Indikasi Kerugian Negara Perlu Audit BPK dan BPKP
Senin, 24 Agustus 2015 - 20:51 WIB

Indikasi Kerugian Negara Perlu Audit BPK dan BPKP
A
A
A
JAKARTA - Adanya indikasi kerugian negara dalam kasus pembelian hak atas piutang (cessie) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dilakukan PT Victoria Securities Indonesia (VSI) tahun 2003 perlu dilakukan audit dari lembaga yang berwenang.
Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad menilai, proses penegakan hukum akan mengalami kendala tanpa melibatkan lembaga berwenang untuk menghitung ada tidaknya kerugian negara, sebelum menyatakan adanya indikasi tindak pidana korupsi.
"Tidak bisa dong, harus menggandeng BPK dan BPKP," kata Fadel di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/8/2015).
Kasus ini bermula saat PT Adistra Utama (AU) meminjam Rp469 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990. Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukkan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang PT AU. PT VSI membeli aset itu dengan harga Rp26 miliar. Seiring waktu, PT AU ingin menebus aset tersebut dengan nilai Rp26 miliar. Namun, PT VSI menyodorkan nilai Rp2,1 triliun atas aset itu.
Tahun 2012, PT AU kemudian melaporkan PT VSI ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejagung.
Baca: Pemimpin DPR Panggil Jaksa Agung Bahasa Penggeledahan PT VSI.
Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad menilai, proses penegakan hukum akan mengalami kendala tanpa melibatkan lembaga berwenang untuk menghitung ada tidaknya kerugian negara, sebelum menyatakan adanya indikasi tindak pidana korupsi.
"Tidak bisa dong, harus menggandeng BPK dan BPKP," kata Fadel di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/8/2015).
Kasus ini bermula saat PT Adistra Utama (AU) meminjam Rp469 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990. Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukkan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang PT AU. PT VSI membeli aset itu dengan harga Rp26 miliar. Seiring waktu, PT AU ingin menebus aset tersebut dengan nilai Rp26 miliar. Namun, PT VSI menyodorkan nilai Rp2,1 triliun atas aset itu.
Tahun 2012, PT AU kemudian melaporkan PT VSI ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejagung.
Baca: Pemimpin DPR Panggil Jaksa Agung Bahasa Penggeledahan PT VSI.
(kur)