang yang masuk kejahatan luar biasa bisa dapat remisi,” jawab mantan jubir KPK tersebut.

Johan pun mengimbau pemerintah untuk mengkaji ulang pemberian remisi terhadap para koruptor tersebut. Sebab, hal tersebut akan memberikan persepsi bahwa pemerintah terlalu baik terhadap para koruptor. ”Jadi korupsi, narkoba, dan terorisme tidak bisa diberikan remisi karena kejahatannya sangat luar biasa,” kata Johan.

Selain lima kandidat itu, pansel juga mewawancarai dua kandidat lainnya yakni dosen hukum Universitas Hasanuddin Laode Muhammad Syarif dan dosen akuntansi Universitas Gadjah Mada Mohammad Gundono. Sejauh ini pansel telah mewawancarai 14 dari 19 capim. Hari ini yang merupakan waktu terakhir, pansel akan mewawancarai lima capim yang tersisa.

Nurul adriyana
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0778 seconds (0.1#10.140)