Tenaga Kerja Lokal Terancam
A
A
A
JAKARTA - Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghapus uji kemampuan bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA) yang ingin bekerja di Indonesia bisa mengancam pekerja lokal.
Di sisi lain, kebijakan itu tidak ada hubungannya dengan investasi. Karenanya Presiden harus meninjau ulang rencana tersebut.
Dampak negatif kebijakan tersebut disampaikan Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia Ismed Hasan Putro. Politikus Partai Demokrat Didi Irawadi dan politikus Partai Gerindra Roberth Rouw juga berpandangan sama. Mereka mengingatkan pekerja dalam negeri masih butuh perlindungan dari pemerintah, khususnya dalam mencari lapangan pekerjaan.
”Jadi apabila Pak Jokowi memberikan kemudahan bagi pekerja asing untuk tidak berbahasa Indonesia, itu mengerikan sekali,” kata Ismed di sela diskusi Polemik Sindo Trijaya Radio di Jakarta, kemarin. Mantan Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) itu tidak sepakat apabila aturan yang mengharuskan pekerja asing mampu menguasai bahasa Indonesia ini dipandang menghambat investor.
Menurut dia, kalaupun ada investor yang beranggapan demikian, pemerintah tidak perlu terpaku pada satu investor, tetapi mencari yang lain. ”Kita kan punya kemandirian sebagai bangsa, masa kita didikte investor,” kata Ismed. Didi Irawadi juga mengingatkan, kebijakan yang akan diambil tersebut bisa membuat tenaga kerja lokal tidak terlindungi.
Dengan kesempatan kerja terbatas, pemerintah seharusnya bisa memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pekerja lokal, bukan justru memberikan kemudahan bagi pekerja asing. Menurut dia, jika pemerintah ingin menarik investor asing ke Indonesia, masih banyak langkah lain yang bisa ditempuh tanpa menggadaikan aturan yang sudah ada. Termasuk dengan mencabut aturan yang bermaksud melindungi tenaga kerja lokal.
”Biarkan syarat ini tetap ada. Kan banyak investor yang tidak fasih berbahasa Indonesia juga tetap berinvestasi di sini,” tambahnya. Dia lantas menandaskan, meski bahasa Indonesia bukanlah bahasa internasional yang wajib dipelajari bangsa lain, karena konteksnya adalah ingin mencari keuntungan di dalam negeri, para pekerja asing ini harus mau mempelajarinya.
Selain untuk mempermudah komunikasi dalam bekerja, belajar bahasa Indonesia juga bisa membuat mereka lebih nyaman dengan lingkungan barunya. ”Akan lebih mudah bergaul dengan bangsa kita dan bisa beraktivitas dengan lebih baik,” tambah Didi. Roberth Rouw mengingatkan, saat ini jutaan rakyat Indonesia membutuhkan pekerjaan yang layak.
Bahkan, tak sedikit para pekerja di beberapa daerah di Indonesia saat ini terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kondisi perekonomian nasional sedang lesu. ”Pemerintah harus segera membatasi serbuan tenaga kerja asing dan harus memberikan kesempatan seluasluasnya dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi rakyat Indonesia,” ucapnya.
Anggota Komisi IX DPR yang membidangi masalah ketenagakerjaan itu pun menilai, penghapusan syarat wajib berbahasa Indonesia bagi para TKA itu terkesan merendahkan bangsa Indonesia sendiri. Dia bahkan menyebut penghapusan syarat wajib berbahasa Indonesia bagi para pekerja asing di Indonesia itu tidak sesuai dengan konsep Trisakti yang Presiden Jokowi gadang-gadang saat ini, terutama pada poin berkepribadian dalam budaya.
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengatakan, rencana menghapus uji kemampuan bahasa Indonesia sebagai persyaratan untuk TKA tersebut sebagai bagian dari deregulasi besar-besaran yang akan dilakukan pemerintah.
Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, Presiden ingin semua regulasi yang menjadi barrier (pembatas) direvisi, termasuk peraturan di tingkat pusat dan tingkat daerah. Tujuannya untuk mempermudah datangnya para investor ke Tanah Air.
Untuk deregulasi ketenagakerjaan tersebut Presiden sudah meminta Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri untuk mengubah aturan tersebut seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenakertrans) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Sebelumnya Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mengeluarkan instrumen aturan pengetatan TKA, yaitu Permenaker 16/2015 tentang Tata Cara Pengendalian dan Penggunaan TKA.
Dalam aturan tersebut, pemerintah mewajibkan TKA memiliki sertifikat kompetensi atau berpengalaman kerja minimal lima tahun serta ada jabatan tertentu yang tidak boleh diduduki TKA. Peraturan tersebut juga mewajibkan model perekrutan 1 berbanding 10, yakni setiap merekrut 1 TKA, perusahaan tersebut harus merekrut 10 tenaga kerja dalam negeri (TKDN) sebagai pendampingan untuk alih teknologi dan ilmu.
Berdasarkan data Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), Kemenaker mencatat ada 68.762 TKA di Indonesia pada 2014 yang menurun tipis dari tahun lalu sebesar 68.957 orang. Jumlah TKA terbanyak berasal dari Tiongkok yang mencapai 16.328 orang, Jepang 10.838 orang, dan Korea Selatan 8.172 orang. ementara itu, TKA dari India mencapai 4.981, Malaysia 4.022 orang, Amerika Serikat 2.658 orang, Thailand 1.002 orang, Australia 2.664 orang, Filipina 2.670 orang, dan Inggris 2.227 orang.
Tidak Ada Hubungan dengan Investasi
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Beni Sutrisno menegaskan rencana pemerintah menghapus aturan yang mewajibkan TKA berbahasa Indonesia tidak perlu dilakukan karena tidak ada hubungannya dengan peningkatan investasi di dalam negeri. Jika ingin mendorong investasi, pemerintah mestinya memperbaiki percepatan perizinan satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
”Kalau hubungannya dengan peningkatan investasi tidak ada. Tidak ada hubungannya. Lebih baik pemerintah melakukan evaluasi dan terus mengawal PTSP di BKPM daripada mengeluarkan rencana kebijakan yang tidak perlu,” kata dia saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Wakil Ketua Bidang Industri DPR dari Fraksi Golkar Firman Subagyo juga berpendapat, rencana pemerintah menghapus kewajiban bahasa Indonesia bagi TKA tidak ada korelasinya dengan peningkatan investasi dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi. Apabila tujuannya mendorong investasi, seharusnya pemerintah menyediakan insentif yang tepat bagi investor, memberikan kepastian hukum, serta mempermudah perizinan.
”Itu yang harus diperbaiki. Tidak semua kok impor, daging impor, pangan impor, kemudian ini juga tenaga kerja mau diimpor. Kita tidak setuju ini tidak membantu ekonomi,” tandasnya. Firman justru meminta pemerintah mulai waspada terhadap pertumbuhan TKA yang mulai membanjiri sektor industri dalam negeri. Seharusnya pemerintah lebih meningkatkan kemampuan TKDN sekaligus menyediakan lapangan kerja dengan upah laik daripada membanjiri negeri ini dengan pekerja asing.
”Belum tentu kemampuan pekerja asing lebih bagus daripada kemampuan kita sendiri. Lebih baik pemerintah memikirkan lapangan kerja bagi bangsa sendiri dengan meningkatkan upah laik bagi pekerja di dalam negeri. Apalagi sekarang karena imbas ekonomi seperti ini banyak yang di-PHK,” ujarnya. Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati justru menilai berbeda. Pihaknya menganggap rencana penghapusan bahasa Indonesia bagi TKA yang akan masuk ke industri dalam negeri justru akan meningkatkan investasi. Pasalnya aturan yang diterapkan tentu akan lebih longgar dan tidak berbelit-belit.
”Kalau aturan lebih sederhana dan tidak berbelit-belit buat investor akan lebih senang sehingga ini akan meningkatkan investasi,” ujar dia. Namun, lanjut Enny, pemerintah tidak bisa serta-merta melihat peningkatan investasi hanya dari satu sisi, tapi mesti juga melihat pertumbuhan TKA di dalam negeri. Menurutnya pertumbuhannya sangat pesat sehingga harus dibatasi dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja di dalam negeri.
Di samping itu, pemerintah juga sejak dini harus meningkatkan kemampuan dan produktivitas tenaga kerja dengan membenahi kurikulum pendidikan agar tenaga kerja di Indonesia mampu bersaing di kancah internasional.
”Masih banyak tenaga kerja kita yang lulusan SD, bahkan menguasai bahasa Indonesia saja tidak bisa, maka pemerintah seharusnya lebih meningkatkan kemampuan tenaga kerja di dalam negeri,” ujar dia.
Dian ramadhani/ nanang wijayanto/ sindonews.com
Di sisi lain, kebijakan itu tidak ada hubungannya dengan investasi. Karenanya Presiden harus meninjau ulang rencana tersebut.
Dampak negatif kebijakan tersebut disampaikan Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia Ismed Hasan Putro. Politikus Partai Demokrat Didi Irawadi dan politikus Partai Gerindra Roberth Rouw juga berpandangan sama. Mereka mengingatkan pekerja dalam negeri masih butuh perlindungan dari pemerintah, khususnya dalam mencari lapangan pekerjaan.
”Jadi apabila Pak Jokowi memberikan kemudahan bagi pekerja asing untuk tidak berbahasa Indonesia, itu mengerikan sekali,” kata Ismed di sela diskusi Polemik Sindo Trijaya Radio di Jakarta, kemarin. Mantan Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) itu tidak sepakat apabila aturan yang mengharuskan pekerja asing mampu menguasai bahasa Indonesia ini dipandang menghambat investor.
Menurut dia, kalaupun ada investor yang beranggapan demikian, pemerintah tidak perlu terpaku pada satu investor, tetapi mencari yang lain. ”Kita kan punya kemandirian sebagai bangsa, masa kita didikte investor,” kata Ismed. Didi Irawadi juga mengingatkan, kebijakan yang akan diambil tersebut bisa membuat tenaga kerja lokal tidak terlindungi.
Dengan kesempatan kerja terbatas, pemerintah seharusnya bisa memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pekerja lokal, bukan justru memberikan kemudahan bagi pekerja asing. Menurut dia, jika pemerintah ingin menarik investor asing ke Indonesia, masih banyak langkah lain yang bisa ditempuh tanpa menggadaikan aturan yang sudah ada. Termasuk dengan mencabut aturan yang bermaksud melindungi tenaga kerja lokal.
”Biarkan syarat ini tetap ada. Kan banyak investor yang tidak fasih berbahasa Indonesia juga tetap berinvestasi di sini,” tambahnya. Dia lantas menandaskan, meski bahasa Indonesia bukanlah bahasa internasional yang wajib dipelajari bangsa lain, karena konteksnya adalah ingin mencari keuntungan di dalam negeri, para pekerja asing ini harus mau mempelajarinya.
Selain untuk mempermudah komunikasi dalam bekerja, belajar bahasa Indonesia juga bisa membuat mereka lebih nyaman dengan lingkungan barunya. ”Akan lebih mudah bergaul dengan bangsa kita dan bisa beraktivitas dengan lebih baik,” tambah Didi. Roberth Rouw mengingatkan, saat ini jutaan rakyat Indonesia membutuhkan pekerjaan yang layak.
Bahkan, tak sedikit para pekerja di beberapa daerah di Indonesia saat ini terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kondisi perekonomian nasional sedang lesu. ”Pemerintah harus segera membatasi serbuan tenaga kerja asing dan harus memberikan kesempatan seluasluasnya dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi rakyat Indonesia,” ucapnya.
Anggota Komisi IX DPR yang membidangi masalah ketenagakerjaan itu pun menilai, penghapusan syarat wajib berbahasa Indonesia bagi para TKA itu terkesan merendahkan bangsa Indonesia sendiri. Dia bahkan menyebut penghapusan syarat wajib berbahasa Indonesia bagi para pekerja asing di Indonesia itu tidak sesuai dengan konsep Trisakti yang Presiden Jokowi gadang-gadang saat ini, terutama pada poin berkepribadian dalam budaya.
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengatakan, rencana menghapus uji kemampuan bahasa Indonesia sebagai persyaratan untuk TKA tersebut sebagai bagian dari deregulasi besar-besaran yang akan dilakukan pemerintah.
Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, Presiden ingin semua regulasi yang menjadi barrier (pembatas) direvisi, termasuk peraturan di tingkat pusat dan tingkat daerah. Tujuannya untuk mempermudah datangnya para investor ke Tanah Air.
Untuk deregulasi ketenagakerjaan tersebut Presiden sudah meminta Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri untuk mengubah aturan tersebut seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenakertrans) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Sebelumnya Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mengeluarkan instrumen aturan pengetatan TKA, yaitu Permenaker 16/2015 tentang Tata Cara Pengendalian dan Penggunaan TKA.
Dalam aturan tersebut, pemerintah mewajibkan TKA memiliki sertifikat kompetensi atau berpengalaman kerja minimal lima tahun serta ada jabatan tertentu yang tidak boleh diduduki TKA. Peraturan tersebut juga mewajibkan model perekrutan 1 berbanding 10, yakni setiap merekrut 1 TKA, perusahaan tersebut harus merekrut 10 tenaga kerja dalam negeri (TKDN) sebagai pendampingan untuk alih teknologi dan ilmu.
Berdasarkan data Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), Kemenaker mencatat ada 68.762 TKA di Indonesia pada 2014 yang menurun tipis dari tahun lalu sebesar 68.957 orang. Jumlah TKA terbanyak berasal dari Tiongkok yang mencapai 16.328 orang, Jepang 10.838 orang, dan Korea Selatan 8.172 orang. ementara itu, TKA dari India mencapai 4.981, Malaysia 4.022 orang, Amerika Serikat 2.658 orang, Thailand 1.002 orang, Australia 2.664 orang, Filipina 2.670 orang, dan Inggris 2.227 orang.
Tidak Ada Hubungan dengan Investasi
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Beni Sutrisno menegaskan rencana pemerintah menghapus aturan yang mewajibkan TKA berbahasa Indonesia tidak perlu dilakukan karena tidak ada hubungannya dengan peningkatan investasi di dalam negeri. Jika ingin mendorong investasi, pemerintah mestinya memperbaiki percepatan perizinan satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
”Kalau hubungannya dengan peningkatan investasi tidak ada. Tidak ada hubungannya. Lebih baik pemerintah melakukan evaluasi dan terus mengawal PTSP di BKPM daripada mengeluarkan rencana kebijakan yang tidak perlu,” kata dia saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Wakil Ketua Bidang Industri DPR dari Fraksi Golkar Firman Subagyo juga berpendapat, rencana pemerintah menghapus kewajiban bahasa Indonesia bagi TKA tidak ada korelasinya dengan peningkatan investasi dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi. Apabila tujuannya mendorong investasi, seharusnya pemerintah menyediakan insentif yang tepat bagi investor, memberikan kepastian hukum, serta mempermudah perizinan.
”Itu yang harus diperbaiki. Tidak semua kok impor, daging impor, pangan impor, kemudian ini juga tenaga kerja mau diimpor. Kita tidak setuju ini tidak membantu ekonomi,” tandasnya. Firman justru meminta pemerintah mulai waspada terhadap pertumbuhan TKA yang mulai membanjiri sektor industri dalam negeri. Seharusnya pemerintah lebih meningkatkan kemampuan TKDN sekaligus menyediakan lapangan kerja dengan upah laik daripada membanjiri negeri ini dengan pekerja asing.
”Belum tentu kemampuan pekerja asing lebih bagus daripada kemampuan kita sendiri. Lebih baik pemerintah memikirkan lapangan kerja bagi bangsa sendiri dengan meningkatkan upah laik bagi pekerja di dalam negeri. Apalagi sekarang karena imbas ekonomi seperti ini banyak yang di-PHK,” ujarnya. Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati justru menilai berbeda. Pihaknya menganggap rencana penghapusan bahasa Indonesia bagi TKA yang akan masuk ke industri dalam negeri justru akan meningkatkan investasi. Pasalnya aturan yang diterapkan tentu akan lebih longgar dan tidak berbelit-belit.
”Kalau aturan lebih sederhana dan tidak berbelit-belit buat investor akan lebih senang sehingga ini akan meningkatkan investasi,” ujar dia. Namun, lanjut Enny, pemerintah tidak bisa serta-merta melihat peningkatan investasi hanya dari satu sisi, tapi mesti juga melihat pertumbuhan TKA di dalam negeri. Menurutnya pertumbuhannya sangat pesat sehingga harus dibatasi dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja di dalam negeri.
Di samping itu, pemerintah juga sejak dini harus meningkatkan kemampuan dan produktivitas tenaga kerja dengan membenahi kurikulum pendidikan agar tenaga kerja di Indonesia mampu bersaing di kancah internasional.
”Masih banyak tenaga kerja kita yang lulusan SD, bahkan menguasai bahasa Indonesia saja tidak bisa, maka pemerintah seharusnya lebih meningkatkan kemampuan tenaga kerja di dalam negeri,” ujar dia.
Dian ramadhani/ nanang wijayanto/ sindonews.com
(ars)